BENDERRAnews, 7/11/18 (Jakarta): Di Indonesia, di Indonesia kisah ini mungkin terdengar aneh. Yakni, adanya seorang pengusaha besar, masuk di deretan orang terkaya, tapi mendermakan 50 persen hartanya dengan alasan ia berutang kepada Indonesia.
Pasti ada juga yang merasa rasa ganjil, jika mendengar alasannya memberikan bantuan kepada orang-orang miskin, yakni demi mengembalikan martabat atau kehormatan (dignity) mereka.
Satu hal lagi, mungkin belum ada pengusaha yang kita jumpai, di mana ternyata merasa lebih nyaman bergaul dengan orang-orang miskin dibanding orang-orang kaya, meski ia termasuk orang paling kaya di Indonesia.
Namun, begitulah Dato’ Sri Tahir menjalani kehidupannya. Suami tercinta dari Rosy Riady (putri sulung Founder Lippo Group, Mochtar Riady, Red), merupakan seorang pengusaha kelahiran Surabaya, 26 Maret 1952.
Dia mengaku merasa aneh bila ada pengusaha nasional yang berbisnis dan meraup keuntungan dari Indonesia, tapi tidak mau membantu masyarakat Indonesia.
“Kalau uang saya diambil kembali, asalkan diserahkan kepada masyarakat atau orang-orang yang kurang beruntung, itu wajar dan sah-sah saja, bahkan wajib. Memang harus dikembalikan, kok. Saya berutang kepada Indonesia. Kalau misalnya saya lahir di Sudan atau di Suriah, hidup saya tidak akan begini,” kata pendiri Mayapada Group dan “Tahir Foundation” yang nilai kekayaannya disebut-sebut mencapai US$ 5 miliar itu.
Bunda Teresa jadi inspirasi
Soal dignity, menantu Mochtar Riady (Founder dan Chairman Lippo Group), ini terinspirasi Bunda Teresa yang hidupnya didedikasikan untuk membantu orang-orang sakit dan papa. Di balik uluran tangan Bunda Teresa, ada satu nilai luhur yang diperjuangkannya, yaitu mengembalikan martabat atau kehormatan orang-orang miskin, kehormatan sebagai manusia.
Dignity itu pula yang dikejar Tahir saat ia membantu orang-orang miskin, orangorang sakit, para korban perang, dan korban bencana alam.
“Bunda Teresa pernah ditegur oleh para suster, kenapa Anda membawa orang-orang miskin di pinggir jalan yang mau mati ke biara, lalu membersihkan, mengobati, dan memberinya pakaian lengkap? Toh besok mereka akan mati juga. Bunda Teresa bilang, biarkan mereka meninggal dengan dignity sebagai manusia,” ujar Tahir, yang pernah menyumbang US$ 75 juta kepada The Global Fund untuk memerangi TBC, HIV, dan Malaria di Indonesia.
Orang miskin yang beruntung
Meski sudah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia, kakak ipar James Riady (CEO Lippo Group) ini aktif membantu para pengungsi Suriah dan Irak. Dan Tahir selalu menganggap dirinya ‘orang miskin yang beruntung’. Dia malah mengaku, orangtuanya yang melahirkan dan merawatnya, sangat miskin. Dia lahir dari keluarga penyewa becak.
Itu sebabnya, suami Rosy Riady ini merasa lebih nyaman bergaul dengan orang-orang tak berpunya daripada dengan orang-orang kaya.
“Saya tidak merasa habitat saya berubah. Justru saya kurang nyaman bila berkumpul dengan orang elite. Sampai hari ini, saya masih menyesuaikan diri. Sampai mati pun saya tak akan bisa menyesuaikan diri,” tutur Tahir, satu-satunya orang Indonesia yang menandatangani Giving Pledge, gerakan moral berupa kesediaan untuk menyumbangkan 50 persen hartanya bagi kemanusiaan, yang dimotori pendiri Microsoft dan salah satu orang terkaya di dunia, Bill Gates. {Bill pula yang kemudian mempercayakan banyak kegiatan filantropi (dermawan untuk kemanusiaan) Tahir di Indonesia, bahkan di beberapa kawasan, Red).
Tidak makan uang negara
Lantas, apa dignity Tahir sebagai pengusaha? “Saya berbisnis sendiri, tidak mencuri, tidak menipu, tidak membohongi orang, tidak merampok, tidak makan uang negara, itulah dignity. Saya ingin dihargai dan dihormati sebagai manusia, bukan sebagai orang kaya,” tegas Tahir yang dianugerahi gelar kehormatan Dato’ Sri oleh Sultan Pahang karena jasa-jasanya menyelesaikan konflik antarperusahaan di Malaysia.
