BENDERRAnews.com, 2/11/20 (Paris): Dalam nada tegas, Presiden Prancis Emmanuel Macron menuduh Turki telah mengambil sikap agresif terhadap para sekutunya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO dan mengatakan, situasi tidak akan panas kalau Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menunjukkan rasa hormat serta tidak menyebarkan kebohongan.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi al-Jazeera tayang Sabtu (1/11/20), Macron mengecam perilaku Turki di Suriah, Libya dan kawasan Mediterania, dengan mengatakan: “Turki bertindak memanas-manasi para sekutu NATO”.
Macron juga mencoba mendinginkan situasi di kalangan umat Muslim seluruh dunia di tengah panasnya retorika menyusul pembunuhan seorang guru di Prancis, Samuel Paty, yang sebelumnya menunjukkan karikatur Nabi Muhammad dan karikatur lain dalam sebuah diskusi tentang kebebasan berpendapat di kelasnya.
Disebut Macron, Prancis berharap suasana akan “mendingin”, tetapi untuk bisa mewujudkan itu penting bagi “Presiden Turki untuk menghormati Prancis, Uni Eropa dan nilai-nilai yang mereka yakini, serta tidak menyebarkan kebohongan dan hinaan”.
Dia mengingatkan, Prancis menyampaikan duka cita mendalam pada Turki saat terjadinya gempa bumi di Aegean dan menawarkan bantuan ke lokasi.
Niat imperialis
Diingatkannya lagi, intervensi Tukri di Suriah juga “mengagetkan” dan merupakan wujud agresi bagi para anggota NATO, kata Macron. Turki tidak menghormati embargo senjata di Libya dan menunjukkan sikap agresif di kawasan timur Mediterania.
“Saya mencatat bahwa Turki punya niat imperialis di kawasan itu dan menurut saya niat imperialis seperti ini bukan hal bagus untuk stabilitas kawasan, itu saja,” kata Macron.
Hubungan Turki dan Prancis sedang memanas belakangan ini, dan memuncak akhir pekan lalu ketika Erdoğan mempertanyakan kesehatan mental Macron.
Prancis merespon dengan memanggil pulang duta besarnya di Ankara. Namun pada Sabtu, Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian mengatakan, Prancis akan mengirim kembali duta besarnya ke Ankara.
Kampanye kebencian
Kepada televisi Prancis RTL, Le Drian mengatakan, Turki melancarkan “kampanye kebencian dan fitnah kepada kami” setelah retorika yang menyusul pembunuhan guru di Prancis tersebut.
Namun, dia juga menghargai sikap Turki yang mengecam serangan senjata tajam di sebuah gereja di Nice pekan ini, walaupun tetap meminta Ankara memberikan klarifikasi atas tuduhan-tuduhan sebagaimana dilancarkan sebelumnya.
“Kami meminta duta besar untuk pulang dari Ankara besok guna menindaklanjuti permintaan untuk klarifikasi dan penjelasan dari otoritas di Turki,” tambahnya.
Karikatur Nabi
Dalam wawancara di al-Jazeera, Macron mengatakan, dia bisa paham karikatur Nabi bisa memicu ketegangan, tapi mengecam “kabar bohong”, seolah negara berada di balik publikasi kartun tersebut.
Prancis kembali menjadi sorotan awal September lalu setelah publikasi ulang karikatur Nabi di mingguan Charlie Hebdo, yang memicu serangan di luar gedung bekas kantor media satir tersebut, pemenggalan seorang guru, dan serangan di sebuah gereja di Nice Kamis lalu, dimana menewaskan tiga orang.
Macron sendiri menjadi sasaran protes di negara-negara Muslim karena tidak lama setelah insiden pemenggalan guru tersebut dia mengatakan Prancis tidak akan mencabut undang-undang yang membolehkan publikasi karikatur yang bersifat hinaan.
“Kebebasan berbicara, menulis, berpikir, dan menggambar”
Namun, dalam upayanya mendinginkan situasi di kalangan umat Muslim, dia bicara lebih lunak saat wawancara panjang dengan televisi Qatar tersebut.
“Saya bisa memahami bahwa orang-orang terkejut dengan karikatur tersebut, tetapi saya tidak bisa menerima pembenaran atas tindak kekerasan yang terjadi,” ujarnya.
“Saya paham perasaan yang timbul karena ini, saya menghormatinya. Namun, saya minta Anda paham peran yang saya jalankan. Peran saya adalah mendinginkan suasana, tetapi di saat yang sama harus melindungi hak-hak ini,” jelasnya.
Lalu dia menambahkan: “Saya di negara ini akan selalu mempertahankan kebebasan berbicara, menulis, berpikir, dan menggambar.”
Penyesatan informasi
Macron menyerang balik “penyesatan” yang dilakukan para pemimpin negara lain terkait karikatur Nabi ini, dengan mengatakan, sudah terlalu banyak orang yang digiring untuk percaya, seolah Pemerintah Prancis berada di balik penerbitan karikatur tersebut.
Dia mengecam munculnya kebingungan “akibat pemberitaan banyak media — dan acap kali pernyataan para pemimpin politik dan agama — yang menyebutkan, karikatur ini merupakan proyek pemerintah dan Presiden Prancis”.
Lebih jauh, dia mengkritik kampanye boikot terhadap produk-produk Prancis yang terutama didukung oleh Erdoğan dan diikuti oleh sejumlah retailer di negara-negara Islam.
“Kampanye seperti itu didasarkan pada kebohongan, yang sering kali diucapkan oleh para pemimpin negara lain,” katanya.
Sebelum peristiwa pembunuhan guru itu, Macron sudah berjanji untuk melancarkan tindakan tegas terhadap radikalisme di Prancis, yang sudah menewaskan ratusan orang di negara itu sejak 2015. Demikian The Guardian. (B-TG/BS/jr)