BENDERRAnews.com, 30/10/21 (Jakarta): Secara terang-terangan, Guntur Soekarno mengatakan, ayahnya yang merupakan Presiden pertama RI, Ir Soekarno (Bung Karno) diperlakukan secara tidak manusiawi oleh pemerintah Orde Baru.
Disebut putra sulung Bung Karno itu, hanya rakyat Indonesia yang sangat menghormati dan mengagumi ayahnya hingga akhir hayat.
“Kalau disebut perlakuan bangsa atau rakyat terhadap Bung Karno, apalagi waktu Bung Karno meninggal, kemudian Soeharto menetapkan Bung Karno harus dimakamkan di Blitar, saya mengikuti terus perjalanan itu, mulai dari naik pesawat turun di Malang, lalu dengan kendaraan ke Blitar, itu di jalan yang namanya rakyat menyambutnya luar biasa,” kata Guntur.
Hal itu dikatakan Guntur dalam “Podcast Apa Adanya” seperti dikutip dari kanal YouTube B1 Plus, Jumat (29/10/21). Kanal B1 Plus dikelola oleh jajaran tim BeritaSatu.com.
Guntur mengatakan, dia melihat sendiri bunga-bunga ditebar oleh rakyat tanpa diperintah saat mengantar Bung Karno ke pemakaman di Blitar. “Saya rasa penghargaan dari rakyat sampai sekarang tidak ada berkurangnya (terhadap sosok Bung Karno). Masalahnya, dulu pemerintah, intinya itu (tidak manusiawi) terhadap Bung Karno. Ya, begitulah,” ujar Guntur.
Ketika host “Podcast Apa Adanya” Primus Dorimulu bertanya, mengapa Bung Karno tidak melawan saat diminta keluar dari Istana, padahal waktu itu pendukungnya masih banyak.
Guntur menjawab, Bung Karno yang sejak muda sangat mencintai persatuan bangsa tidak ingin terjadi perang saudara.
“Kalau bicara soal pendukung waktu itu, pendukungnya (Bung Karno) masih banyak, seperti dari Kodam Brawijaya Jawa Timur, Korps Komando Angkatan Laut, Resimen Pelopor Brimob, Kodam Siliwangi. Itu masih mendukung,” kata Guntur.
“Tetapi, Bung Karno mengatakan ‘saya tidak akan (melawan), karena kalau terjadi akan ada perang saudara. Kalau terjadi perang saudara, NKRI akan pecah’. Itu yang tidak dikehendaki Bung Karno. ‘Lebih baik saya yang menjadi korban’,” tutur Guntur.
Guntur menuturkan lagi, Bung Karno sejak muda sangat gandrung akan persatuan. “Bung Karno dari muda saat masih HBS (Hoogere Burgerschool, sekolah menengah untuk orang Belanda dan kalangan elite pribumi, Red), Jong Java, mendirikan PNI, dan memimpin Partindo, sudah gandrung persatuan, persatuan, persatuan. Bung Karno tidak mau, apa pun yang terjadi, negara dan bangsa ini (tidak boleh) pecah,” papar Guntur.
Karenanya, ketika Bung Karno diminta meninggalkan Istana dan pergi ke rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Jakarta, dirinya tidak melawan. Guntur juga menceritkan, saat itu dirinya pun hanya membawa baju kesehariannya. Kala itu, Soeharto meminta Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka sebelum 17 Agustus 1967.
Ketika itu, mendekati pukul 00.00 WIB, Guntur sempat hendak membawa satu lukisan yang digantung di ruang makan keluarga. Tepat di sebelah kamarnya.
“Itu lukisan bagus. Saya waktu itu punya pikiran, kalau orang Bandung bilang, cunihin. Nakal. Walau Bung Karno melarang, tetapi saya coba-coba bawa lukisan untuk kenang-kenangan. Ternyata, mobil saya, bagasi depannya enggak cukup kalau muat lukisan itu,” kenang Guntur.
Jadi, ujarnya, semua yang dibawa ialah miliki pribadi. Tidak ada satu pun barang milik negara yang dibawa Bung Karno dan keluarga. (B-BS/jr)