Tahir yang merintis usahanya dari bisnis garmen dan dealer mobil pada 1986, juga punya definisi berbeda tentang kesuksesan. Bagi Tahir, kesuksesannya sebagai pengusaha bukan terletak pada keberhasilannya membesarkan Mayapada Group, melainkan pada nilai-nilai yang ia wariskan kepada para penerusnya. Tahir mengilustrasikan kesuksesan sebagai pohon dan buah.
“Pohon yang bagus itu kelihatan dari kualitas buahnya. Kalau mau tahu kesuksesan keluarga Tahir, lihat legacy-nya Tahir, bukan lihat Tahir-nya. Lihat Jonathan-nya. Kalau dia bagus, berarti keluarga Tahir masih ada di masa depan. Kalau tidak, ya selesai, tidak usah bicara keluarga Tahir lagi,” ucap dia. Berikut petikan lengkapnya, sebagaimana dilansir Investor Daily:
Anda sudah punya segalanya, apa lagi yang Anda kejar?
Umur saya sudah 66 tahun, mau menginjak 67 tahun. Kalau ditanya hal itu saat berumur 30 tahun, saya mungkin akan memberikan jawaban yang berbeda. Ada empat pilar yang mendukung hidup saya sekarang, yaitu ibadah, keluarga, karier, dan ‘social work’ atau kegiatan sosial. Empat pilar ini tidak bisa dikotakkotakkan. Artinya, ibadah bisa saya lakukan setiap saat. Pagi, siang, sore, Jumat kliwon, saat musim kemarau maupun saat musim penghujan. Banyak orang menganggap ibadah itu ada tempatnya dan ada waktunya. Bagi saya tidak demikian.
Kita bisa melakukan ibadah setiap saat, di mana saja, kapan saja. Contoh, dengan kemajuan Sosmed, saya mendapat informasi bahwa ada anak kecil di Palembang terkena kanker otak. Informasi itu saya terima pada jam kerja. Saya langsung merespons dengan meminta orang tuanya membawa ke rumah sakit dan saya kirimkan biaya. Saya tetap melaksanakan pekerjaan saya dan pada saat yang sama saya melakukan ibadah dan kegiatan sosial dengan memberikan pertolongan kepada mereka yang kesulitan. Pekerjaan dan ibadah itu melekat pada saya dan sudah menjadi darahdaging saya. Tidak bisa dipisahpisahkan. Sambil bekerja, saya beribadah, mengerjakan kegiatan yang baik, dan menafkahi keluarga. Tidak ada pemisahan, tidak ada pengkotakkotakan.
Semua agama mengajarkan hal yang sama. Jadi, apa yang saya kejar? Saya tidak punya ‘planning’ khusus. Pada umur ini, apa yang melekat dalam diri saya, ya itu yang saya kembangkan dan saya teruskan. Ada ‘continuity’, ‘sustainable’, dan ‘credible’.
Alasan itu yang mendorong Anda aktif melakukan kegiatan filantropi?
Habitat saya kan habitatnya orang miskin. Saya adalah orang miskin yang beruntung. Saya tidak merasa habitat saya telah berubah. Saya merasa nyaman bergaul dengan orang-orang yang kurang beruntung. Justru saya kurang nyaman bila berkumpul dengan orang elite, saya tidak bisa menyesuaikan diri. Sampai hari ini saya masih harus menyesuaikan diri dan sampai mati pun saya belum mampu menyesuaikan diri.
Saya nyaman bersama orang miskin. Saya pergi ke Irak, ke Libanon, bercampur dengan para pengungsi, saya merasa nyaman di sana. Begitu pula saat saya mengurusi anak-anak autis, sakit, tidak mampu, dan lain-lain.
Itu sebabnya Anda terjun langsung memberikan bantuan?
Saya beri bantuan langsung di Irak, di Yordania, saya bantu masyarakat Palu dan Lombok yang terkena musibah gempa bumi (juga korban bencana Sulawesi Tengah, Red), saya bantu korban letusan Gunung Sinabung, bukan semata-mata memberikan bantuan materi.
Saya harus menempatkan diri sederajat dulu dengan mereka, baru bantuan saya salurkan. Jadi, ‘sharing’ bantuan itu bukan dari orang kaya, tetapi dari orang miskin. Kami sederajat. Hanya saja, posisi hari ini mereka kurang beruntung, sedangkan saya agak beruntung.
Yang ingin Anda berikan, selain bantuan materi?
Saya ingin memberikan ‘dignity’. Saya punya satu cerita yang menginspirasi saya. Bunda Teresa pernah ditegur. Para suster bilang, kenapa Anda membawa orang-orang miskin di pinggir jalan yang mau mati ke biara, lalu membersihkan, mengobati, dan memberinya pakaian lengkap? Toh besok mereka akan mati juga. Bunda Teresa bilang, biarkan mereka meninggal dengan ‘dignity’, dengan kehormatan sebagai manusia.
