BENDERRAnews, 30/8/19 (Jayapura): Orang Papua merasa derajat kemanusiaannya begitu direndahkan. Ya, peristiwa rasial yang dialami para mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, telah mengungkap fakta, orang Papua selama ini telah banyak diperlakukan dengan tidak adil di negeri ini. Derajat kemanusiaan orang Papua begitu direndahkan. Orang Papua dianggap masih bodoh, terbelakang, pemabuk, suka pembuat onar, masih tradisional, dan lain-lain.
“Sikap memandang orang Papua seperti ini kemudian teraktualisasi dalam ucapan dan tindakan konkret. Dengan mudahnya melontarkan kata-kata rasial, diskriminatif, serta tindakan represif kepada orang Papua,” kata Paskalis Kossay, tokoh masyarakat Papua, kepada Beritasatu.com, Senin (26/8/19).
Dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung di Papua, lanjut Paskalis Kossay, sangat banyak benturan kepentingan sehingga orang Papua belum dapat merasakan manfaat dari pembangunan tersebut. Ada yang mengatasnamakan negara kemudian menekan kebebasan hak-hak dasar rakyat. Hal ini membuat rakyat Papua tidak ada ruang untuk mengekspresikan aspirasi politik, sosial, ekonomi, hukum, maupun sosial budaya mereka dengan baik.
“Kebebasan ekspresi rakyat Papua selalu dinilai sebagai perlawanan terhadap negara. Kondisi ini pun kemudian dengan mudah memberi label kepada orang Papua sebagai kelompok separatis, OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan lain-lain. Hal ini membuat ruang gerak, kreativitas dan prakarsa orang asli Papua untuk bangkit membangun dirinya menjadi tertekan dan merasa tidak bebas dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah bangsa ini,” ujar Paskalis Kossay yang juga mantan anggota DPR.
Paskalis Kossay mengatakan, untuk memperbaiki situasi di Papua, Presiden Jokowi hendaknya dapat menjamin keamanan dan kenyamanan hidup mahasiswa Papua di seluruh kota studi di Tanah Air. Tuntaskan kasus rasisme di Surabaya dan Malang sesuai hukum yang berlaku. “Tegaskan dalam kebijakan Presiden bahwa kasus rasisme di Surabaya adalah yang pertama dan terakhir,” kata Paskalis Kossay.
Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, katanya, juga harus segera dievaluasi. “Menarik semua pasukan militer dari Nduga. Percayakan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten Kabupaten Nduga untuk memulihkan kondisi daerah,” kata Paskalis.
Pemerintah agar mengubah pola pendekatan kebijakan negara terhadap Papua dari pendekatan keamanan kepada pendekatan kesejahteraan. Buka ruang demokrasi seluasnya agar rakyat dapat berekspresi secara bertanggung jawab.
Hentikan pelanggaran HAM dan tuntaskan kasus – kasus pelanggaran HAM yang sudah diagendakan dalam koordinasi Kementerian Polhukam tahun 2016 lalu. “Teruskan pembangunan infrastruktur yang sedang berjalan hingga selesai sesuai target,” kata Paskalis Kossay, seperti diberitakan Suara Pembaruan. (B-SP/BS/jr)