Pemerhati sosial
Beberapa waktu yang lalu masyarakat dan pemerintah dihebohkan oleh adanya pihak tertentu yang ingin mengadakan revolusi di Indonesia. Menghadapi kondisi ini pemerintah merasa perlu menggunakan kekuatan pamungkasnya untuk meredamnya. Bukan main!
Kita, kaum patriotik yang selalu dengan teguh memegang ajaran-ajaran dan pikiran-pikiran Bung Karno sebagai bintang penuntunnya, maka kita akan bertanya, apakah sebenarnya revolusi itu?
Ada beberapa definisi yang diajarkan oleh Bung Karno, yaitu antara lain, revolusi adalah penjungkirbalikan seluruh tata nilai lama untuk diganti dengan tata nilai yang baru. Atau dengan kata lain penjungkirbalikan tata nilai lama hingga ke akar-akarnya. Perubahan yang cepat dari struktur masyarakat lama menjadi struktur masyarakat yang baru.
Semua itu berjalan atau berproses sesuai dengan hukum-hukum revolusi. Seseorang, sehebat hebatnya orang tersebut, tidak mungkin mengadakan atau membuat revolusi seenak keinginannya tanpa mengikuti hukum-hukum revolusi. Ia tidak dapat membuat revolusi sesuai dengan apa yang dia inginkan tanpa mengikuti hukum-hukum revolusi.
Dua Faktor
Menurut Bung Karno, revolusi dapat meledak bila dua faktor penentu bertemu. Kedua faktor tersebut adalah faktor subjektif dan faktor objektif. Faktor subjektif adalah hal-hal yang kita kehendaki agar berubah. Sedangkan, faktor objektif adalah faktor yang menyangkut situasi dan kondisi yang ada.
Dari kedua faktor tersebut, yang dapat kita ubah adalah faktor subjektif. Perubahan yang kita kehendaki ini bergantung pada kepiawaian kita melakukannya.
Sementara itu, faktor objektif tidak dapat kita ubah sekehendak hati kita. Sebab, perubahan-perubahan yang terjadi adalah sesuai proses sejarah. Sebagai contoh adalah proses meledaknya revolusi Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah proklamasi dikumandangkan oleh Bung Karno.
Seperti kita ketahui, pada masa penjajahan fasisme Jepang, Bung Karno secara subjektif mengganti taktik perjuangan dari nonkooperatif melawan kolonialisme Belanda menjadi seolah-olah bekerja sama dengan penjajahan fasisme Jepang.
Sedangkan faktor objektifnya, Bung Karno dengan kesabaran revolusioner menunggu proses sejarah berjalan sampai dengan matang yakni kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Setelah faktor objektifnya matang serta faktor subjektifnya juga sudah matang, maka berarti kedua faktor tersebut harus dipertemukan agar revolusi dapat meledak.
Di sini kepiawaian seorang pemimpin diuji untuk menentukan secara tepat hari-H saat kedua faktor tadi harus dipertemukan. Seperti sejarah mencatat walaupun didesak oleh kelompok pemuda-pemuda revolusioner saat itu, Bung Karno menolak untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat yang tidak tepat. Sikap itu menuai risiko Bung Karno sekeluarga harus “diculik” oleh pemuda-pemuda tadi ke basis mereka di Rengasdengklok.
Setelah menunggu di sana berhari-hari tanpa kejadian apa-apa, khususnya di Jakarta, maka para pemuda-pemuda tadi sadar akan kekeliruan analisis mereka. Selanjutnya, atas permintaan Subarjo, Bung Karno dan Bung Hatta diboyong kembali ke Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Baru pada Jumat tanggal 17 Agustus 1945. jam 10 pagi, Bung Karno mempertemukan faktor subjektif dan objektif yang kedua-duanya sudah matang sehingga membuka jalan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Itulah revolusi menemukan momentumnya.
Tahapan Revolusi
Proses revolusi yang gegap gempita segera berkumandang ke seluruh Nusantara, bahkan ke mancanegara. Berikutnya, bukti pertama akan adanya kesadaran politik yang tinggi di kalangan rakyat serta pengakuan terhadap kepemimpinan Bung Karno sebagai pemimpin revolusi Indonesia adalah rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Meskipun mendapat ancaman dari balatentara Jepang (Dai Nippon), ribuan rakyat tetap hadir dalam rapat tersebut hanya untuk mendengar pidato gemblengan pertama dari Bung Karno sebagai pemimpin Revolusi selama sekitar 5 menit. Setelah mendengarkan komando singkat dari Bung Karno massa rakyat dengan disiplin tinggi, secara tertib membubarkan diri dan kembali ke tempat tinggal masing-masing.
