BENDERRAnews.com, 9/9/22 (Manado): Fakta menunjukkan, salah satu faktor penyebab pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, karena kejenuhan terhadap calon-calon yang tampil berkompetisi pada Pemilu.
Pengamat Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Dr Ferry Daud Liando, mengemukakan itu pada diskusi publi “Capres Alternatif, Mengapa Tidak?” yang digagas Komite Pemilih Indonesia (TePI) Sulawesi Utara (Sulut), di Manado, Kamis (8/9/22) kemarin.
Liando berpendapat, berangkat dari hasil penelitiannya di tahun 2015, calon alternatif tidak hanya merujuk pada aktor politik. Akan tetapi merujuk juga pada institusi politik. “Aktor dan partai politik, hanya berputar-putar pada nama-nama yang sama dan tidak mengarah pada perbaikan demokrasi”, tandasnya.
Sementara, menurutnya, korupsi makin merajalela, pelayanan publik kian buruk dan harga konsumsi melonjak mahal serta menyulitkan masyarakat.
Kenyataannya, lanjutnya, calon presiden (Capres) hanya bisa diusung oleh Parpol. Sehingga, apapun alasannya, calon yang diusung Parpol harus diterima masyarakat.
Hal ini terjadi karena baik konstitusi maupun UU 7 tahun 2017, tidak memberikan ruang bagi publik untuk memunculkan calon alternatif, karena terganjal Parliamentary atau President Threshold.
“Undang undang tidak memberi jalur lain untuk mengusung calon presiden selain Parpol. Kita tidak dimungkinkan untuk mengusung calon dari jalur independen seperti di Amerika,” tambahnya.
Karena itu, Parpol harus selektif menyeleksi calon, karena banyak figur yang sudah teruji, tidak korup, visioner, memiliki komitmen kebangsaan dan nasionalis, namun tidak diberi kesempatan untuk menjadi calon.
Meningkatkan gairah publik
Di tempat yang sama, Koodinator TePI, Jeirry Sumampouw, sependapat dengan Liando. Disebutnya, nama-nama yang mengemuka saat ini, sudah muncul lima tahun lalu.
Sumampouw mempertanyakan, apakah dari 200an juta penduduk Indonesia, tidak lagi memiliki calon lain?
“Calon alternatif perlu untuk meningkatkan gairah publik. Selama ini, pemilih terjebak dalam serangan pencitraan yang dilakukan Parpol di berbagai platform sosial media,” ungkap Sumampouw.
Apalagi menurut poengamatannya, beberapa calon yang muncul belakangan ini, tidak satupun yang serius menanggapi kenaikan harga BBM. Sehingga, tidak heran jika pertanyaan salah satu lembaga survey tentang calon calon yang ada, dapat menyelesaikan persoalan bangsa, jawabannya, 50 persen tidak yakin.
“Hal ini pertanda bahwa masyarakat inginkan figur baru. Karena itu, kembalikan Pemilu pada hakikat sebenanrnya, yakni perang gagasan,” usulnya.
Bukan ‘dreamer’
Sementara, Jerry Massie, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) memberikan beberapa kriteria terhadap calon alternatif. Dikatakannya, pemimpin ke depan harus cerdas, visioner, bukan dreamer dan out of box.
“Calon alternatif juga, harus cerdas dalam merespons persoalan persoalan kebangsaan, bukan pemimpi, namun bertindak dan mengimplementasikan berbagai program dalam kerjanyata,”katanya.
Sejumlah nama pun mencuat dalam diskusi yang dihelat di Café De’Kersen ini, sebagai figur alternatif yang dapat dipertimbangkan sebagai calon Presiden maupun Wakil Presiden pada Pemilu 2024 nanti.
Mantan Ketua MK, Prof Jimly Asshiddigie, Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, Rizal Ramly, hingga Mendagri Tito Karnavian.
Nama Ilham mencuat
Satu nama yang mencuat di akhir diskusi, ialah Cendekiawan Ilham Habibie. Dia juga merupakan pengusaha yang pakar di bidang teknologi. Jeirry Sumampouw, memberikan catatan khusus terkait nama terakhir ini.
“Ïlham dapat ditawarkan sebagai figur alternatif, karena memiliki kapasitas dan kemampuan. Hanya saja selama ini, kiprah Ilham belum maksimal terpublikasikan,” ungkapnya.
Selain itu, ia berharap, agar figur ini dapat melepaskan diri dari bayang-bayang Presiden ketiga RI, BJ Habibie sebagai orangtuanya. Karena, menurut Jeirry Sumampouw, hal itu akan memberikan kesan politik dinasti. (B-irm/jr)