BENDERRAnews, 17/9/19 (Jakarta): Satu dari lima pimpinan KPK Jilid IV, Basaria Panjaitan, mengisyaratkan menerima revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 yang sudah disahkan DPR RI dalam Rapat Paripurna, Selasa (17/9/19).
Basaria mengatakan, akan mengikuti UU yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tersebut.
“Kalau sudah paripurna, saya ikut,” kata Wakil Ketua KPK ini singkat kepada wartawan, Selasa (17/9/19).
Diketahui, DPR telah mengesahkan Revisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dalam Rapat Paripurna, Selasa (17/9/19) siang.
Terdapat tujuh poin revisi UU KPK yang telah disepakati DPR dan pemerintah.
Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.
Kedua, pembentukan dewan pengawas.
Ketiga, pelaksanaan penyadapan.
Keempat, mekanisme penghentian penyidikan.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum lain.
Keenam, mekanisme penggeledahan dan penyitaan.
Ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.
Siap menjalankan
Sementara itu, salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid V terpilih, Nurul Ghufron menyatakan kesiapannya untuk menjalankan revisi Undang-undang KPK yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (17/9/19). Nurul Ghufron menyatakan, KPK merupakan lembaga penegak hukum, bukan lembaga pembentuk hukum.
“Saya akan menerima apapun, mau berubah setelah diketok dan menjadi Perppu juga akan kami terima. Mau RUU-nya tetap, tidak berubah juga akan kami terima,” kata Nurul Ghufron saat dikonfirmasi awak media, Selasa (17/9/19).
Nurul Ghufron yang merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember menyatakan, KPK ialah penegak hukum yang menjalankan UU. Untuk itu, KPK menerima dan menjalankan UU yang telah dibentuk pemerintah dan DPR.
“Jadi saya memandang begini, KPK adalah lembaga negara yang tugasnya di bidang penegakan hukum. Oleh karena itu posisinya sebagai penegak hukum, maka kami tidak akan masuk pada wilayah-wilayah yang di mana wilayah itu adalah wilayah politis mengenai pembentukkan hukum,” katanya.
Sementara itu, Pimpinan KPK Jilid IV mengeluh tidak dilibatkan dalam merumuskan RUU KPK.
Menanggapi hal ini, Nurul Ghufron mengatakan, KPK sebagai pelaksana UU sudah seharusnya dilibatkan. Namun, sifatnya hanya partisipan bukan pembentuk undang-undang.
Apalagi, Nurul Ghufron menyebut Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, RUU KPK justru diusulkan oleh Komisioner KPK sebelumnya pada 2015.
“Pertanyaannya, apakah KPK harus dilibatkan atau tidak? Ya tentu harus dilibatkan. Tetapi, kapasitasnya sebagai partisipan bukan stakeholder. Misalnya, siapapun pemegangnya, misalnya UU Imigrasi, tentu bidang keimigrasian dimintai (pendapat). Nah, tapi positioning-nya hanya sebagai partisipan. KPK pun hsrusnya memang dilibatkan. Nah versinya Pak Arsul Sani mengatakan sudah dilibatkan, karena memang mereka yang mengusulkan. Sudah ada masukan dan pembahasan tinggal kami dengan Presiden. Itu versinya Pak Arsul Sani. Jangan kemudian dikatakan dari saya,” katanya lagi.
Laode kritisi penindakan
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif angkat bicara mengenai revisi UU nomor 30/2002 tentang KPK yang telah disahkan Rapat Paripurna DPR, Selasa (17/9/19).
Syarif menyatakan, hingga saat ini pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan dan belum menerima secara resmi draf revisi UU Nomor 30/2002 tentang KPK dari DPR maupun pemerintah.
Namun, berdasar dokumen yang beredar, Syarif menilai banyak norma dalam UU KPK baru melemahkan penindakan Lembaga Antikorupsi.
“Jika dokumen yang kami terima via ‘hamba Allah’, banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK,” kata Syarif saat dikonfirmasi, Selasa (17/9/19).
Syarif membeberkan sejumlah poin yang bakal melemahkan KPK. Beberapa di antaranya, Komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum; penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin dewan pengawas; dewan pengawas diangkat oleh Presiden; komisioner bukan lagi pimpinan tertinggi di KPK serta status Kepegawaian KPK berubah drastis serta harus melebur menjadi ASN.
“Hal-hal di atas berpotensi besar untuk mengganggu ‘independensi’ KPK dalam mengusut suatu kasus,” katanya.
Syarif menyatakan, masih banyak poin-poin dalam UU KPK baru yang bakal melemahkan Lembaga Antikorupsi. Saat ini, kata Syarif, pihaknya sedang meneliti detil dari RUU KPK yang telah disahkan DPR.
“Masih banyak lagi detil-detil lain yang sedang kami teliti dan semuanya jelas akan memperlemah penindakan KPK,” katanya lagi.
Hingga berita ini ditulis, Pimpinan KPK Jilid IV yang lain belum merespon mengenai langkah DPR mengesahkan UU KPK, yakni Agus Rahardjo, dan Saut Situmorang. Demikian Suara Pembaruan memberitakan. (B-SP/BS/jr)