BENDERRAnews, 7/10/17 (Jakarta): Dari tahun ke tahun, jumlah populasi manusia kian meningkat dari tahun ke tahun. Namun, peningkatan itu tidak diiringi dengan ketersediaan lahan untuk tempat tinggal. Akibatnya, tidak sedikit penduduk di dunia yang pada akhirnya terpaksa tinggal di rumah tidak layak huni.
Mengutip data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Lana Winayanti mengungkapkan, ada 1,6 miliar penduduk dunia yang hidup di rumah tidak layak huni. Baik itu mereka yang berstatus memiliki atau menyewa rumah tersebut.
“Dari angka tersebut, satu miliar penduduk di antaranya tinggal di kawasan kumuh,” kata Lana saat menjadi pembicara pada sebuah Lokakarya di Hotel Bidakara, Senin (2/10/17) lalu.
Besarnya angka, terjadi akibat adanya ketimpangan yang cukup tinggi antara harga rumah dengan penghasilan yang diterima masyarakat.
Setiap tahun, menurut Lana, keduanya mengalami peningkatan. Namun, peningkatan pendapatan masyarakat tidak sebanding lurus dengan kenaikan harga perolehan tanah.
Untuk mengatasi itu, Lana menambahkan, perlu adanya perencanaan agenda pembangunan yang matang oleh pemerintah, khususnya di sektor perumahan dengan memperhatikan perkembangan terbaru.
Perkembangan itu meliputi isu urbanisasi, perubahan iklim hingga ketimpangan ekonomi yang semakin besar.
Khusus untuk tantangan urbanisasi, Lana menyebut, persoalan itu seharusnya dapat dipandang sebagai potensi pembangunan.
“Kalau bisa dikelola degan baik, maka pembangunan ekonomi akan meningkat. Pembangunan perumahan tidak bisa lagi dilihat sebagai pembangunan diri sendiri, tetapi suatu sistem perkotaan,” jelas Lana seperti dilansir ‘KompasProperti.
Konsep Meikarta
Merespons hal ini, pakar teknik dan hukum lingkungan jebolan Universitas Indonesia, Dr Ferol Warouw mengatakan, Indonesia pun kini punya masalah kurang lebih sama.
“Tetapi bedanya, Indonesia bahkan punya backlog sekitar 11,4 juta unit rumah. Data ini sebetulnya bisa bertambah, karena ada studi menyimpulkan, defisit rumah di Indonesia mencapai 13 hingga 15 juta,” ungkapnya kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’.
Terkait itu, Ferol melihat ada konsep hunian yang ditawarkan PT Lippo Cikarang Tbk melalui penembangan kota Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
“Mengapa Meikarta? Karena selain mempertimbangkan upaya penyebaran urbanisasi yang kini memusat ke Jakarta, dan telah mengakibatkan sekian banyak masalah sulit teratasi (lalu lintas, kriminalitas, bencana alam banjir sungai dan rob, hingga permukiman kumuh). Meikarta juga memiliki konsep yang memberikan hunian berlingkungan asri, aman serta dipenuhi beragam fasilitas (arena olahraga kelas dunia, pusat-pusat seni kaliber internasional, pusat pendidikan dan kesehatan bermutu plus sentra-sentra komersial hebat), serta didukung infrastruktur terlengkap (ada tol layang, LRT, MRT, ‘Monorail’, dilewati kerata api cepat Bandung-Jakarta, dekat Bandara Internasional Kertajati dan Pelabuhan Patimban Deep Seaport),” tuturnya.
Jika saja konsep Meikarta ini bisa diterapkan di banyak lokasi di sekitar Jabodetabek dan Jawa Barat, ini merupakan solusi bagi pemangkasan defisit hunian belasan juta rumah rakyat di Indonesia. “Sekaligus mengurangi dengan signifikan orang yang ada pemukiman kumuh dan tinggal rumah-rumah tidak layak, karena sebagian besar mereka ada di sekitar Jabodetabek,” katanya.
Apalagi, demikian Ferol Warouw, dengan perhtingan ekonomis yang matang, Meikarta bisa menawarkan rumah layak huni dan terjangkau semua lapisan masyarakat. “Harganya cuma Rp127 juta dan dapat dicicil 20 tahun. Ini kan hal baru, dan patut dicontoh,” demikian Ferol Warouw. (B-KP/jr — foto ilustrasi istimewa)