BENDERRAnews, 28/8/19 (Yogyakarta): Ibukota Negara Republik Indonesia kini resmi telah ditetapkan pindah dari Jakarta ke kawasan khusus di Provinsi Kalimantan Timur.
Nah, menyongsong perpindahan ibukota negara tersebut, dimulai tahun ini hingga 2020 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menyiapkan desain kawasan, konsep tata ruang dan tata bangunan dan lingkungan.
Sebagai pusat pemerintah, proses pemindahan ibukota ini tersebut dilakukan secara bertahap. Dalam 1,5 tahun ini pemerintah akan menyiapkan konsep desain ibukota yang mencerminkan kota cerdas, modern dan bertaraf internasional.
“Kita ingin mewujudkan kota cerdas dan modern berstandar internasional menjadikam ikon urban desain sebagai representasi kemajuan bangsa yang unggul,” kata Menteri Basuki Hadimuljono, usai memberi kuliah umum di hadapan 471 mahasiswa baru program pascasarjana Fakulta Teknik UGM di Grha Sabha Pramana, Selasa (27/8/19).
Dimulai 2023
Pemindahan ibukota ini direncanakan akan dimulai pada tahun 2024, dan dalam waktu dekat, setelah anggaran sudah disetujuan, akan membangun prasarana dasar dalam rangka membuka akses menuju lokasi ibu kota. “Kemudian kita bangun waduk untuk pasokan air bersih dan sarana transportasi dari kereta api dan listriknya. Selanjutnya perumahan dan perkantoran, letak istananya, kantornya, perumahan, dan lokasi komersilnya,” katanya seperti diberitakan Suara Pembaruan.
Pembangunan sarana dasar berupa jalan ini ditargetkan akan dimulai pada pertengahan tahun depan. Apabila sarana dasar ini sudah dibangun diikuti dengan perkantoran dan perumahan, proses pemindahan sudah bisa dilakukan tahun 2023. “Pemindahan akan bertahap, mulai kantor utama PU dulu, kantor keuangan, kantor presiden dan itu bertahap,” katanya lagi.
Dikatakan, lahan yang diperukan untuk pembangunan ibukota ini seluas 180 ribu hektar (tiga kali luas DKI Jakarta), namun untuk tahap awal menurutnya akan dibangun di lahan seluas 40 ribu hektar. “Bangunan utama di lahan seluas 40 ribu hektar,” ungkapnya.
‘A Citi in the Forest’
Basuki Hadimuljono menjamin, proses pembangunan ibukota baru ini tidak merusak lingkungan. Bahkan pihaknya akan menghijaukan kembali daerah bekas sawit dan batu bara yang ada di sekitar ibukota baru.
“Konsepnya A City in The Forest, hutan Suharto banyak bekas ilegal sawit akan dihutankan lagi,” katanya.
Diperkirakan, jumlah penduduk di ibukota yang baru sekitar 1,5 juta orang, berasal dari tambahan 800.000 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan dipindahkan ke sana. Sebab, kota yang baru hanya menjadi pusat pemerintahan, bukan kota bisnis dan perdagangan.
Proses pemindahan ibukota ini, menurut Basuki, dilakukan dengan kajian mendalam, agar pemindahan ini tidak menjadi sia-sia. Bahkan pemerintah sudah mengkaji dari pengalaman 78 proses pemindahan ibukota negara di seluruh dunia. “Canberra, Putrajaya dan Brasilia sebagai contoh, kita tidak ingin seperti itu,” katanya.
Terkait dengan dana pembangunan ibu kota baru sekitar Rp460 triliun, pemerintah hanya menggunakan dana APBN sebesar 19 persen, sisanya dari hasil Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) 54 persen dan pihak swasta 26 persen. Keterlibatan swasta di sini menurutnya dalam bentuk investasi. “Misalnya invetasi di air minum, kalo bendungan kita yang buat,” katanya.