Proses revolusi terus berjalan dengan bergelora. Pada 10 November 1945 terjadilah pertempuran heroik mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Surabaya yang kemudian terkenal sebagai Hari Pahlawan. Untuk mengatasi hal tersebut dan untuk menghentikan pertumpahan darah di kalangan massa rakyat patriotik, maka sebagai pimpinan revolusi kembali Bung Karno harus turun tangan di Surabaya untuk menghentikan pertumpahan darah yang berlarut-larut.
Walaupun demikian, satu hal telah terbukti, yakni menghadapi kekuatan apapun massa rakyat patriotik Indonesia tidak mau lagi dijajah oleh bangsa manapun dan tetap berpegang teguh pada semboyan revolusi “Merdeka atau Mati”. Seperti kita ketahui tujuan akhir dari revolusi Indonesia adalah mendirikan suatu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera, yaitu sebuah masyarakat Indonesia yang sosialis dan religius, sebuah masyarakat sosialis modern yang berketuhanan, bukan suatu masyarakat sosialis keagamaan yang sifatnya ortodoks.
Untuk mendirikan masyarakat dengan karakter tersebut, menurut Bung Karno berlaku hukum dua tahapan revolusi, yakni tahap revolusi nasional dan kemudian tahap revolusi sosialis. Masyarakat umumnya kadang-kadang salah pengertian mengenai revolusi. Mereka beranggapan bahwa revolusi yang pelaksanaannya dengan berdarah-darah adalah suatu revolusi sosial. Padahal tidak demikian.
Seluruh revolusi dalam proses perkembangan masyarakat adalah suatu revolusi sosial. Revolusi di masyarakat feodal adalah revolusi sosial. Revolusi di masyarakat borjuis kapitalis adalah juga revolusi sosial. Revolusi sosialis pun adalah bentuk revolusi sosial. Jadi semua bentuk revolusi adalah revolusi sosial.
Pada setiap tahap revolusi mempunyai tugas sejarahnya sendiri-sendiri. Tahap revolusi nasional mempunyai tugas sejarahnya sendiri begitu pula tahap revolusi sosialis mempunyai tugas sejarahnya sendiri.
Dalam tahap revolusi nasional titik berat usaha adalah mempersatukan seluruh elemen masyarakat agar bersatu kokoh dan kuat membentuk suatu negara bangsa atau negara nasional. Bila negara nasional sudah rampung terbentuk, barulah memasuki tahap revolusi sosialis.
Dalam tahap ini, titik beratnya adalah menghilangkan pengisapan manusia oleh manusia. Dalam tahap ini berlakulah perjuangan antara kelas kapitalis melawan kelas pekerja dan kelas tani. Dengan kemenangan kelas pekerja dan kelas tani, maka lahirlah suatu bentuk masyarakat sosialis religius sebagai tujuan dari revolusi Indonesia.
Hukum Revolusi
Sepanjang sejarah perkembangan masyarakat di dunia, sejak masyarakat tua sampai dengan masyarakat modern saat ini, tidak mungkin seseorang mengadakan atau membuat revolusi sekehendak hatinya. Lihatlah sejarah dari tokoh-tokoh pemimpin revolusi di dunia ini, seperti Nabi Muhammad SAW, Nabi Isa Ibnu Maryam AS, sampai dengan Jean Jaures, Sun Yat Sen, Lenin, kemudian Bung Karno, Ayatollah Ruhollah Khomeini, dan lain-lain. Para tokoh yang disebutkan tersebut memahami hukum-hukum revolusi.
Jadi, jangan ada di kalangan kita seseorang yang dengan jumawa menepuk dada dan dengan lantang berkata, “saya akan mengadakan revolusi atau akan membuat revolusi di Indonesia ini, agar pemerintah dan sistem masyarakatnya dapat berubah.”
Kalaupun, misalnya, dia berhasil meledakkan revolusi, maka sebenarnya yang ia ledakan adalah bukan revolusi sejati. Apa yang terjadi tersebut, menurut Bung Karno, adalah sebuah insureksi alias pemberontakan. Di mana pun di dunia ini, yang namanya pemberontakan ujung-ujungnya berdarah-darah dan chaos! ***
—–
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Senin, 21 Desember 2020 | 08:00 WIB, dengan judul asli “Revolusi Menurut Soekarno”
**) Penulis pernah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) semasa kuliah di ITB (foto ilustrasi istimewa)