BENDERRAnews.com, 28/11/22 (Jakarta): Pakar hukum dan juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim, menolak pendapat yang menyerukan, negara-negara tak lagi perlu memiliki ideologi. Apalagi, untuk Indonesia yang memiliki Pancasila sebagai ideologi negara.
Disebut Edmon, Pancasila justru harus menjadi landasan konkret Indonesia dalam mengejawantahkan jati diri bangsa sekaligus bekal membangun negara.
“Pancasila membangun makna bangsa dan negara. Ada pendapat bahwa ideologi adalah hal yang usang. Itu kurang tepat karena tidak mungkin lepas dari nilai kemanusiaan, dan kita tidak boleh lupa bahwa manusia sampai saat ini tidak boleh lepas dari nilai-nilai Pancasila dan kemanusiaan,” ungkapnya dalam Webinar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) bertajuk “Pancasila Membangun Manusia, Bangsa, dan Negara”, baru-baru ini.
Memiliki prinsip universalitas
Pancasila, sambung Edmon, tak hanya menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan Indonesia saja, melainkan juga memiliki prinsip universalitas. Menjunjung tinggi kemanusiaan, menghargai keberagaman, serta bersifat demokratis, mengingat Pancasila juga disusun oleh seluruh perwakilan elemen-elemen masyarakat di Indonesia.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Hukum dan Pancasila FHUI, Suparjo menekankan pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pancasila sebagai platform untuk memperbaiki carut-marut peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam maupun di bidang-bidang yang lain. (karena) hukum kita otomatis sumbernya adalah Pancasila,” katanya.
“Pancasila sebagai platform untuk memperbaiki carut-marut peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam maupun di bidang-bidang yang lain. (karena) hukum kita otomatis sumbernya adalah Pancasila,” katanya.
Representasi kebangsaan Indonesia
Selanjutnya, Guru Besar FHUI, Satya Arinanto menjabarkan bahwa secara historis, Pancasila juga merupakan representasi kebangsaan Indonesia, bahkan dalam taraf penyusunannya.
Ia mengatakan, Pancasila disusun dengan proses yang sangat panjang. Satya sendiri telah melakukan penelitian terkait Pancasila bahkan sebelum ada penelitian resmi dari pemerintah pada tahun 1997.
“Proses penyusunan Pancasila ini sungguh panjang, ada BPUPKI. Kemudian, di sana juga sudah mulai ada perdebatan ide, di mana menurut penafsiran saya, Bung Karno memadatkan ini menjadi lebih singkat agar dapat mudah dipahami. Ini panjang prosesnya. Dari panitia delapan, ada kelompok Islam sebanyak dua orang. Sebelum Piagam Jakarta, komposisinya berubah kembali. Kelompok Islam ada empat orang, kelompok kebangsaan ada lima orang. Kemudian BPUPKI dibubarkan dan menjadi PPKI. Ini pun ditambah lagi enam orang,” jelas Satya.
Karena itu, menurutnya, Makanya, Pancasila memang representasi yang tepat buat hidup berbangsa dan bernegara Indonesia.
Landasan perspektif kebijakan hukum
Selain itu, Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pancasila FHUI, Kris Wijoyo Soepandji menilai, dalam perspektif kebijakan hukum, Pancasila merupakan landasan. Dengan demikian kepentingan nasional merupakan prioritas, sehingga negara dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, guna memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apalagi dalam konteks persaingan geopolitik, negara harus memiliki kemampuan untuk melihat secara jernih peran sektor strategis. Contohnya komoditas penting seperti gula, kelapa sawit, cengkeh dan lain sebagainya terutama dalam menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan bagi masyarakat luas, dengan demikian proses penyusunan kebijakan hukum negara tidak terjebak berbagai kemasan positif narasi sepihak.
“Bayangkan apabila negara kita tidak mampu membuat kebijakan hukum negara secara mandiri dan tepat di bidang yang menentukan masa depannya, dengan cara mengecilkan nilai-nilai Pancasila, maka berarti kita telah mengalami kekalahan secara legal. Karena pertarungan post-modern warfare itu, tak lain tak bukan ada pada ranah legal and ethical advantages,” jelas Kris Wijoyo Soepandji. (B-BS/jr) — foto ilustrasi istimewa