BENDERRAnews, 18/5/18 (Jakarta): Hari ini, Presiden Joko Widodo mengajak seluruh elemen bangsa membersihkan institusi pendidikan serta ruang publik dari berbagai bentuk ideologi terorisme.
Kepala Negara mengatakan, ideologi terorisme telah menjadi ancaman serius, karena telah masuk ke dalam sendi-sendi keluarga.
“Langkah preventif paling baik adalah bagaimana kita semua membersihkan lembaga pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi dan ruang publik dari ajaran ideologi yang sesat, yaitu terorisme,” kata Presiden saat berbuka puasa bersama jajaran menteri Kabinet Kerja, pimpinan lembaga, pengusaha, dan ulama di Istana Negara, Jakarta, Jumat (18/5/18).
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi bertutur tentang peristiwa penyanderaan di Mako Brimob Kelapa Dua, ledakan bom di tiga gereja di Surabaya dan Sidoarjo, hingga penyerangan di Mapolda Riau. Presiden Jokowi dengan raut wajah sedih menceritakan tentang kekejian terorisme yang telah membawa anak-anak menjadi korban.
“Saya melihat langsung betapa hancurnya tubuh dua orang anak pelaku bom. Tetapi, menurut saya, ini korban juga yang bernama Pamela dan Fadilah. Umur masih 12 tahun dan 9 tahun. Hancur semuanya, tinggal di sini (pinggang) ke atas,” kata Presiden Jokowi.
Lebih memprihatinkan lagi, ketika Presiden Jokowi menceritakan tentang anak-anak yang menjadi korban ledakan bom di gereja, yaitu Nathan dan Evan, yang usianya masing-masing 8 tahun dan 11 tahun. Bom meledak saat Evan dan adiknya, Nathan, hendak memasuki gereja.
Kemudian, lanjutnya, korban di Mapolrestabes Surabaya, yaitu seorang bocah berusia 8 tahun bernama Aisyah. ”Masih lagi yang di Sidoarjo. Korban Gafara masih berusia 10 tahun dan Faisal 11 tahun yang masih dirawat,” kata Jokowi.
Seharusnya anak-anak itu, jelas Presiden, masih dalam kondisi senang bermain-main di halaman rumah atau gang dan juga harusnya masih dalam posisi senang-senangnya sekolah. Mereka juga sedang senang berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya. “Yang ingin saya garisbawahi adalah, betapa kejam dan kejinya ideologi terorisme yang sudah membawa anak-anak dalam kancah aksi-aksi mereka,” ujar Presiden Jokowi seperti diberitakan Investor Daily.
Akun teroris diblokir
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengemukakan, sampai Jumat (18/5/18), sudah ada 2.145 akun yang terkait paham terorisme yang ditutup. Penutupan karena menggunakan media sosial (medsos) untuk menyebarkan paham radikal.
“Banyak di medsos, makanya kita take down (tutup, Red). Sampai tadi 2.145 yang sudah di take down,” kata Rudi usai mengikuti rapat koordinasi di Kementerian Polhukam, Jakarta.
Ia menjelaskan, pemerintah masih akan terus menyisir akun-akun yang terkait dengan terorisme. Pemerintah ingin penggunaan medsos bukan untuk kampanye terorisme yang mengajarkan kehancuran.
“Sekitar 2.000-an sedang diverivikasi,” tuturnya.
Dia meminta masyarakat agar aktif melaporkan jika ada akun-akun yang terkait terorisme. Pelaporan bisa ke kementeriannya, bisa juga ke kepolisian.
Wanita bercadar
Di tempat yang sama, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tidak menafikan persepsi masyarakat terkait keberadaan wanita bercadar yang terkadang menimbulkan keresahan. Menurutnya, pemakaian cadar yang terkait pemahaman dan pengamalan ajaran agama tidak dipersoalkan. Pemerintah akan tetap menghormati masyarakat yang menggunakan atribut keagamaan, seperti cadar.
Namun, bagi pengguna cadar harus memahami sekaligus menghormati situasi lingkungan sekitarnya. Para penguna cadar harus bisa menjalankan kewajibannya untuk memberikan rasa aman kepada lingkungan. Artinya, memberikan rasa aman itu tidak sekadar hanya diserahkan kepada aparat penegak hukum saja.
“Karena dicurigai dan menimbulkan keresahan, ya harus bersikap dan berperilaku sebagaimana mestinya. Jadi jangan eksklusif, tetapi membaur dengan masyarakat sekitar agar kedua belah pihak dapat saling menghormati,” saran Lukman Hakim seperti diberitakan Suara Pembaruan.
Pasca terjadinya serangkaian serangan bom di Surabaya beberapa waktu lalu, media sosial (Medsos) seperti Facebook dibanjiri dengan foto-foto dan video terkait aksi teror tersebut, yang sebenarnya telah melanggar standar komunitas Facebook. Karenanya, Facebook langsung mengambil sikap tegas untuk menghapus konten-konten yang tidak pantas itu dari platform mereka.
Public Policy Lead Facebook Indonesia, Ruben Hattari mengungkapkan, sejak serangan bom di Surabaya, konten negatif terkait radikalisme dan juga foto-foto atau video korban yang dihapus Facebook telah mencapai ribuan konten. Tanpa merinci jumlah pastinya, konten-konten tersebut berhasil diindentifikasi oleh tim Facebook dan juga menggunakan machine learning. Selain itu, ada juga konten yang dihapus berdasarkan laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Jumlahnya mencapai sekitar 472 konten.
“Angka 427 konten yang dilaporkan Kementerian Kominfo itu temuan dalam waktu dua hari setelah terjadinya serangan bom di Surabaya. Di luar itu, kami juga telah menghapus ribuan konten,” kata Ruben Hattari, di kantor Facebook, Jakarta, Jumat (18/5/18).
Ruben menyampaikan, memang tidak semua konten langsung dihapus oleh Facebook, terutama untuk konten yang sudah dipublikasikan oleh kebanyakan media. Misalnya saja video CCTV saat ledakan terjadi. Meski begitu, Facebook tetap membatasi penggunanya untuk bisa melihat langsung konten tersebut.
“Untuk konten-konten yang sudah disebarluaskan oleh media, memang tidak kita turunkan langsung. Tapi konten tersebut kita beri semacam filter, sehingga pengguna kami tidak bisa langsung melihat. Kalau memang mau mengaksesnya, tinggal di-klik saja. Jadi tergantung mereka,” tuturnya.
Ruben juga mengharapkan partisipasi dari masyarakat untuk melaporkan temuan konten negatif di platform Facebook, apalagi yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme. “Facebook tidak akan memberi ruang sedikit pun untuk teroris,” tegas Ruben Hattari, seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’. (B-ID/SP/BS/jr)