BENDERRAnews, 21/11/18 (Jakarta): Di era Orde Baru, pengawasan ekstra super ketat dilakukan aparat keamanan dan para satuan intelijen terhadap seluruh kegiatan para anasir yang diduga merongrong ideologi negara, Pancasila.
Ternyata, pasca-reformasi terjadi suasana yang berbeda, situasi lebih leluasa dan bahkan cenderung sangat ‘bablas’ bebas bagi siapa saja untuk melakukan berbagai aksi, termasuk lewat institusi-institusi keagamaan, seperti masjid.
Kendati sudah berlangsung cukup lama dan terus semakin dalam, belakangan situasinya semakin membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila yang menghormati keragaman, keharmonisan kehidupan sesama keluarga sebangsa aneka latar.
Ya, ada temuan konkret, masjid-masjid di lingkup pemerintahan seperti kementerian, lembaga, dan BUMN, ternyata belum bebas dari paparan radikalisme melalui para penceramah tertentu.
Bahkan, dalam catatan Badan Intelijen Negara (BIN), dari 41 masjid yang terindikasi telah terpapar radikal oleh para penceramah itu, tersisa 17 lagi yang kondisinya masuk kategori parah.
Dakwah berisi ajakan perang
Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, mengatakan, dakwah yang disampaikan khatib dalam ceramah salat Jumat di belasan masjid itu misalnya, berisi ajakan untuk berperang ke Suriah atau Marawi, Fipilina Selatan. Dan ini disampaikan dengan “memelintir” ayat-ayat dalam Al Quran.
“Ya ajakan ke Suriah, mendorong ke Marawi. Jadi kan Marawi itu tempatnya kelompok ekstrem kanan. Kemudian memelintir ayat-ayat tanpa tahu sebab-sebab mengapa ayat itu muncul. Jadi ayat-ayat perang disampaikan dengan dipelintir, jadi agitasi massa,” ujar Wawan Hari Purwanto, kepada BBC News Indonesia lewat sambungan telepon, Minggu (18/11/18), juga dilansir berbagai media mainstream nasional.
Namun, kini memang ada sedikit penurunan jumlah masjid yang terindikasi telah terpapar radikalisme itu. Itu terjadi, lantaran BIN bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), gencar memantau dan melakukan tindakan persuasif terhadap khatib yang kerap menyebarkan ceramah radikal dan intoleransi.
“Kita melakukan upaya pendekatan dan mereka yang khotbah begitu coba didekati lagi dan disampaikan saran supaya tidak berulang,” jelasnya.
“Karena ini kan bukan medan perang, tapi medan damai.”
Gandeng NU dan Muhammadyah
Tak hanya itu, BIN dan BNPT juga menggandeng organisasi masyarakat Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) agar aktif berdakwah di lingkungan masjid pemerintahan.
Hasilnya kini, masjid-masjid yang sebelumnya terpapar dan masuk kategori radikal sudah mulai melunak.
“Sekarang sudah menurun 60 persen (masjid yang terpapar radikal oleh para penceramah tertentu). Tadinya radikal sekarang tidak terlalu. Hanya perlu intensif komunikasi dengan takmir masjid. Takutnya kan kembali lagi,” ujarnya lagi.
Bukan hanya di masjid
Dari catatan BIN, tak hanya masjid yang terpapar radikalisme oleh para penceramah itu. Berasarkan penelitian dengan salah satu universitas Islam di Jakarta terhadap guru agama di madrasah dari tingkat SD hingga SMA, sebanyak 63 persen memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.
“62,22 persen setuju hanya sistem pemerintahan berbasis syariat Islam yang terbaik untuk Indonesia. Ini kata guru agama,” kata Staf Khusus Kepala BIN, Arief Tugiman, dalam diskusi Peran Ormas Islam dalam NKRI di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Jakarta, Sabtu (17/11/18) pekan lalu.
Selain itu, ada juga temuan yang menyatakan sebanyak 75,98 persen setuju pemerintah harus memberlakukan syariat Islam. Kemudian 79,72 persen setuju umat Islam wajib memilih pemimpin yang memperjuangkan syariat Islam.
Panduan khotbah dari Kemenag
Penelitian yang menyebut adanya 41 masjid di lingkaran pemerintahan terpapar radikalisme (dibawa oleh para penceramah tertentu, Red), diungkap pertama kali oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyakarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan.
Dikatakan, dari puluhan masjid itu dibagi menjadi tiga kategori. Yaitu tinggi, rendah dan sedang.
“Dari 100 masjid itu 41 kategorinya radikal. Radikal rendah itu tujuh masjid, radikal sedang 17 masjid, dan radikal tinggi itu 17 masjid,” ujar Ketua Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Agus Muhammad.
Radikal rendah diartikan terkait isi khutbah terkandung sikap ragu-ragu jika ada yang bersikap negatif terhadap agama lain. Sedangkan radikal sedang, yakni setuju dengan sikap negatif atau intoleran terhadap umat agama lain. Sementara, radikal tinggi sudah memprovokasi umat untuk bertindak negatif terhadap umat agama lain.
