BENDERRAnews.com, 18/9/20 (Jakarta): Laporan terkini menyebutkan, penyebaran paham radikal di lingkungan sekolah hingga perguruan tinggi masih terjadi, bahkan sudah melibatkan kalangan guru maupun dosen. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menelurkan bibit-bibit baru kelompok radikal yang tidak menerima keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
“Saat ini banyak yang sudah terpapar, terutama dari kalangan kampus, termasuk dosen. Ini bukan satu dua kampus, tapi cukup masif. Bahkan salah satu kampus ada lima dosen teridentifikasi terpapar paham anti-Pancasila,” kata Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, dalam webinar bertema “Penguatan Karakter Bangsa” yang di selenggarakan Forum Rektor Indonesia (FRI), di Jakarta, Jumat (18/9/20).
Disebutnya, kalangan dosen yang terpapar pemikiran radikal dan anti-Pancasila mengajarkan agama berhaluan radikal. “Kondisi ini sangat berbahaya untuk ke depan. Pancasila sudah final namun ternyata masih banyak orang tertarik dengan ideologi lain,” ungkapnya.
Dikatakannya, keberadaan kelompok radikal anti-Pancasila yang ada di Indonesia mengincar seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, kalangan generasi muda merupakan kelompok yang paling diincar.
“Suka tidak suka, banyak kalangan muda yang tertarik ideologi lain dan tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi bangsa. Kondisi ini memperbesar kemungkinan ideologi lain masuk. Mereka (kelompok radikal) menggunakan sugesti,” ujarnya.
Moderat cenderung diam
Ken menikai, masih adanya masyarakat yang tidak tertarik keberadaan Pancasila merupakan salah satu tantangan besar Pemerintah. Jika ketidaktertarikan ini dibiarkan, besar kemungkinan akan masuk ideologi lain di kalangan anak muda.
“Ditambah lagi banyak anak muda yang belajar ke guru yang salah. Guru sekolah negeri bahkan ada yang membenarkan pendirian negara khilafah. Di sisi lain yang moderat cenderung diam,” ujar Ken.
Dirinya menceritakan, dari pengalamannya saat menjadi bagian dari kelompok NII, biasanya ada tiga level orang yang anti-Pancasila. Yaitu level iman, hijrah dan jihad.
Iman merupakan keyakinan untuk meninggalkan berhala. Artinya, Pancasila yang dianggap berhala atau thogut harus ditinggalkan dengan perumpamaan ayat-ayat.
“Menularkan kebencian kepada Pancasila dengan menggunakan perumpamaan ayat. Tauhidnya mereka propagandakan. Hijrah pindah, finalnya mereka jihad yaitu melakukan bom bunuh diri dan lain sebagainya,” ucapnya.
Bersifat tertutup
Saat ini, masyarakat sendiri sesungguhnya bisa mengidentifikasikan siapa saja kelompok masyarakat yang sudah terpapar pemikiran radikal dan anti-Pancasila. Biasanya kelompok tersebut bersifat tertutup, saling menjaga rahasia, dan biasanya jika sudah bergabung, akan meninggalkan keluarganya.
“Semua orang yang belum bergabung dengan mereka menghalalkan darahnya, hartanya, dan lain-lain. Kelompok mahasiswa sudah banyak yang bergabung dengan kelompok ini. Orang-orang ini biasanya juga akan frontal terhadap seluruh kebijakan pemerintah,” ucapnya.
Salah satu cara efektif mencegah penularan pemikiran tersebut, masyarakat diharapkan tidak belajar pemahaman agama kepada guru yang salah. Untuk mengidentifikasinya, bisa dilihat dari ceramah ataupun pengajaran yang disampaikan.
“Hari ini banyak sekali tokoh agama, bahkan yang berstempel ulama, tapi mengajarkan hujatan, caci maki, ujaran kebencian, kekerasan, hingga tidak bisa menjadi tauladan. Belajar agama, kita harus tersenyum dan membuat orang lain tersenyum. Kalau membuat marah, jangan kita ikuti,” kata Ken.
Pentingnya nilai-nilai kebangsaan
Deputi Kajian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Adji Samekto, mengingatkan, saat ini masyarakat telah memandang sebelah mata arti dari kehidupan kebangsaan. Dirinya pun mengingatkan pentingnya nilai-nilai kebangsaan di dalam upaya pembumian nilai-nilai Pancasila.
“Saat ini, berbicara kebangsaan sudah dipandang sebelah mata. Dulu kebangsaan ketika Indonesia berdiri, memang merupakan salah satu bentuk perlawanan penjajahan,” kata Adji.
Dalam konteks kekiniaan yakni di dalam konteks Pancasila, harus merefleksikan dalam persatuan bangsa yang memiliki latar belakang berbeda-beda.
“Semangat kebangsaan harus dijaga, yaitu melalui proses kelembagaan, regulasi dan melalui proses budaya. Di kelembagaan memperkuat komitmen empat konsensus dasar kebangsaan,” demikian Prof Adji Samekto. (B-BS/jr)