BENDERRA, 28/4/17 (Jakarta): Kampus harus steril dari kegiatan yang mengarah pada gerakan radikalisme, dan propaganda yang bertentangan dengan ideologi bangsa.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristedikti) Mohamad Nasir menegaskan hal itu di Jakarta, Jumat (28/4/17)
Karenanya, menjadi tanggung jawab rektor dan pimpinan perguruan tinggi, untuk mengawasi segala kegiatan kemahasiswaan, agar tidak menjurus pada hal-hal yang bersinggungan dengan radikalisme serta gerakan mengganti bentuk negara dan dasar negara Pancasila.
“Saya sejak menjabat sebagai menteri sudah menandatangani MoU dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pada tahun 2015, yang isinya kampus harus bebas radikalisme. Selain itu juga dengan BIN (Badan Intelijen Negara) dan Kementerian Pertahanan. Juga MoU dengan BNN (Badan Narkotika Nasional) agar kampus bebas narkotika,” kata Nasir.
Penegasannya itu disampaikan menanggapi adanya forum gerakan yang diindikasi mengarah pada upaya mengganti bentuk dan dasar negara yang digelar di sejumlah perguruan tinggi. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan penggalangan massa pengikut dengan menyasar para mahasiswa.
Dia menjelaskan, jika radikalisme dibiarkan masuk kampus, akan melahirkan bibit-bibit intoleransi. “Langkah ini untuk menjaga generasi muda kita,” jelasnya.
Untuk itu, Nasir telah menginstruksikan rektor dan wakil rektor agar mengawasi segala bentuk kegiatan di lingkungan kampus.
Apabila terjadi kegiatan yang mengarah pada gerakan radikalisme serta upaya mengganti bentuk dan dasar negara tersebut, rektor akan dipanggil dan diberikan sanksi.
“Manakala diketahui ada kegiatan semacam itu di kampus, yang pertama saya panggil adalah rektornya. Akan saya beri sanksi. Jangan sampai ada pembiaran oleh rektor,” tegasnya.
Sudah dipanggil
Diungkapkan, salah satu rektor sudah dipanggil karena kasus penggunaan kampus sebagai wadah perkumpulan kelompok tertentu yang menjadi viral di media sosial. Hal tersebut ternyata berkaitan dengan kegiatan keagamaan berupa pertemuan antara pengurus yang merupakan mahasiswa, dengan organisasi dari luar dan terjadi pada malam hari, sehingga di luar kontrol pimpinan kampus.
“Setelah melihat video itu, saya lihat langsung kontak rektornya. Mengapa terjadi ‘viral’ seperti itu. Ini berarti melanggar ketentuan yang telah saya buat sehingga menyebabkan radikalisme di lingkungan kampus,” ujarnya.
Selain itu, Menristekdikti menambahkan, juga akan melaporkan kepada pihak berwajib jika ditemukan indikasi pelanggaran pidana terkait kegiatan di kampus.
Pahami kebinekaan
Upaya menangkal radikalisme di kampus juga melibatkan Kementerian Pertahanan. Bentuk kegiatan yang dilakukan ialah pendidikan bela negara, dimulai sejak Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek).
“Adanya pendidikan bela negara diharapkan dapat meredam radikalisme dan kekerasan dalam kampus dalam bentuk apapun,” harapnya.
Nasir juga mengimbau mahasiswa agar memahami toleransi dan kebinekaan. Bagi mahasiswa yang telanjur terlibat dalam paham keagamaan yang menyimpang, Menristekdikti menjanjikan adanya pendampingan.
Pemahaman kurang
Secara terpisah, Guru Besar Pendidikan Anak Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rochmat Wahab menilai, tumbuh kembangnya sikap intoleransi dan radikalisme di kalangan mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Salah satunya keterbatasan pengetahuan mengenai agama sehingga membuat mahasiswa mudah terpengaruh paham yang menyesatkan.
Meskipun faktor ini telah diantisipasi oleh pihak kampus, namun pergerakan dan pergaulan mahasiswa di luar kampus menjadi hal yang sulit dikontrol. “Apalagi waktu terbanyak mahasiswa berada di luar lingkungan kampus,” jelasnya.
