Oleh Theo L Sambuaga**)
Tanggal 18 Maret 2021, dari Istana Bogor Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang keras yang menegaskan sikap Indonesia tentang situasi Myanmar. Presiden mendesak junta militer agar segera menghentikan kekerasan dan menggelar dialog untuk memulihkan stabilitas, perdamaian, dan demokrasi, dengan keselamatan dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama.
Dalam pernyataannya, di samping menyampaikan duka cita kepada korban dan keluarga korban kekerasan Militer, Presiden Jokowi juga menyatakan akan berbicara dengan Sultan Brunei selaku Ketua ASEAN agar segera melaksanakan KTT ASEAN dengan agenda khusus membahas krisis Myanmar.
Kudeta yang dipimpin Panglima Tertinggi Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 1 Februari 2021, satu hari sebelum rencana pelantikan parlemen Myanmar hasil pemilu November 2020, telah membubarkan pemerintah konstitusional. Dalam kudeta itu, militer menahan Presiden Win Myint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, ribuan pimpinan partai berkuasa NLD yang menang 83 persen pada Pemilu November 2020, serta tokoh masyarakat dan para aktivis.
Kudeta militer segera diprotes rakyat Myanmar dengan gelombang demonstrasi puluhan ribu masyarakat yang terdiri dari mahasiswa, generasi muda, guru, buruh, profesional, dan tokoh agama. Mereka turun ke jalan-jalan kota besar maupun kecil termasuk Yangon dan ibu kota Naypyidaw. Meskipun militer mencoba meredam demonstrasi damai dengan kekerasan, dengan tembakan peluru tajam yang sampai saat ini telah menelan lebih dari 250 korban meninggal, demonstrasi rakyat tidak mengendur malahan terus membesar.
Reaksi masyarakat internasional pada umumnya sangat tajam yang pada intinya menghendaki agar junta militer segera menghentikan kekerasan dan mengembalikan pemerintahan sipil. Reaksi paling tajam adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa serta Asia yang sampai melakukan atau meningkatkan sanksi ekonomi dan perdagangan, terutama menghentikan penjualan senjata dan peralatan militer.
Tetapi RRT dan Rusia yang selama ini mempunyai hubungan khusus dengan Myanmar terutama militer, tampaknya tidak mengecam secara terbuka dan menganggap kudeta itu sebagai masalah dalam negeri Myanmar. Sikap seperti ini jelas akan menghambat tekanan PBB yang lebih keras terhadap junta militer Myanmar. Sebab, keputusan Dewan Keamanan (DK) PBB itu tidak akan terwujud karena RRT dan Rusia yang anggota tetap DK PBB siap menolak dengan hak vetonya.
Peran ASEAN
Pernyataan Presiden Jokowi seakan memberi harapan baru kepada masyarakat internasional yang hampir putus asa itu. Presiden mendorong agar ASEAN turun tangan ikut menyelesaikan krisis Myanmar. Memang ASEAN yang paling berkepentingan agar krisis tersebut segera berakhir dengan pulihnya stabilitas, perdamaian, dan demokrasi dengan prioritas kesejahteraan rakyat. Karena apabila krisis Myanmar berlanjut, bukan saja Myanmar dan rakyatnya yang akan semakin menderita dan terancam eksistensinya, tetapi stabilitas politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara akan terganggu. Selain itu kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat negara ASEAN akan terdampak langsung.
Oleh karena itu, untuk menindaklanjuti apa yang dinyatakan Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi perlu meningkatkan upayanya yang telah dilakukan selama ini, dengan menempuh langkah strategis dan taktis yang konkret. Langkah dimaksud di antaranya perlu menyamakan persepsi dan strategi sesama negara ASEAN, bahwa kunci penyelesaian Krisis Myanmar adalah penghentian kekerasan, pembebasan semua tahanan politik, pemulihan pemerintahan konstitusional dan demokrasi.
Sejumlah negara anggota ASEAN, seperti Thailand, Kamboja, dan Singapura yang sampai saat ini, dengan motifnya masing-masing, menunjukkan sikap tidak kritis terhadap junta militer atau melihat hal itu semata-mata sebagai masalah dalam negeri Myanmar, perlu didekati dan diyakinkan agar sejalan dan seirama dengan negara ASEAN lainnya. Memang dalam Piagam ASEAN tercantum prinsip non-intervensi yaitu tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota. Tetapi di dalam Piagam itu juga secara tegas dinyatakan bahwa negara anggota menjunjung tinggi dan patuh pada asas demokrasi, hak asasi manusia, dan pemerintahan konstitusional.
Negara kawasan Asia seperti Tiongkok, dan juga Rusia yang sejauh ini, dengan alasannya masing-masing sejauh ini menunjukkan sikap membela junta militer, juga perlu didekati agar membantu ASEAN dalam mencari solusi penyelesaian Krisis Myanmar. Sudah tentu pilihan ini akan lebih baik dibanding apabila dinamika internasional berhasil mengangkat pembahasan krisis Myanmar ke Sidang Umum PBB, yang diperkirakan akan mempermalukan Tiongkok dan Rusia yang hak vetonya tidak laku di Sidang Umum PBB.
Dengan dukungan lingkungan strategis, penyelenggaraan KTT ASEAN diharapkan dapat menghasilkan kontribusi bagi penyelesaian krisis Myanmar, misalnya, dengan mengusulkan dilaksanakannya dialog antara pemerintahan Myanmar pimpinan Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dengan Panglima Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing ditambah unsur masyarakat yang diwakili oleh tokoh agama. Sudah tentu sebelum dialog, perlu dilakukan pemulihan pemerintahan konstitusional, pembebasan seluruh tahanan politik dan pengampunan terhadap mereka yang terlibat kudeta militer.
Dialog dilaksanakan dengan agenda utama pelantikan parlemen hasil pemilu November 2020, melanjutkan reformasi politik dengan mengikutsertakan seluruh potensi masyarakat termasuk militer dan perwakilan etnis minoritas. Reformasi politik segera diikuti dengan reformasi ekonomi untuk pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.
Sebaiknya juga dibentuk Komisi ASEAN yang diterima dan diakui oleh pemerintah Myanmar (termasuk militer), yang terdiri dari perwakilan beberapa negara anggota yang bertugas mendampingi dan menjamin terselenggaranya dialog dan proses perdamaian. Semoga upaya semua pihak, terutama ASEAN, akan mempercepat berakhirnya krisis Myanmar dan membuka kesempatan bagi rakyat Myanmar untuk hidup dalam suasana perdamaian, aman dan demokratis dalam membangun negaranya untuk kesejahteraan rakyat.
_______
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Jumat, 26 Maret 2021 | 08:00 WIB, dengan judul asli: “Mencari Solusi Krisis Myanmar”
**) Penulis adalah Ketua Dewan Redaksi BeritaSatu Media Holdings, Ketua Dewan Pakar DPP Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ketua Dewan Penasihat DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), mantan Ketua Komisi I DPR RI, dan mantan Presiden Komisi Politik ‘Inter-Parliamentary Unuon’ (IPU)