BENDERRAnews, 31/3/21 (Washington): Pihak Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah memerintahkan para diplomat yang tidak penting bukan inti untuk meninggalkan Myanmar. Pada Selasa (30/3/21), pernyataan itu dikeluarkan Deplu AS di tengah tindakan keras militer Myanmar terhadap pengunjuk rasa telah menewaskan ratusan orang sejak kudeta dimulai.
Seperti dilaporkan AFP, unjuk rasa harian di seluruh Myanmar oleh demonstran tak bersenjata menuntut pemulihan pemerintah terpilih dan pembebasan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi telah dihalau dengan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam.
“Militer Burma telah menahan dan menggulingkan pejabat pemerintah terpilih. Protes dan demonstrasi menentang kekuasaan militer telah terjadi dan diperkirakan akan terus berlanjut,” kata Departemen Luar Negeri yang menggunakan nama lama Myanmar, Burma.
Pada pertengahan Februari, Deplu AS mengesahkan imbauan keberangkatan sukarela pegawai pemerintah AS non-darurat dan anggota keluarga mereka. Kini pihak departemen telah memperbarui status itu menjadi “perintah keberangkatan”.
Korban tewas sipil dari tindakan keras militer kini telah melampaui 520 orang. Pada saat yang sama, kekuatan dunia meningkatkan kecaman mereka terhadap kampanye militer setelah kudeta 1 Februari.
“Departemen Luar Negeri membuat keputusan untuk mengesahkan perintah keberangkatan dari Burma karena keselamatan dan keamanan personel pemerintah AS dan tanggungan mereka, serta warga negara AS adalah prioritas tertinggi departemen,” kata seorang juru bicara.
AS, Inggris, dan Uni Eropa semuanya telah menjatuhkan sanksi sebagai tanggapan atas kudeta dan tindakan keras. Tetapi sejauh ini, tekanan diplomatik gagal membuat tindakan para jenderal untuk mereda.
Sikap Indonesia didukung
Dari Tokyo, dilaporkan, kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno Marsudi ke Tokyo, Jepang, juga mengangkat isu situasi di Myanmar. Retno mengatakan, Jepang sepakat dengan pesan-pesan dan sikap tegas Indonesia terkait Myanmar, agar penggunaan kekerasan segera dihentikan dan dilakukan dialog.
Hal itu disampaikan saat pertemuan Menlu Retno dengan Ketua Nippon Foundation dan Japanese Special Envoy for National Reconciliation in Myanmar, Sasakawa Yohei, Selasa (31/3/21). Retno menyebut apa yang terjadi di Myanmar akan mempengaruhi situasi kawasan dan ASEAN. “Bapak Sasakawa menghargai upaya yang terus dilakukan oleh Indonesia untuk Myanmar,” kata Retno dalam pernyataan pers kepada wartawan secara virtual, kemarin malam.
Retno juga membahas kondisi Myanmar dalam pertemuan bilateral dengan Menlu Jepang, Motegi Toshimitsu. “Mengenai Myanmar Indonesia dan Jepang memiliki keprihatinan yang sama melihat perkembangan situasi di Myanmar,” katanya.
Tolak penggunaan kekerasan
Retno menyampaikan Indonesia menolak keras penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan yang menyebabkan jatuhnya korban meninggal. Dia mendesak penghentian kekerasan agar korban tidak berjatuhan kembali. “Dialog harus terus diupayakan. Hanya melalui dialog Myanmar akan dapat menyelesaikan masalah mereka,” ujar Menlu Retno.
Dalam pertemuan bilateral, Menlu Retno dan Menlu Motegi juga membahas isu Indo-Pasifik. Indonesia, ujar Retno, kembali menyampaikan prinsip-prinsip yang ada dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific antara lain transparansi, keterbukaan, inklusivitas, dan selalu mengedepankan kerja sama. “Jadi sekali lagi teman-teman, di dalam pertemuan bilateral dengan Menlu Jepang dan juga dalam Pertemuan 2+2 secara jelas saya menyampaikan kembali prinsip-prinsip yang ada di dalam ASEAN Outlook on the Indo-Pacific,” kata Retno.
Retno menegaskan, rivalitas dan konfrontasi tidak akan menguntungkan siapa pun. Kawasan Indo-Pasifik harus menjadi kawasan damai dan sejahtera. Hal tersebut dapat tercapai jika kerja sama terus dikedepankan dan semua negara mematuhi hukum internasional. “Prioritas ASEAN adalah menjalin kerja sama konkret dengan semua mitra termasuk Jepang dalam mengimplementasikan kerja sama dalam konteks implementasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific,” lanjut Retno Marsudi. (B-BS/jr)