Peletakan batu pertama
Sementara itu, dalam waktu dekat pemerintah akan meresmikan jalan tol Samarinda-Balikpapan pada pertengahan Oktober ini. Sedangkan peletakan batu pertama pembangunan jalan ibukota direncanakan akan dimulai pertengahan tahun depan. “Itu target kami, yang pentingnya prasarana dasarnya dulu, aksesnya dulu yang dibangun,” katanya.
Sementara itu, menurut pakar pembangunan wilayah UGM, Prof Rijanta, sejumlah tantangan akan muncul dengan berpindahnya ibukota, misalnya penyediaan layanan pendukung seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Salah satu tantangan krusial yang kurang disoroti ialah persoalan pemenuhan kebutuhan pangan.
“Satu juta orang berpindah ke sana, kesiapan bukan hanya persoalan pusat ibu kotanya, tetapi juga pelayanan pendukung untuk kehidupan orang-orang itu sendiri. Bagi saya yang sangat urgen adalah pangan, karena Kalimantan itu masih mendatangkan bahan pangan dari Jawa Timur,” jelasnya.
Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan pengembangan wilayah-wilayah pendukung untuk menyediakan kebutuhan tersebut. Baik melalui penguatan kapasitas pengelolaan sumber daya atau dengan menggalakkan program transmigrasi di kabupaten sekitar.
Pemerintah juga perlu mengantisipasi perkembangan sektor-sektor ekonomi, pariwisata, hiburan, dan lainnya yang akan muncul seiring dengan pembangunan pusat pemerintahan. Melihat kondisi itu, harus ada rancangan serta aturan tata ruang yang jelas dan tegas.
Lebih jauh Rijanta melanjutkan, ibukota baru yang nantinya bertempat di wilayah Kalimantan Timur, akan memiliki fungsi utama di bidang pemerintahan. Namun kota tersebut tidak akan menggantikan keseluruhan fungsi yang saat ini berjalan di Kota Jakarta.
Dikatakan, kedua kota akan berbagi fungsi. Pembagian itu tidak akan membangkrutkan Jakarta. Jakarta tetap akan hidup dan menghidupi daerah hinterland-nya.
Urgensi pemindahan ibukota, tidak semata-mata didasarkan pada kondisi kemacetan atau kepadatan penduduk yang terjadi di Jakarta. Melainkan fakta, fungsi kota yang dijalankan oleh Jakarta sudah saling menumpuk, hingga menimbulkan kompleksitas, serta demi mewujudkan keseimbangan spasial dalam pembangunan di Indonesia.
Disebutnya, memindahkan ibukota ke luar Jawa merupakan keputusan yang tepat untuk rencana pembangunan jangka panjang. “Terutama untuk mengoreksi problem kesenjangan yang semakin parah,” tambahnya.
Dibandingkan dengan kota lain yang diwacanakan sebelumnya, kota-kota di Kalimantan Timur dianggap paling siap untuk dikembangkan untuk fungsi yang lebih besar.
“Semua ada plus minus, tapi Kalimantan Timur banyak plusnya. Infrastrukturnya siap, dari segi angkutan laut juga strategis sekali. Di samping itu, dari segi sosial, heterogenitas masyarakat yang cukup tinggi menjadikan wilayah ini lebih siap untuk menerima perubahan,” ungkapnya.
Disebutnya, pemindahan ibukota, ujarnya, tidak semata-mata didasarkan pada kondisi kemacetan atau kepadatan penduduk yang terjadi di Jakarta. Namun pada fakta, fungsi kota yang dijalankan oleh Jakarta sudah saling menumpuk hingga menimbulkan kompleksitas.
Rijanta menerangkan, pembagian fungsi kota kepada ibukota yang baru dianggap memiliki efek positif. “Baik untuk Jakarta, kota yang dituju, maupun bagi daerah lain yang menjadi bagian dari pengembangan wilayah ibu kota baru,” demikian Prof Rijanta. (B-SP/BS/jr)