BENDERRAnews, 23/3/18 (Sumedang): Tudingan segelintir orang di luar pemerintahan yang menyorot meningkatnya utang negara, agaknya semakin terbantahkan dengan paparan data serta fakta sejarah.
Pasalnya, Pemerintahan Presiden Joko Widodo diakui memang menarik utang dari berbagai sumber, tetapi peruntukkannya jelas, baik untuk percepatan pembangunan infrastruktur (karena kita ketinggalan lebih 20 tahun di bidang ini dari beberapa negara tetangga, Red), juga mendorong pengembangan sumberdaya insani (kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan sosial), juga penguatan NKRI melalui adanya perhatian lebih gencar ke kawasan perbatasan, pelosok, terisolir serta pulau-pulau terluar dengan mengaplikasikan konsep ‘Nawacita’.
“Artinya, kendati ada utang, tetapi juga jelas ke mana pemanfaatannya, karena tidak ada lagi cela besar untuk dikorupsi seperti di masa-masa sebelumnya. Semuanya transparan, dan tingkat utang kita pun berada di bawah 30 persen dari rasio dengan GDP, yakni suatu angka yang feasible.
“Bandingkan dengan Amerika Serikat juga Jepang yang memiliki tingkat rasio di atas itu, juga bandingkan saja dengan kondisi di akhir periode kekuasaan Soeharto yang di atas 50 persen. Makanya, orang-orang lama jangan cuma asal ngomong, tanpa didukung data,” demikian simpulan diskusi terbatas, Jumat (23/3/18), oleh Institut Studi Nusantara (ISN), sebuah lembaga pengkajian yang dibentuk sejumlah pentolan DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).
Sejumlah peserta diskusi, di antaranya Max Wilar, Markus Wauran, Jeffrey Rawis, Ruddy Sumampouw, Donald Pokatong, Ifan Pioh, Wency Mangindaan pun meminta Pemerintahan Jokowi, agar lebih gencar lagi mengekspos dari mana serta ke mana penggunaan dana-dana utang tersebut, karena semuanya tokh dikembalikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bersama.
Mereka pun menyoroti data utang berbagai negara dan menyimpulkan Indonesia berada pada posisi yang semakin baik. “Kita semakin bagus mengelola utang, sehingga berbagai lembaga internasional menaikkan rating kita sebagai tujuan investasi yang semakin bersinar, juga karena kemampuan bayar utang semakin bagus serta pemanfaatannya yang jelas serta nominalnya yang tidak melebihi kepatutan (syarat rasio dengan GDP, Red),” demikian benang berah simpulan diskusi terbatas ISN, yang juga digelar berkenaan dengan Dies Natalis ke-64 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), di mana beberapa anggota ISN merupakan alumni GMNI.
SBY juga berutang
Senada dengan hasil diskusi itu, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan, (utang) tidak apa-apa untuk kepentingan pembangunan di berbagai bidang (utamanya kini di bidang infrastruktur, Red), asalkan kenaikannya tidak melebihi kepatutan.
SBY mengakui pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) gencar meningkatkan pembangunan infrastruktur (antara lain dengan melalui utang, Red). Meski hal itu tidak salah, namun menurutnya, konsekuensinya pembangunan sumber daya manusia (SDM) sedikit akan berkurang.
“Sekali lagi, itu tidak salah, karena pasti ada gunanya untuk menggerakkan ekonomi kita,” katanya Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini di sela-sela kegiatan “SBY Tour de Jawa Barat” (Jabar), Jumat (23/3/18) ini.
Dikatakan, pemerintahan yang dipimpinnya dahulu juga berutang untuk menggerakkan ekonomi.
“Artinya tidak keliru, kalau dulu kami utang, itu pun kami perhatikan betul, jangan sampai beban utang terhadap GDP (gross domestic product) itu berlebihan,” katanya.
Level 56 persen
Pada 2005, beban utang terhadap GDP berada pada level 56 persen. Kemudian, menurun menjadi 24 persen.
“Kalau sekarang naik, tidak apa-apa untuk kepentingan infrastruktur, asalkan kenaikannya tidak melebihi kepatutan itu,” ujarnya.
Ditambahkan, jika sudah melebihi dari 30 persen, pemerintah harus berhati-hati.
“Apalagi, kalau sudah 35 persen, 40 persen lebih hati-hati lagi. Utang boleh, tapi kemampuan kita untuk membayar juga harus tinggi,” tambahnya.
Tidak salahkan Jokowi
Namun SBY tidak menyalahkan pemerintahan Jokowi yang gencar membangun infrastruktur dengan utang.
