Oleh Max Siso *) **)
Atas inisiatif Max Siso, seorang penggiat ideologi dan sejarah kebangsaan di Manado, digekarlah diskusi khusus di rumahnya, di Manado, pada 1 Junin2022, dalam rangka memperingari Hari Lahir Pancasila. Max Siso yang memiliki pengalaman tarung di berbagai organisasi nasional langsung bertindak sebagai keynote speaker pada pergelaraan kebangsaan ini.
Hadir dalam diskusi tersebut, berbagai tokoh dan aktivis, di antaranya Wempy Frederik (alumni GMNI yang pernah menjadi Walikota Manado) dan Elissa Filsafat Regar (alumni GMKI yang juga doktor serta akademisi di Universitas Sam Ratulangi).
Berikut tulisannya:
Ada pemikiran yang berkembang, ketika kita melakukan pendalaman terkait Anatomi Pancasila Sebagai Kohesi Dalam Kelangsungan Perjanjian Luhur Bangsa. Dari lima sila pada Pancasila, 4 sila di antaranya sifatnya merupakan nilai-nilai universal, tetapi satu merupakan kekhususan bagi kita di Indonesia, yakni sila Persatuan Indonesia. Nah, akhir-akhir ini muncul gerakan-gerakan yang mengancam melumpuhkan sila PERSATUAN INDONESIA yang bersifat khusus itu dan yang paling menonjol terakhir ini adalah konvoi-konvoi yang dilakukan sembari menyebarkan berbagai selebaran yang dilakukan kelompok
“Khilafah”, atau apalah namanya. Kehadiran dan aksi kelompok-kelompok seperti ini, jelas dapat membawa ekses berkepanjangan. Di Sulawesi Utara, tak mungkin gerakan-gerakan tersebut muncul. Tetapi kedepan yang paling mungkin muncul adalah ekses-eksesnya, yaitu kalau masyarakat provinsi ini merasa terintimidasi akibat dari gerakan semacam ini, yaitu gerakan separatis yang apabila nanti dibiarkan maka tergeruslah nilai “PERSATUAN INDONESIA”.
Berbagai surat kabar dan media sosial telah menyajikan semacam konfirmasi, bahwa gerakan seperti itu memang riil, dan bukan seperti tuduhan sebagian kalangan bahwa itu semata adalah “proyek”. Aneh, tentu tuduhan semacam ini, “karena manusia mana yang mau menjadi korban, jika benar itu adalah sebuah “proyek”?” kalau proyek kan bersifat belum terungkap, “tetapi inikan sumbernya jelas, pelakunya jelas?“
Pelaku kegiatan ini bahkan kadung menyebut bahwa sistem ketatanegaraan kita sebagai “thogut”. “Nah apakah ada komunikasi dengan negara kalau ini dianggap sebagai proyek?” Ini melahirkan perdebatan dominan di ruang-ruang publik, di medsos dan lainnya. Dan tidak sedikit juga berita-berita muncul bahwa persoalan-persoalan ini juga sudah masuk ke sendi-sendi kehidupan kelembagaan Negara. Dengan adanya gerakan-gerakan yang sudah terpampang dengan jelas, yaitu dapat ditonton dengan mata telanjang, alias sudah menunjukkan sikapnya, yaitu lewat konvoi, ini menunjukkan bahwa gerakan ini sudah sangat serius, dan sepanjang pengamatan, kelompok ini selalu mendengungkan di ruang public, bahwa sistem yang benar adalah system dari hukum Tuhan. Dan,perjuangan mereka, adalah perjuangan yang dilakukan apakah lewat berbagai aksi, tetapi yang lebih harus dicermati dan diwaspadai adalah perjuangan lewat jaur konstitusi.
