BENDERRAnews, 6/3/18 (Jakarta): Sebelum akhir April nanti, negosiasi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia ditargetkan rampung,
Seperti diketahui, perundingan itu terkait detil lampiran Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Adapun pembahasan itu kini tersisa mengenai divestasi saham Freeport sebesar 51 persen. Saat ini porsi saham pemerintah di Freeport sebesar 9,36 persen, yang berarti tinggal 41,64 persen mesti dilepas melalui divestasi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, mengatakan, upaya yang sedang ditempuh dengan membeli hak partisipasi (participating interest/PI) 40 persen Rio Tinto.
PI itu akan dikonversi menjadi 40 persen saham. Sedangkan 1,64 persen saham sisanya akan diambil dari saham Freeport McMoRan Inc di Freeport Indonesia.
“Arahan bapak Presiden untuk penyelesaian divestasi Freeport Indonesia kalau bisa itu sebelum akhir April sudah selesai evaluasi dan lain sebagainya,” kata Jonan di Jakarta, Senin (5/3/18) awal pekan ini.
Bagi dua
Rio Tinto tidak secara langsung memiliki saham Freeport Indonesia. Namun, dalam laporan keuangan Freeport McMoRan disebutkan, perusahaan tambang asal Australia ini memiliki perjanjian usaha patungan untuk pengerjaan Proyek Grasberg dengan Freeport McMoRan.
Dalam perjanjian ini, Rio Tinto berhak atas 40 persen hak partisipasi di aset tertentu dan 40% hak partisipasi untuk semua aset di Grasberg sampai 2022 jika produksi emas, perak, dan tembaga mencapai level tertentu.
Setelah 2022, berapapun produksi, biaya, dan pendapatan dari proyek Grasberg akan dibagi dua, yakni Freeport Indonesia 60 persen dan Rio Tinto 40 persen.
“Kita akan beli dengan harga sewajar mungkin sampai saham pemerintah 51 persen. Arahan Bapak Presiden kalau bisa April sudah selesai,” Jonan menegaskan.
Lebih lanjut Jonan menjawab suara masyarakat yang mempertanyakan sikap pemerintah memilih membeli saham daripada menunggu kontrak Freeport berakhir di 2021. Dia menerangkan akan ada kompensasi yang harus dibayar pemerintah bila mengambil alih perusahaan tambang asal Amerika Serikat di 2021 mendatang.
Kompensasi itu bisa berupa pembayaran nilai buku dari semua investasi Freeport di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan kemungkinan gugatan arbitrase yang bakal dilayangkan Freeport. Dia menyebut ketentuan itu sudah tertuang dalam Kontrak Karya yang diteken sejak 1991.
“Pengambilalihan (operasi Freeport) juga bukan saya bilang tidak mudah, makan waktu dan harus bayar karena di kontrak karya gitu,” ujarnya.
Jalur arbitrase
Sementara itu Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot menuturkan, arbitrase merupakan upaya menyelesaikan sengketa dalam kontrak.
Hal ini lantaran ada multitafsir dalam pasal-pasal di Kontrak Karya terkait hak perpanjangan operasi.
Dalam kontrak itu disebutkan Freeport memiliki hak perpanjangan sampai 2041. Selain itu pemerintah tidak boleh menahan tanpa alasan yang jelas.
“Dari sisi legal (hukum) ini macam-macam pendapatnya,” ujar Bambang Gatot seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’. (B-BS/jr)