Disebutnya, kegiatan mahasiswa di luar kampus yang relatif tidak terpantau inilah disinyalir menjadi pintu bagi kelompok tertentu berhaluan radikalisme dan memiliki agenda mengganti dasar negara untuk masuk ke lingkungan kampus.
Untuk itu, kegiatan di luar kampus jangan sampai luput dari pantauan. “Ini mungkin sulit. Barangkali bisa bekerja sama dengan BIN, karena mereka relatif memiliki informasi yang cukup. Jadi harus ada kolaborasi semua pihak untuk mencegah tumbuhnya paham ini,” ujarnya.
Rochmat berpandangan, perlu ada pendampingan dan pemahaman mengenai bela negara di kalangan mahasiswa. “Mahasiswa rawan menjadi incaran kelompok radikal,” jelasnya, sebagaimana diberitakan ‘Suara Pembaruan’.
Harus diwaspadai
Secara terpisah, Direktur Eksekutif ‘Maarif Institute’, Muhammad Abdullah Darraz, mengatakan, kehadiran gerakan keagamaan transnasional di Tanah Air selama beberapa dekade terakhir harus diwaspadai dan diambil tindakan oleh pemerintah dan aparat keamanan.
Sebab, kehadiran mereka secara nyata ingin mengganti bentuk dan dasar negara Pancasila.“
Selama satu dekade terakhir, kehadiran dan eksistensi mereka semakin kuat dan signifikan,” ujarnya, Jumat (28/4/17).
Disebutnya, dengan menggunakan strategi politik nonkekerasan, gerakan ini relatif dapat diterima di ruang kekosongan ideologis sebagian masyarakat Indonesia.
Politik nirkekerasan
Gerakan tersebut secara nyata ingin menghidupkan khilafah di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan terutama melalui dunia pendidikan. Tidak hanya melakukan infiltrasi ideologis di kampus, mereka juga mulai menyasar siswa SD hingga SMA.
“Gerakan ini secara tegas merupakan ancaman nyata bagi ketahanan ideologis bangsa ini. Apalagi disinyalir mulai merasuki aparat pemerintahan,” jelasnya.
Strategi gerakan ini ialah menggunakan politik nirkekerasan. Mereka lebih banyak mengandalkan perubahan pola pikir masyarakat Indonesia melalui dunia pendidikan dan ceramah-ceramah keagamaan.
“Mereka mengkampanyekan ide khilafah Islam melalui dunia sekolah dan kampus. Di sekolah, mereka menginfiltrasi para guru dan kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan di kampus mereka menciptakan organisasi dan gerakan mahasiswa,” paparnya.
Oleh karenanya, pemerintah wajib memperkuat keberadaan ormas-ormas pembela ideologi Pancasila, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah agar berperan lebih aktif di kalangan masyarakat luas untuk meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bagi kedua Ormas ini, tambahnya, Pancasila dan NKRI merupakan sesuatu yang telah final dan tak dapat diganggu gugat, apalagi ditukar dengan ideologi lain semacam khilafah.
Selain itu, lanjutnya, kampus dan sekolah-sekolah negeri yang berada di bawah koordinasi pemerintah harus secara aktif menghalau gerakan ini dan mempersempit ruang geraknya di kampus dan sekolah. Untuk itu kampus dan sekolah harus memiliki kebijakan internal untuk memperkuat ideologi Pancasila.
Cabut HTI
Abdullah Darraz mengungkapkan, kelompok pengusung khilafah ini ialah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok ini telah menyebarkan ideologi khilafah di hampir 45 negara di Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Asia.
Keberadaannya secara politik bertujuan untuk menyatukan negara-negara Islam dan negara-negara dengan penduduk muslim dalam satu entitas politik yang disebut khilafah.
Terkait hal itu, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif mengatakan, HTI merupakan sebuah badan hukum yang disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.
“Semestinya Menteri Hukum dan HAM yang sekarang harus berani mencabutnya kembali. Karena tujuannya jelas-jelas ingin membentuk negara baru di Indonesia,” katanya.