Saya ingin mengembalikan kehormatan mereka. Waktu saya bantu orang miskin atau orang sakit, lalu mereka sembuh, bukan cuma itu tujuannya.
Apa dignity Anda sebagai pengusaha?
Saya berbisnis sendiri, tidak mencuri, tidak menipu, tidak membohongi orang, tidak merampok, tidak makan uang negara atau yang berasal dari proyek-proyek pemerintah, itulah ‘dignity’. ‘Dignity’ itu bukan sesuatu yang dibuat-buat, tetapi keluar dari dirinya. ‘Dignity’ saya bukan sebagai orang kaya, tetapi sebagai seorang manusia.
Nilai-nilai yang menggerakkan Anda?
Pertama, ajaran orang tua. Kebetulan orang tua saya sangat miskin. Walau miskin, mereka tak punya ‘track record’ jelek. Ayah dan ibu saya tidak memiliki celah atau memberikan contoh yang jelek. Ibu saya sudah berusia 88 tahun, tapi beliau masih pergi ke kantor, masih bekerja keras.
Ibu kasih tahu saya bahwa beliau tidak mau dianggap orang lumpuh atau ‘sampah’, makanya kepingin tetap bekerja. Beliau bekerja di salah satu kantor cabang Bank Mayapada untuk bantu mengawasi. Bagi saya, ini sesuatu yang luar biasa. Beliau bisa menikmati semua kemewahan yang diberikan putranya, tetapi tidak mau. Ayah dan ibu saya meletakkan suatu fondasi yang baik. Ini saya terapkan juga kepada anak-anak saya.
Kedua, saya kan lahir di Indonesia. Saya lahir dari anak seorang penyewa becak. Sampai hari ini, saya masih merasa demikian. Itu seperti langit dan bumi. Artinya, kalau hari ini harta saya diambil dan diberikan kepada masyarakat, itu merupakan sebuah konsekuensi dan logika. Tidak ada yang perlu disombongkan atau dibanggakan. Itu logikanya.
Yang saya tidak mengerti, banyak pengusaha yang meraih keuntungan bisnisnya di Indonesia, merasa berat untuk memberi. Mereka merasa semua yang dimiliki adalah hasil jerih payahnya, maka jangan diambil dong. Saya tidak mengerti cara berpikirnya gimana.
Saya adalah orang yang rasional. Kalau uang ini diambil kembali, asalkan diserahkan kepada masyarakat atau orang-orang yang kurang beruntung, itu sah-sah saja, wajar, bahkan wajib. Memang harus dikembalikan, kok. Saya berutang kepada Indonesia. Kalau misalnya saya lahir di Sudan atau di Suriah, hidup saya tidak akan begini. Mungkin saya masih luntang-lantung, mungkin tinggal di ‘camp’ pengungsian. Saya bersyukur tinggal di Indonesia, negara yang besar, bangsa yang besar. Saya begitu menikmati keramahtamahan, persahabatan, dan sifat kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Ketiga, ajaran agama. Agama apa pun sama, baik Islam, Kristen, maupun yang lainnya. Saya orang Kristen. TUHAN tidak pernah memberikan hak milik kepada kita atas bumi ini. Kita tidak memiliki apa-apa. Kita hanya manajer untuk mengelola kekayaan. Karena itu, saya membutuhkan hikmat dari TUHAN agar bisa mengelola harta ini dengan baik dalam perjalanan hidup saya, yang menjelang 70 tahun. Saat lahir, tangan bayi selalu mengepal atau menggenggam, ingin menggapai sesuatu. Saat meninggal, tangan kita selalu terbuka. Ada peribahasa di Spanyol, pakaian yang dipakai orang mati tidak ada kantongnya, artinya manusia tidak bisa bawa apa-apa ke akhirat.
Ketiga nilai inilah yang menggerakkan hidup saya. Saya orang rasional. Saya saat ini adalah orang Indonesia satu-satunya di antara 265 juta yang menandatangani ‘Giving Pledge’ yang dimonitor oleh Bill Gates dan Warren Buffett (dua orang terkaya di dunia dari Amerika Serikat, Red). Di dunia ada 150 orang kaya yang menjanjikan untuk memberikan 50 persen hartanya kembali kepada masyarakat. Bukan ‘corporate social responsibility’ (CSR) yang lima persen itu. Saya sudah tanda tangan. Dan di Indonesia, saya adalah satu satunya yang masuk daftar 150 orang kaya dunia itu. Belum ada orang kedua.
Nilai-nilai itu juga Anda wariskan kepada anak-anak Anda?