Sejak temuan tersebut muncul, Kementerian Agama (Kemenag) langsung menggelar pertemuan dengan takmir atau pimpinan masjid di BUMN untuk berkoordinasi.
Juru Bicara Kementerian Agama, Mastuki, mengatakan, disepakati untuk menampilkan khatib yang lebih lebih moderat.
Selain itu, kementerian juga mendorong para khatib membaca buku panduan khotbah yang bisa diakses secara bebas yang berisi tentang cinta kebangsaan dan tanah air.
“Di BUMN sudah pro aktif menampilkan khotbah-khotbah yang lebih menyejukkan dan khotib yang terindikasi radikal sudah diganti,” tambah Mastuki saat dihubungi BBC News Indonesia.
“Selain itu, upaya kita yang lain adalah mengeluarkan 200 nama khatib (yang berwawasan lebih dalam, tidak radikal, Red) yang sempat menimbulkan pro-kontra. Tapi itu sesungguhnya bagian dari antisipasi dan memberikan alternatif bahwa banyak da’i yang memiliki wawasan kebangsaan,” ujarnya lagi.
Meski kebijakan itu sudah berjalan sekitar lima bulan, tapi Kementerian Agama mengaku belum mengetahui dampaknya.
Kemenag menambahkan, jika masyarakat masih menemukan penceramah yang menyerukan pesan berbau radikalisme atau intoleransi, agar mengadukan ke takmir masjid setempat. Cara itu, menurut Mastuki, lebih efektif dan akan cepat direspon.
“Kalau masyarakat bisa mengontrol langsung. Bisa saja disampaikan ke takmir masjid supaya lebih efektif dan ditindaklanjuti,” tegasnya.
Waspadai terorisme dari tempat ibadah
Secara terpisah, Pengamat Terorisme, Al Chaidar, menyatakan, paparan radikalisme maupun intoleransi tak hanya terjadi di masjid lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN, tapi sudah menyebar ke hampir seluruh tempat ibadah di Indonesia.
Namun begitu, dakwah maupun ceramah yang disampaikan para khatib tersebut, tidak terlalu berdampak selama pemerintah cepat merespon dengan mengganti para pengkhotbah moderat.
Ancaman lain yang harus diwaspadai pemerintah, menurut Al Chaidar, ialah lahirnya pelaku terorisme dari masjid-masjid di luar lingkup pemerintahan. Dalam penelitiannya, deklarasi pembaiatan sudah dilakukan secara terbuka di masjid-masjid.
“Ini masih penelitian, karena ada beberapa baiat dan deklarasi terjadi di beberapa masjid, tapi bukan masjid pemerintah. Kalau radikalisme di masjid pemerintah adalah yang yang biasa,” ujar Al Chaidar kepada BBC News Indonesia.
Kelompok moderat jarang berdakwah
Dia juga mengatakan, banyaknya masjid di pemerintahan yang menyuarakan radikalisme maupun intoleransi, terjadi karena selama ini kelompok moderat jarang berdakwah atau membuat ceramah. Kondisi itu dimanfaatkan kelompok lain yang beraliran Wahabi untuk menguasai masjid-masjid tersebut.
“Radikasime yang muncul yang saya lihat, hanya dalam bentuk sektarian. Artinya masjid ini dikuasai oleh kelompok Wahabi. Kemudian kelompok lain yang pernah meramaikan masjid ini hanya aktif dalam mengisi dan mendatangi masjid itu tapi tak pernah berdakwah. Nah mereka ini akhirnya terlempar keluar.”
Survei P3M NU
Di bagian lain, Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto menuturkan, hasil survei oleh P3M NU kemudian didalami lebih lanjut oleh BIN.
“Survei dilakukan oleh P3M NU, yang hasilnya disampaikan kepada BIN sebagai early warning dan ditindaklanjuti dengan pendalaman dan penelitian lanjutan oleh BIN,” kata Wawan, saat ditemui di Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (20/11/18) oleh tim BERITASPB.
Dikatakan, kategori radikalisme tersebut dilihat dari konten yang dibawakan penceramah di masjid tersebut.
Ia menuturkan, terdapat sekitar 50 penceramah dengan konten yang menjurus radikalisme.
“Jadi, konten ceramahnya yang kita utamakan, karena itu kan setahun sudah ada daftar penceramahnya, kalau masjidnya sih enggak ada yang radikal, tapi penceramahnya,” jelasnya.
Wawan menuturkan, keberadaan masjid di lingkungan pemerintah seharusnya steril dari hal-hal yang berbau radikal.
Hal tersebut merupakan salah satu upaya BIN menjaga persatuan di Indonesia. Ke depannya, BIN berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk melakukan pemberdayaan agar tercipta ceramah yang lebih sejuk.
“Hal tersebut adalah upaya BIN untuk memberikan early warning dalam rangka meningkatkan kewaspadaan, tetap menjaga sikap toleran dan menghargai kebhinekaan,” ujanya lagi.
“Selanjutnya dilakukan pemberdayaan da’i untuk dapat memberikan ceramah yang menyejukkan dan mengkonter paham radikal di masyarakat,” demikian Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto. (B-BBC/SPB/jr)