Konyolnya dalam jalur kita bernegara, sikap kita belum jelas. Dibanding dengan ajaran komunis, misalnya, jelas negara bersikap, yaitu adanya TAP MPR No. 25 Tahun 1966, yang memang ajarannya dilarang. Tapi, fenomena rongrongan terakhir ini jelas menjadi problem kenegaraan, Kenapa? Karena ada yang mengklem bahwa itu ajaran agama. Hal ini menjadi perdebatan di kalangan tertentu. Meski, masih menjadi perdebatan, tetapi di ruang publik hal itu sudah menganggu kenyamanan kita bernegara. Di antaranya, di Sulawesi Utara, bisa menjadi pemicu lahirnya gerakan separatis. Oleh karena itu, berbagai elemen kebangsaan sudah menyikapi hal ini. Meskipun di kalangan yang lain, mengatakan bahwa ini adalah rekayasa. Tetapi dari nalar kita, dari logika kita, tidak ada kemungkinan itu adalah rekayasa. Bahwa memang ada suatu kelompok yang riil, yang akar ideologisnya masih hidup di tengah masyarakat, karena itu, sikap kita adalah:
Meminta gubernur Sulawesi Utara, memfasilitasi agar harapan-harapan ini dapat disampaikan kepada pemerintah pusat untuk:
Pertama, membersihkan semua Lembaga negara dari pengaruh ideologi tersebut, termasuk di dalamnya adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Kedua, parlemen itu sebenarnya adalah lembaga artikulasi. Mereka juga harus jujur, bahwa mereka tidak lagi menjadi duta kelompok, tetapi sudah menjadi alat bangsa kita dalam rangka merumuskan masa depan bersama, Sehingga diharapkan DPR tidak lagi menunjukkan keberpihakan pada kelompok. Karena, keberpihakan anggota DPRD itu sebetulnya, pada sisi Politik Negara yang jelas terbaca dan terukur, jadi DPR itu melaksanakan fungsi politiknya, yaitu politik negara. Contohnya, dalam UUD kita pada Mukadimah ada empat tugas konstitusi. Dan itu bukan hanya tugas pemerintah, tapi DPR juga ikut memiliki fungsi itu. Keempatnya, yaitu: 1). Melindungi tumpah darah; 2). Mencerdaskan kehidupan bangsa; 3). Memajukan kesejahteran umum; dan 4). Ikut menjaga perdamaian dunia yang abadi. Untuk tugas keempat ini, DPR sangat diminta untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh, karena cita-cita kemerdekaan kita adalah membangun tatanan dunia baru, yang di dalamnya bagaimana dunia hidup tenang dalam perdamaian, tanpa terintimidasi oleh riak-riak atau gelombang apapun. Kemudian Contoh terakhir, saat ini Putin membuat riak-riak yang membuatnya menjadi musuh bangsa-bangsa, Indonesia kan pernah menjadi pelopor sebuah Gerakan tatanan baru non blok, tatanan dunia baru yang bebas dari intimidasi Blok Timur dan Blok Barat. Kalau DPR kita gaduh, itu akan mempengaruhi dan membuat polarisasi sampai ke tingkat masyarakat. Dan suatu Ketika dapat terjadi kegaduhan Indonesia itu dianggap mengganggu perdamaian dunia. Karena itu, DPR harus jujur dan tugas dia tidak lagi menjadi duta kelompok, tetapi melaksanakan fungsi politik negara. Kami sekali lagi, menyerukan bahwa DPR itu sungguh-sungguh melaksanakan tanggungjawabnya dalam 4 (empat) tugas konstitusi di atas tadi.