Dia menilai, kelemahan pemerintah selama ini ialah seperti membiarkan gerakan transnasional ini makin membesar dan meresahkan masyarakat luas.
Secara terpisah, Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga angkat bicara soal HTI yang mengusung konsep khilafah. Belakangan ini, kegiatan HTI di sejumlah daerah batal digelar karena tidak ada Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) oleh polisi.
Salah satu yang batal digelar itu ialah agenda HTI yang mengangkat tema “Khilafah Kewajiban Syar’i Jalan Kebangkitan Umat” yang semula akan digelar di Jakarta pada Minggu (23/4). “Kita memang tidak keluarkan izin STTP-nya, karena banyak potensi konfliknya. Jadi lebih baik kita larang,” kata Tito, di Mabes Polri, Jumat (28/4/17).
Dia menegaskan, STTP tidak dikeluarkan bukan karena instruksi Mabes Polri, tetapi ada keberatan dari banyak pihak. “Karena banyak ancaman dari berbagai pihak yang tidak suka, atau yang anti. Mereka yang menolak HTI beralasan gerakan itu tidak sesuai dengan NKRI dan Pancasila. Polisi tugasnya untuk mencegah konflik,” lanjut Tito.
Kapolri menegaskan, siap menindaklanjuti jika ada laporan adanya gerakan yang mengancam NKRI dan Pancasila. “Yang pasti siapa pun yang mencoba merongrong atau mengganggu NKRI tentu harus ditindak tegas,” ujar.
Terkait perekrutan HTI di kampus-kampus, Tito menilai, hal itu indikasi yang bisa dianggap berbahaya. “Sedang kita bicarakan. Kalau seandainya itu dilakukan (menegakkan) khilafah, ya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila,” tandasnya.
Disinggung kemungkinan HTI dilarang secara permanen, Kapolri menjawab, “Sedang dibicarakan di Polhukam.”
Revisi UU Ormas
Sementara itu, pengamat sosial politik Yudi Latif mengungkapkan perlu langkah tegas dari pemerintah dan masyarakat mencegah berbagai gerakan yang ingin mengubah bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara khilafah.
Langkah jangka pendek, pertama, menindak tegas kelompok atau Ormas yang mengkampanyekan atau mempropagandakan gerakan ini.
“Jangan ada loyalitas ganda dari aparat penegak hukum, mereka harus tegak lurus dengan Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangannya. Mereka juga tidak boleh kompromi dengan kelompok ini hanya demi kepentingan sesaat saja. Karena ada juga elemen di dalam kekuasaan yang bermain-main dengan kelompok atau ormas-ormas tersebut demi kepentingan sesaat,” ungkapnya.
Kedua, perlu revisi UU Ormas yang hanya memberikan definisi sempit terhadap golongan atau ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Disebut Yudi, kualifikasi “bertentangan dengan Pancasila” terlalu sempit, yaitu komunisme dan ateisme.
“Padahal, banyak sekarang kelompok yang bertentangan dengan Pancasila, yang berdasarkan ideologi agama-agama tertentu, tidak hanya ateisme atau komunisme,” imbuh dia.
Sementara langkah jangka panjang, menurut dia ialah pendidikan Pancasila dan kebangsaan yang ditanamkan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal.
“Pendidikan Pancasila dan kebangsaan harus mendapat tempat utama di sekolah-sekolah atau kampus sehingga siswa dan mahasiswa bisa mengetahui apa itu dasar atau bentuk negara kita, nilai-nilai terkandung di dalamnya dan bisa menghargai keberagaman,” jelasnya.
Yudi juga berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, harus bisa memastikan sekolah dan kampus-kampus tidak menjadi tempat pembibitan gerakan atau kelompok radikal atau yang mengkampanye ganti bentuk negara.
“Gerakan semacam ini tidak muncul seketika, tetapi melalui proses yang panjang yang diawali dengan pembibitan. Dan sayangnya, pembibitan ini dilakukan juga di kampus-kampus bahkan kampus-kampus negeri. Ini perlu tindak tegas terhadap kampus yang bersangkutan dan juga mahasiswa yang terlibat dalam gerakan-gerakan seperti itu,” tuturnya.
