BENDERRAnews, 7/9/19 (Jakarta): Gubernur DKI Anies Baswedan punya wacana hendak memberi ruang bagi pedagang kaki lima berdagang di trotoar.
Pihak Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya pun menolak wacana dan langkah tersebut. Sebab ini berpotensi malaadministrasi bahkan menjurus ke pidana.
“Tidak elok kalau gubernur dipidanakan memakai UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) gara-gara memperbolehlan pedagang kaki lima (PKL) jualan di trotoar,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, di Jakarta, Jumat (5/9/19) pagi.
Sebelumnya Gubernur Anies menjelaskan, trotoar tidak hanya berfungsi untuk pejalan kaki. Atas dasar itu revitalisasi trotoar yang dilakukan sekarang ini bakal dibagi untuk PKL berdagang.
Teguh menegaskan, trotoar merupakan fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang fungsinya adalah sebagai lajur pejalan kaki, sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, bahkan untuk penyandang disabilitas.
“Semuanya sudah dijelaskan gamblang dalam Pasal 45 ayat (1) UU LLAJ,” terang Teguh.
Dia juga menerangkan bahwa prinsip tersebut serupa dengan laporan hasil pemeriksaan Ombudsman terkait dengan penutupan sebagian ruas Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakpus, yang sempat dilakukan Anies untuk menampung PKL. Dalam laporan tersebut Ombudsman menegaskan bahwa gubernur melakukan malaadministrasi.
“Pasal 28 ayat (2) UU LLAJ menyatakan setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan. Yang jelas ada pidana untuk pelanggar penggunaan kelengkapan jalan,” kata Teguh.
Optimalkan Perda 2/2002
Dia mengusulkan Pemprov DKI untuk mengoptimalkan ketentuan Perda No 2/2002 tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta dan Pergub No 10/2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL yang mengamanatkan pemilik gedung dan mal memberi ruang 20 persen untuk PKL berdagang.
Langkah tersebut, kata Teguh, sejauh ini belum diprioritaskan dalam menata PKL. Gubernur bahkan bisa mendorong agar pemilik gedung-gedung tinggi di Jakarta untuk menyerahkan fasos dan fasum kepada Pemprov DKI.
“Jangan karena gagal memaksa mal dan gedung-gedung menyediakan itu, Pemprov DKI malah mengambil jalan pintas memperbolehkan trotoar digunakan untuk PKL. Padahal selama ini keberadaan PKL menyubsidi gedung-gedung bertingkat itu dengan menyediakan layanan makanan murah bagi para karyawan kelas menengah yang berkantor di gedung-gedung itu,” katanya.
Teguh juga mempertanyakan kinerja Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang menurutnya tidak memberi masukan kepada Gubernur Anies mengenai adanya potensi malaadministrasi dan pidana jika pemda memberi ruang kepada PKL berdagang di trotoar.
“Seharusnya gubernur memaksimalkan TGUPP dalam mempercepat proses kepatuhan gedung dan mal dalam penyerahan fasum dan fasos dan juga kewajiban menyediakan lahan PKL,” tuturnya.
Misi ramah pejalan kaki
Pengamat perkotaan Nirwono Joga mengingatkan Gubernur Anies tentang misi mewujudkan kota ramah pejalan kaki di DKI. Misi itu merupakan amanat UU No 38/2004 tentang Jalan, UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Perda DKI No 8/2007 tentang Ketertiban Umum dan Perda DKI No 5/2014 tentang transportasi.
“Menata kota itu sudah ada aturannya. Tinggal dipatuhi saja. Jangan dibiasakan melanggar, apalagi dilakukan oleh pemda atau gubernur. Kalau begitu bagaimana kota dan warganya akan tertib?” kata Nirwono.
Dengan begitu dia mendorong agar revitalisasi trotoar di sejumlah wilayah di Jakarta seperti di kawasan Cikini, Saharjo dan Kemang harus berjalan sesuai dengan peruntukannya yakni, memanjakan pejalan kaki.
“Kalau berkaca pada kota-kota maju di dunia ini, mereka memanjakan pejalan kaki. Trotoar memang untuk memuliakan pejalan kaki bukan untuk fungsi lainnya,” jelas Nirwono Joga, seperti diberitakan Suara Pembaruan. (B-SP/BS/jr)