Ketiga, Partai Politik adalah sumber kader. Partai politik mestinya menjadi alat integrasi nasional. Dalam konteks ideologi tadi, silahkan Partai Politik menyampaikan pandangan-pandangannya, namun tetap dalam kerangka Pancasila, makanya pemahaman tentang anatomi Pancasila menjadi sangat penting. Karena jika tidak, partai-partai politik ini menjadi seenak perut menafsirkan apa itu Pancasila. Yang sebetulnya, Pancasila itu dipahami dari aspek anatominya, yaitu berangkat dari pemahaman Pancasila dari Pidato Presiden Sukarno 1 Juni 1945. Ingat di dalam dokumen, pikiran Bung Karno itu diterima secara aklamasi dan dari kesepakatan itulah lahir tim yang menyusun naskah UUD yang berangkat dari kesepakatan tadi, bahwa Indonesia itu tidak dilahirkan untuk sewindu, tetapi untuk selamanya, Bahwa Indonesia itu dilahirkan Satu untuk Semua dan Semua untuk Satu Indonesia. Ketika ada pikiran yang berbeda dengan itum jelas ini adalah anasir yang sudah menyimpang dari cita-cita luhur. Ini perlu digarisbawahi oleh pemerintah pembersihannya juga dilakukan lewat partai-partai politik harus betul-betul mengemban tanggungjawab sejarah sebagai alat integrasi nasional. Dan juga menjadi alat dan pembawa pesan tentang kesejukan bagi bangsa ini. Jika ini yang dikerjakan oleh bangsa ini, maka mimpi kelompok-kelompok tertentu untuk menggunakan jalur-jalur konstitusi itu pasti tereliminasi dengan sendirinya.
Nah, bagaimana dengan hari ini? Problem kita sekarang, bagaimana antara hak asasi dan harapan akan keutuhan masyarakat bangsa ini yang tumbuh sebagai masyarakat yang holistik. Jadi kita bicara bangsa Indonesia, itu kan tidak terhindarkan kita bicara tentang kebhinekaan. Tetapi, dalam kebhinekaan itulah lahir kesepakatan luhur kita untuk mewujudnyatakan ke-tunggal-ika-an. Prinsip-prinsip dalam ketunggal-ikaan itu sesungguhnya adalah: Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku. Itu sebetulnya menjadi spirit nasionalisme Indonesia. Inilah yang harus dipahami partai-partai politik Indonesia. Sehingga hari ini, jikalau kita bicara tentang pembersihan parlemen dari anasir-anasir tadi itu harusnya menjadi Kerjasama dari kita semua. Bagaimana partai politik itu membangun opini demi kepentingan Indonesia yang Bersatu, dalam kepentingan hendak mewujudkan sebuah semangat bahwa, Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku. Dan rakyat bisa berpartisipasi memilih dalam pemilu dengan melihat partai-partai mana yang serius, yang serius, yang serius akan tanggungjawab untuk menjadi alat integrasi nasional. Kita tidak bermaksud untuk mewaspadai kelompok-kelompok tertentu, akan tetapi adalah sebuah keharusan bagi kita untuk melakukan sebuah deteksi bahwa ada partai-partai politik yang masih menjadi kekuatan asing. Meskipun era perang dingin telah berakhir, tetapi ada satu kekuatan yang kita namakan kekuatan trans-nasional. Nah, partai-partai politik Indonesia haruslah steril dari kekuatan-kekuatan ini. Sebab kalau kita mewaspadai trans-nasional, tidak ada bedanya dengan kita mewaspadai “globalisasi” sebagai pertarungan antara komunisme dan kapitalisme. Tetapi ada kekuatan trans-nasional yang berjubah agama, ini yang menjadi kewaspadaan kita.
Baru-baru ini PBB meratifikasi dan mengatakan bahwa kita harus melawan Islam-phobia. Nah, ini jangan disalah tafsir!? Bahwa ketika kita mengkritik gerakan-gerakan trans-nasional itu dianggap kita Islam-Phobia. Karena sesungguhnya, apa sih itu Islam-phobia? Mari kita lihat dulu, Islam. Nilai-nilai Islam itukan mulia? Masakan kita mewaspadai sesuatu yang sifatnya mulia? Masak kita mewaspadai sesuatu yang nilainya luhur? Tetapi, sesungguhnya kita dikait-kaitkan dengan Islam-phobia, karena apa? Yaitu, karena kita menentang, yang namanya terrorism, karena kita menentang yang namanya sectarianism. Karena itu, kita serta merta dicap Islam-phobia dan harus kita lawan. Bagi kita, jelas tidak pantas untuk takut dengan sesuatu yang nilainya mulia dan nilainya luhur, tetapi aparat negara harus tegas bahwa kekuatan-kekuatan trans-nasional yang berlindung di balik jubah agama berani kita katakan itu bukan Indonesia. Karena, Indonesia adalah sebuah pakta sejarah untuk hidup berdampingan secara terhormat dan damai. Itulah Indonesia. Kalau bukan ini yang dipraktikkan, maka ini bukan Indonesia lagi. Sehingga, kita perlu juga melihat spirit sejarah yang pernah ditunjukkan oleh para Kiai dan para santrinya, yang dinamai Resolusi Jihad. Hari ini kita tidak perlu malu untuk menyatakan serta menyatukan diri kita dengan gelora-gempitanya metamorfosa resolusi jihad tersebut, karena sampai hari ini para Kyai tetap konsisten untuk melawan segala sesuatu yang itu bukan Indonesia.
