BENDERRA, 28/4/17 (Jakarta): Anda mungkin termasuk yang belakangan ini mengamati adanya upaya mengganti bentuk negara kesatuan dengan khilafah atau negara Islam. Pasalnya, upaya itu dinilai oleh banyak kalangan, semakin kentara.
Ya, ini karena sejumlah pertemuan atau forum yang secara substansi mengarah pada upaya mengganti bentuk negara dan pemerintahan, banyak digelar di sejumlah tempat.
Ada pertemuan yang sukses digelar. Namun tidak sedikit yang dibatalkan aparat keamanan. Seperti yang terjadi di Semarang, di mana kepolisian setempat membatalkan Forum Khilafah dua pekan silam.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun angkat bicara soal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung konsep khilafah. Belakangan ini sejumlah acara HTI di sejumlah daerah gagal digelar karena tidak dikeluarkannya Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) oleh polisi.
Tanpa STTP sebuah acara keramaian masyarakat dianggap tidak berizin, sehingga bisa dibubarkan secara paksa jika nekat digelar.
Salah satu yang batal digelar itu adalah agenda HTI yang mengangkat tema “Khilafah Kewajiban Syar’i Jalan Kebangkitan Umat” yang semula akan digelar di Jakarta pada 23 April 2017.
“Kita memang tidak keluarkan izin, STTP-nya, karena banyak potensi konfliknya. Jadi lebih baik kita larang,” kata Tito menjawab Beritasatu.com di Mabes Polri Jumat (28/4/17).
Saat ditanya apakah STTP tidak dikeluarkan atas instruksi Mabes Polri, tetapi karena banyak ancaman?
“Iya karena banyak ancaman dari berbagai pihak yang tidak suka, yang anti,” jawab Tito.
Pihak yang kerap berseberangan dengan HTI, di antaranya ialah GP Ansor dan Banser NU. Mereka menolak HTI dengan alasan HTI tidak sesuai dengan NKRI.
“Polisi kan tugasnya untuk mencegah konflik, maka janganlah (digelar acara itu),” lanjut Tito.
Terkait perekrutan HTI di kampus-kampus, Tito menilai hal itu merupakan indikasi yang bisa dianggap berbahaya.
“Sedang kita bicarakan. Kalau seandainya itu dilakukan (menegakkan) khilafah, ya itu bertentangan dengan ideologi Pancasila. Kalau buat ideologi khilafah apa bisa (sesuai) Pancasila?” tanya Tito.
Apa ke depan HTI akan dilarang permanen?
“Sedang dibicarakan di Polhukam,” kata mantan kapolda Metro Jaya ini.
Lawan demokrasi
Sementara itu, Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Hamka Haq, gerakan yang ingin membentuk khilafah itu jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila. Sebab pendukungnya tak mengakui Pancasila sebagai dasar negara RI.
“Untuk mengubah itu, NKRI harus diubah menjadi negara khilafah,” kata Hamka Haq, Jumat (28/4/17).
Pria yang juga Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia itu menjelaskan, negara khilafah adalah sebuah konsep yang meliputi seluruh negara berpenduduk Islam di dunia. Jadi ada satu pemerintahan meliputi berbagai negara.
“Tapi itu jelas utopia. Jadi yang mereka maksud negara khilafah itu terbatas. Misalnya di Indonesia, dengan mengganti presiden dan sistem pemerintahan,” jelasnya.
Kata Hamka, memang ada aparat yang tegas sejak awal dengan melarang kegiatan kelompok pengusung khilafah seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun karena terbatas di beberapa daerah saja, dia menilai secara umum aparat masih sangat lamban dalam menumpasnya.
“Saya juga tak paham kenapa seperti itu. Dulu di zaman Soeharto, tercium saja sedikit ada gerakan seperti itu, aktivisnya langsung ditangkap. Sekarang, mereka berani berkoar di depan aparat, dan dibiarkan. Saya tak habis pikir itu kenapa bisa,” kata Hamka.
Disampaikan Hamka juga, bahwa kelompok-kelompok demikian memang memanfaatkan demokrasi, khususnya soal kebebasan berpendapat. Sayangnya, kurang dipahami semua pihak, termasuk aparat, bahwa demokrasi dalam Pancasila juga tak membenarkan kebebasan yang bertujuan menghancurkan negara.
“Kebebasan berpendapat atas dasar Pancasila itu tak ada membiarkan kebebasan berpendapat untuk yang bertujuan membubarkan negaranya,” jelas Hamka.
“Di negara manapun, ya seperti itu. Di AS, kebebasan berpendapat dijamin. Tapi tak ada ormas di mana tujuannya hendak bubarkan AS. Yang begitu itu pasti dilarang dan langsung ditindak. Beda dengan di Indonesia yang dibiarkan.”
Secara khusus, dia juga meminta agar semua ormas keagamaan yang memegang teguh Pancasila untuk bersama-sama menghadapi ancaman kelompok yang ingin mendirikan negara khilafah. Diberinya contoh, ormas GP Ansor dari Nahdatul Ulama (NU), selama ini cukup aktif menentang gerakan itu. Masalahnya, kerap gerakan demikian tak diperkuat ormas lainnya karena melihat GP Ansor, bukan semangat dibalik kegiatan mereka.
“Jadi lihatlah inti perjuangan GP Ansor, yang perlu dibantu semuanya. Jangan lihat identitas NU-nya, lantas Muhamadiyah diam saja. Lihat apa perjuangan dia, yakni membela Negara Pancasila, NKRI, dan menegakkan kebhinekaan,” demikian Hamka Haq, sebagaimana diulas ‘BeritaSatu.com’. (B-BS/jr)