“Saya tidak boleh menyalahkan Presiden Jokowi dan pemerintah sekarang begitu saja, lantaran beliau mengembangkan kebijakan ekonomi yang berbeda katakan lah dengan kebijakan ekonomi yang saya jalankan dulu selama 10 tahun,” katanya lagi.
Terkait keterlambatan proyek infrastruktur, dia berpendapat, ada permasalahan sosial yang dihadapi. Misalnya pembebasan tanah.
“Jangan sampai semuanya gampang, kita bisa selesai dengan cepat. Kenyataannya, ada masalah pembebasan tanah,” katanya.
Disebutnya, keterlambatan pembangunan infratruktur juga akibat masalah finansial. “Saya mengalami itu dulu, oleh karena itu, saya tidak mudah mengatakan ‘ah itu gampang. itu segera terwujud’, karena memang itu lah masalah yang kita hadapi di negeri tercinta ini. Apalagi kalau utang itu belum cair,” ujarnya.
Dia berharap, keterlambatan itu segera dilakukan solusi. “Kalau urusan finansial, ya bagaimana mendapatkan keuangan itu. Kalau pembebasan tanah, ya bagaimana cara pemebebasan tanah yang tepat dan lain-lain,” ungkapnya.
Penting, kontrol utang
Meski begitu Ketua Umum Partai Demokrat itu mengingatkan, meningkatnya pembangunan infrastruktur akan mengurangi alokasi APBN untuk pembangunan manusia.
SBY menuturkan, pembangun infrastruktur tak hanya membutuhkan pendanaan, melainkan perlu mengedepankan urgensi. “Bagaimanapun untuk meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, kemiskinan, bantuan kepada yang perlu dibantu, bantuan sosial misalnya, porsinya pasti berkurang,” ungkapnya.
SBY menekankan pentingnya mengontrol utang. “Jelaskan pada rakyat. Rakyat mesti tahu negaranya utang berapa banyak? Untuk apa? Dari negara mana utang itu? Bagaimana membayar utang itu dan sebagainya,” harapnya.
Dia menyatakan penurunan pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemampuan negara membayar utang. “Apalagi kalau utang itu tidak digunakan secara tepat. Kalau hanya infrastruktur, menurut saya, mestinya juga digunakan untuk komponen lain, agar ekonomi tumbuh lebih bagus,” katanya lagi.
Tingkatkan kepercayaan rakyat
Dia menegaskan, pemerintahan Jokowi masih memiliki waktu 1,5 tahun untuk menuntaskan tugas dan pengabdian. “Sehingga pada saat Pilpres 2019, tidak ada lagi janji yang belum dipenuhi kepada rakyat dalam pembangunan ekonomi, termasuk infrastruktur,” ujarnya.
Apabila sisa waktu pemerintahan digunakan dengan baik melalui kebijakan kabinet yang solid dan efektif, maka rakyat akan mengapresiasi. Meski politik makin panas karena mendekati Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres), namun pembangunan ekonomi jangan mengendur.
“Rakyat itu mungkin akhirnya ya masalah perut, kehidupan sehari-hari mereka. Kalau diperhatikan dengan baik, Insyaallah baik untuk pemimpin kita dalam mengikuti pilpres yang akan datang,” tandasnya.
Dia mengungkapkan, rakyat Indonesia tentu mengetahui terdapat empat jalur kebijakan pembangunan ekonomi yang diterapkannya ketika memimpin Indonesia. Keempatnya yaitu pro pertumbuhan, pro lapangan kerja, pro pengurangan kemiskinan dan pro lingkungan.
Terkait keterlambatan proyek infrastruktur, dia berpendapat, ada permasalahan sosial yang dihadapi. Misalnya pembebasan tanah. “Jangan sampai semuanya gampang, kita bisa selesai dengan cepat. Kenyataannya, ada masalah pembebasan tanah,” katanya.
Menurutnya, keterlambatan pembangunan infratruktur juga akibat masalah finansial. “Saya mengalami itu dulu, oleh karena itu, saya tidak mudah mengatakan ‘ah itu gampang. itu segera terwujud’, karena memang itu lah masalah yang kita hadapi di negeri tercinta ini. Apalagi kalau utang itu belum cair,” ujarnya lagi.
Dia berharap, keterlambatan itu segera dilakukan solusi. “Kalau urusan finansial, ya bagaimana mendapatkan keuangan itu. Kalau pembebasan tanah, ya bagaimana cara pemebebasan tanah yang tepat dan lain-lain,” ungkap SBY seperti diberitakan ‘Suara Pembaruan’ dan dilansir ‘BeritaSatu.com’. (B-SP/BS/jr)