Pohon yang bagus itu kelihatan dari kualitas buahnya. Banyak orang menganggap keluarga Tahir ini maju, sukses, berhasil. Saya dipuji, disanjung, sebagai orang sukses. Padahal, yang saya inginkan suatu hari nanti, saat bertemu orang-orang, mereka bilang bahwa saya adalah ayahnya Jonathan (anak bungsu Tahir, satu-satunya pria dari empat bersaudara).
Bukan seperti lima tahun lalu bahwa kamu (Jonathan) itu anak Pak Tahir, saya anggap itu sebagai kegagalan. Dalam mendidik anak, baik dalam soal kedisiplinan, integritas, pengetahuan, maupun dalam soal perjuangan dan kerja keras, saya harus menjadi panutan. Saya bangun tidur setiap pagi jam 05.00. Setiap pagi saya baca tujuh koran. Satu jam kemudian mikiran pekerjaan, selanjutnya masuk kantor, setelah ‘nganter’ cucu ke sekolah. Kalau ‘nggak nganter’ cucu, saya masuk kantor jam 08.00.
Jadi, kalau mau tahu kesuksesan keluarga Tahir, lihat ‘legacy’-nya (pusaka atau warisan, Red) Tahir, bukan lihat Tahir-nya. Lihat Jonathannya, anak ini bisa meneruskan atau tidak, anak ini tangguh atau tidak. Kalau dia bagus, berarti keluarga Tahir masih ada di masa depan. Kalau tidak, ya selesailah, tidak usah bicara keluarga Tahir lagi.
Suksesi di Mayapada sudah berjalan?
Dia (Jonathan) bagus, banyak pujian. Banyak yang bilang dia ‘humble’, ‘smart’, dan pekerja keras. Maka sekarang saya lepaskan Mayapada Group ke dia. Untuk Rumah Sakit Mayapada bahkan sudah 100 persen, dia sudah bisa mengambil keputusan bisnis dan cukup ‘happy’. Semua hasil pekerjaannya bagus, tidak ada yang ngawur.
Arah bisnis Mayapada Group ke depan?
Mayapada untuk sementara ini punya lima ‘platform’ dan segera memasuki ‘platform’ keenam. ‘Platform’ pertama adalah keuangan. Kami punya Bank Mayapada (PT Bank Mayapada International Tbk). Bank yang cukup besar, sekarang mungkin masuk top 20 di Indonesia, di bawahnya ada dua perusahaan asuransi.
‘Platform’ kedua yaitu ritel. Lalu ‘platform’ ketiga adalah properti.
Platform keempat yaitu rumah sakit, lalu kelima adalah media massa. Kami mulai masuki ‘platform keenam’, yakni sektor energi. Kami punya tambang batu bara cukup besar di Kutai, Kalimantan Timur. Jadi, saya membentuk ‘platform-platform’. Mayapada Group adalah salah satu dari sedikit sekali kelompok bisnis di Indonesia yang punya ‘platform’. Tak hanya fokus, tapi juga punya ‘platform’.
Yang Anda tekankan pada setiap platform?
Setiap ‘platform’ harus memiliki struktur finansial yang kuat dan ‘teamwork’ yang bagus. Kalau kita punya struktur finansial yang kuat dan bagus, gejolak apa pun yang berasal dari eksternal akan bisa diatasi. Gejolak eksternal tidak bisa diatasi biasanya karena sejak awal sudah keliru. Utang besar, dalam Valas (valuta asing, Red), dan lainnya.
Pada era normal, pasti tidak kelihatan. Maka saat krisis moneter 1997-1998, kejatuhan dan kebobrokan konglomerat bukan semata karena krisis moneter. Tidak ada krisis pun, pada suatu hari mereka bisa bangkrut karena sudah tidak benar dari awalnya. ‘Teamwork’ juga harus solid dan bagus.
Pesan Anda untuk generasi muda?
Ada satu jalan yang bisa mengubah nasib bangsa ini, yaitu pendidikan. Teknologi yang semakin mutakhir telah memperlebar jurang kaya dan miskin. Setiap anak muda harus mendapat pendidikan yang bagus.
Sebagai anggota tim ‘Master of Business Administration’ (MBA) Universitas Gadjah Mada (UGM), saya sampaikan ada dua yang perlu diubah. Pertama, kurikulum yang digunakan sejak zaman Belanda, yang baru harus bisa ‘sustain’ untuk 20 tahun ke depan. Kedua, kurikulum yang berkaitan dengan ‘end user’, yang harus sesuai dengan kebutuhan industri, kebutuhan teknologi.
Selain itu, kalau bangsa ini ingin maju, kita harus punya ‘dignity’. ‘Dignity’ bangsa kita adalah berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari yang dikumandangkan Bung Karno, Red). Kita tidak mau dijajah, kita tidak mau dipengaruhi, harus mandiri, tapi dalam arti sesungguhnya, bukan dignity flamboyan atau sekadar slogan. (B-ID/BSjr)