BENDERRAnews, 11/9/19 (Jakarta: Nawawi Pomolango, alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, merupakan Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pertama yang maju dalam fit and profer test (uji kelayakan dan kepatutan) di ruang rapat Komisi III Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (11/9/19).
Salah satu yang menarik atensi publik dalam sidang terbuka dan disiarkan sebuah stasiun televisi nasional, ialah, Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang punya pengalamsn 30 tahun sebagai hakim ini, setuju dilakukannya revisi UU KPK. Hal itu untuk memastikan adanya azas keadilan.
“Saya setuju soal SP3. Kenapa? Karena pernah ada tersangka, empat kali saya mutasi, tetap sebagai tersangka,” kata Nawawi dalam uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK tersebut.
Nawawi menjelaskan, tak ada filosofi dalam UU KPK tidak bisa mengeluarkan SP3. Selama ini, ia menyebut hanya pendapat para ahli KPK tak bisa SP3. Yakni hanya sebagai pembeda dengan penegak hukum lain seperti kejaksaan.
Sementara dalam K UHP, filosofi SP3 terkait azas kepastian hukum. “Pasal 40 UU No 32 UU KPK dibuat tanpa ada filosofi. Saya setuju revisi UU KPK. SP3 harus ada. Jangan ada tersangka sampai mati,” katanya.
Sejumlah pihak mengacungkan jempol buat keberanian Nawawi Pomalango. Lugas hadapi berbagai prrtanyaan.
Hakim berpengalaman 30 tahun alumni FH Unsrat di Manado ini begitu tegas mengkritisi kinerja KPK yang telah diberi kewenangan ‘luar biasa’, tapi hasilnya ‘biasa-biasa. Terbukti, IPK yang naiknya landai malah terkesan seperti orang sedang lakukan ‘treadmill’ atau sedang linglung pulang ‘Dugem’.
Beberapa konsep pencegahan, koordinasi hingga penindakan korupsinya menarik, termasuk sikap kritisnya terhadap Wadah Pegawai (WP) KPK yang sering mengambil posisi mengomando pimpinan, malah sebagai ‘oposan’ negara/pemerintah.
Persoalan manajerial
Nawawi juga menjelaskan programnya bila terpilih menjadi pimpinan KPK. Nawawi mengatakan, pencegahan korupsi harus dimulai dari sekolah tingkat dasar.
Selama ini, kata Nawawi, publik melihat pemberantasan korupsi hanya sebatas operasi tangkap tangan (OTT). Dia juga mengkritik pencegahan yang selama ini dilakukan KPK.
“Jangan-jangan anggaran pencegahan KPK itu habis beli bensin keliling Indonesia,” katanya.
Terkait adanya pertanyaan anggota dewan tentang pandangannya soal revisi UU KPK, Nawawi mengatakan, saat ini belum perlu menambah kewenangan KPK. Ia menyebut KPK itu tidak ada masalah saat zamannya Taufiqurahman Ruki dan Antasari Azhar.
“Zaman Samad dan yang sekarang saja yang masalah dengan (adanya) WP KPK. Saya kira ini ada masalah dengan manajerial pimpinan. Tapi kalau ada pimpinan baru datang dan tak paham masalah jadi susah juga,” katanya.
Disebutnya, pimpinan KPK itu harus kompeten agar bisa mengatur bawahan. Pimpinan juga harus mampu mengakselesasi sistem kerja di KPK.
Terkait dengan OTT, Nawawi mengatakan, hal itu bukan hal yang haram.
“Harusnya pencegahan dulu di depan baru penindakan. Kalau ada kejadian ya tangkap juga,” katanya lagi.
Kinerja biasa saja
Nawawi menambahkan, motivasinya bila terpilih menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023 akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. “Saya juga greget, lembaga yang luar biasa kinerjanya saya rasa biasa-saja,” kata Nawawi Pomolango menjawab pertanyaan anggota dewan.
Nawawi ingin menjadikan KPK sesuai tujuan lembaga antirasuah itu yang sebenarnya yakni Pasal 5 UU No 32/2002. Dalam UU, tujuan KPK didirikan yakni meningkatkan daya guna dan hasil guna pemberantasan korupsi. “Saya rasa greget saja. Lembaga KPK tampak seperti tredmel yang di atas lari kencang sebenarnya jalan di tempat. Kelihatan lari kencang tapi lambat,” ujar Nawawi Pomolango.
Nawawi mengilustrasikan KPK saat ini ibarat seseorang baru pulang dugem di tengah malam. Dalam perjalanan ke rumah di tengah malam, orang mabuk itu akan pulang dengan sempoyongan. “Seperti itu saya lihat kinerja KPK. Dari mana buktinya, 2018 indeks korupsi Indonesia tertatih-tatih. Apa yang dilaksanakan KPK selama ini? Konsentrasi KPK hanya penindakan dan bukan mencegah,” jelas Nawawi Pomolango.
Ia juga mencontohkan lembaga pemberantasan korupai di Korsel. Awalnya pemberantasan korupsi di negara itu dilakukan dengan banyak penindakan. “Namun karena sudah menganggu program pemerintah makanya dibubarkan. Muncullah lembaga baru seperti Ombudsman atau pencegahan,” kata Nawawi Pomolango. (B-SP/BS/jr)