Terakhir, bahwa masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh siapa yang menjadi presiden, meskipun partisipasi publik tetap kita harapkan, kenapa? Karena dalam konteks ideologi, yang diterjemahkan ke dalam pranata-pranata hukum, posisi presiden jika kita melihat sejarah pada tahun 1959 pernah terjadi lahir Dekrit saat terjadi kebuntuan-kebuntuan dan terancam terjadinya kekosongan konstitusi. Hal ini tidak bisa lagi terjadi, Sehingga pemilihan umum 2024 ke depan dibutuhkan kecermatan kita untuk melihat para tokoh yang sedang beredar nama-namanya dalam ruang public. Mereka juga sudah terdeteksi dengan berbagai performance serta profil yang jelas. Pastinya bahwa kita semua sedang bernafsu untuk melahirkan siapa pemimpin, tetapi harapan kita, pemimpin yang akan datang adalah pemimpin yang semangat kebangsaannya telah teruji dan dialah Indonesia itu sendiri, tidak dalam artian ras tetapi terkait konsep kesepakatan bangsa kita. Kita mengharapkan pemimpin masa depan Indonesia adalah pemimpin yang mengembangkan semangat: Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku. Serta tidak terjebak pada pendekatan, tirani minoritas dan dominasi mayoritas.
Terkait dengan pembersihan lembaga-lembaga negara itu mesti dilakukan, karena kemungkinan penyusupan terjadi di sana. Mengapa, karena beberapa kinerja atas Lembaga-lembaga negara terkait dengan kasus-kasus mutakhir, misalnya terkait dengan penistaan agama, yang terjadi terakhir ini. Pada kasus penistaan agama berupa hujatan atas ajaran agama tertentu yang menyakitkan sekali, justru muncul tuntutan dengan ancaman hukuman hanya enam bulan penjara saja. Sementara, kasus yang lain, misalnya kasus keluhan orang atas penggunaan TOA untuk kumandangkan resital agama tertentu, hukumannya adalah 9 bulan. Ini yang mengherankan, antara yang menghujat dan yang mengeluh, justru yang mengeluh yang diancam hukuman lebih berat. Sehingga ini bisa memicu spekulasi atau pendapat liar yang pada ujung-ujungnya melemahkan posisi negara di hadapan rakyat. Karena itu tindakan tegas pembersihan lembaga-lembaga negara itu penting, karena apabila tidak, akan melahirkan kelesuan orang terkait semangat bernegara. Ini juga menjadi tanda bahwa kelompok-kelompok tertentu itu sudah masuk ke semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai terjadi Muhammad Kace bisa dihukum 10 tahun, ketimbang seorang Yahya Waloni yang berulang-ulang melakukan pelecehan terhadap kekristenan, tapi ya dihukum cuma hanya enam bulan. Ada lagi tokoh yang mengatakan bahwa “…di salib ada jin…” tetapi tidak dituntut. Terus, ada lagi yang mengatakan, “…masak Tuhan diperanakkan, siapa bidannya?…” Nah semua kenyataan ini akan melahirkan tiga hal: Pertama, kelesuan semangat bernegara; Kedua, krisis kepercayaan terhadap negara, Ketiga, adalah Tindakan putus asa, di antaranya dengan mengobarkan semangat sepatisme.
*) Tokoh nasionalis dan penggerak massa, juga penggiat ideologi dan sejarah kebangsaan di Manado
**) Disadur dari Mediasulutgo.com, Edisi