Yudi juga berharap NU dan Muhammadiyah sebagai representasi Ormas Islam di Indonesia, untuk “mengambil alih” masjid-masjid, khususnya di kampus dan kampung-kampung yang dikuasai kelompok radikal.
“Mereka harus mampu mengendalikan dan menggembalakan umat melalui nilai-nilai Islam yang menyejukkan, mendamaikan dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Fraksi PDI-P, Hamka Haq. Disebut, gerakan yang ingin membentuk khilafah jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila.
Dia menyayangkan belum semua daerah aparat keamanan bertindak tegas terhadap kehadiran dan kegiatan ormas-ormas yang mengusung gagasan khilafah. “Sekarang, mereka berani berkoar di depan aparat, dan dibiarkan. Saya tak habis pikir itu kenapa bisa,” kata Hamka.
Dijelaskan, kelompok ini memanfaatkan demokrasi, khususnya soal kebebasan berpendapat. Sayangnya, mereka memanfaatkan demokrasi untuk tujuan menghancurkan negara.
Secara khusus, dia meminta ormas keagamaan yang memegang teguh NKRI dan Pancasila untuk bersama-sama menghadapi ancaman kelompok yang ingin mendirikan negara khilafah.
Sedangkan, Presidium Nasional Persatuan Nasional Aktivis 1998 (Pena ’98) Yahdi Basma menegaskan, Indonesia telah kokoh dengan fondasi Pancasila sebagai penopang kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Karena itu, aksi-aksi radikalisme dan ekstremisme yang kembali menggejala, bahkan merangsek ke segmen generasi muda dan mahasiswa, patut kita cermati bersama dan secara komprehensif mengantisipasinya,” tegas Yahdi, yang juga anggota Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) ini.
Dikatakan, sentimen agama, ras dan antargolongan (SARA) kerap dijadikan jubah politik para kelompok radikalis. Oleh karenanya, negara dan semua kekuatan masyarakat sipil, wajib melawan dan menindak tegas kelompok yg mengkampanyekan isu khilafah di Indonesia.
Penerusan JSN
Sementara DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), dalam dialog terbatasnya, menyatakan lima hal utama yang segera harus dilakukan.
Pertama, Pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum harus semakin tegas menindak Ormas-ormas maupun tokoh-tokoh yang sudah jelas-jelas selalu mengumbar perpecahan, adu domba serta merusak tatanan kehidupan kebangsaan yang bhineka, baik melalui aksi-aksi fisik maupun non-fisik berjubahkan unsur-unsur keagamaan tertentu.
Kedua, Pemerintah bersama DPR RI harus segera merevisi Undang Undang Keormasan (UU Ormas), dengan mempertegas penolakan terhadap Ormas yang tidak berazaskan Pancasila.
Ketiga, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Ristek dan Dikti, agar membuat kurikulum dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang mengajarkan Pendidikan Pancasila, Pendidikan Sejarah Bangsa, Pendidikan Kewarganegaraan juga Pendidikan Wawasan Nusantara.
Keempat, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Ristek dan Dikti, agar mengeluarkan peraturan melaksanakan Upacara Bendera tiap hari Senin pagi, dan mewajibkan membawakan lagu-lagu kebangsaan pada tiap Jumat, sebelum jam pulang sekolah.
Kelima, Pemerintah perlu menggalakkan kembali aktivitas kepramukaan di beragam jenjang serta menghidupkan serta menggairahkan lomba-lomba penulisan sejarah perjuangan bangsa, lomba-lomba baca puisi kebangsaan, lomba-lomba paduan suara lagu-lagu perjuangan, wisata sejarah dan napak tilas serta lomba gerak jalan dan seterusnya yang dapat membangkitkan disiplin serta spirit bela negara, sekaligus dalam rangka penerusan Jiwa-Semangat-Nilai (JSN) Perjuangan Kebangsaan. Demikian cuplikan yang bisa dirangkum Tim BENDERRAnews. (B-SP/BS/jr)