BENDERRAnews, 1/12/18 (Jakarta): Gelaran acara “Ghumenang 128 Teun Kinatouan Ni Pahlawan Nasional Dr GSSJ Ratulangi” (Perayaan 128 Tahun Pahlawan Nasional Dr GSSJ Ratulangi) di Asana Kawanua Hotel, Jakarta, Jumat (30/11/18) malam berlangsung penuh gegap gempita, dan dihadiri sejumlah tokoh senior pro Merah Putih dari berbagai daerah, termasuk Lani Sugandhi Ratulangi serta Uki Soedjoko Ratulangi (dua putri Pahlawan Nasional, Dr GSSJ Ratulangi, alias Oom Sam Ratulangi).
Dalam acara penuh semangat nasionalisme dan diwarnai nuansa budaya Minahasa, salah satu bangsa pejuang yang ikut andil mengkontribusikan banyak pahlawannya untuk memerdekakan Republik Indonesia, ini diawali oleh sebuah diskusi kontemplatif, antara lain menghadirkan tiga tokoh Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP). Yakni pakar budaya dan sejarah, Dr Benni E Matindas (Anggota Dewan Pembina GPPMP), Dr Ronny F Sompie, SH, MH (Wakil Ketua Dewan Penasihat GPPMP) dan Dr Sonny Wuisan, SH, MH (Wakil Ketua Tim Satkersus DPP GPPMP).
Ketiganya menyampaikan pokok-pokok peran dan kiprah Dr Gerungan Saul Semuel Jacob Ratulangi di bidang pemerintahan, kebudayaan dan jurnalistik.
Sebelumnya, salah satu putri Oom Sam Ratulangi, yakni Lani Sugandhi Ratulangi, PhD memaparkan “Sejarah, Karya dan Kiprah Dr GSSJ Ratulangi”, yang mendapat atensi serius hadirin.
Sebagaimana diketahui, baik Lani Sugandhi Ratulangi maupun Uki Soedjoko Ratulangi, merupakan Pinisepuh/Dewan Kehormatan GPPMP, sebuah Ormas Nasional yang memiliki visi melestarikan dan meneruskan jiwa-semangat-nilai (JSN) Peristiwa Heroik Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946, yakni Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Pancasila, UUD 1945, Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, spirit Bhineka Tunggal Ika dan sang perkasa bendera Merah Putih.
Penyerahan ‘Minahasa Award’
Di akhir acara, berlangsung pula penyerahan penghargaan bernama ‘Minahasa Award’ kepada sejumlah tokoh asal Sulawesi Utara yang telah berkontribusi positif dalam pembangunan negara.
Dalam kesempatan ini, ‘Minahasa Society’ di bawah pimpinan Pendeta Evang Stone Manopo (salah satu Wakil Sekjen DPP GPPMP) dan Ketua Umum Rukun Keluarga Besar Ratulangi, Kombes Pol Pitra Ratulangi, antara lain menyerahkan penghargaan itu kepada dua tokoh GPPMP, yakni Dolfie Suling, salah satu penggagas dan pendiri GPPMP dan Ronny Sompie (selain Wakil Ketua Dewan Penasihat GPPMP, juga Ketua Umum DPP Kerukunan Keluarga Kawanua/KKK).
Menariknya, kehadiran Dolfie Suling yang kendati pun sedang dalam proses pemulihan fisik, tampil dengan penuh semangat kebangsaan, sehingga mengundang atensi hadirin. Pasalnya, Dolfie tampil dengan menggunakan seragam Komando Penegak Merah Putih 14 Februari 1946 (Kogamtih). Sebagaimana diketahui, Kogamtih merupakan sebuah komunitas bela negara yang dibentuk DPP GPPMP, di mana Dolfie Suling juga merupakan salah satu penggagas dan pendirinya.
Beberapa tokoh senior langsung mengajak Dolfie berfoto bersama, karena kagum dengan busana Kogamtih yang dipakainya (lengkap dengan atribut topi baret merah serta tongkat komandu, Red), termasuk Lani Sugandhi dan Uki Soedjoko, serta Mona GD Sigar.
Dolfie dan Ronny mengemukakan, kehadiran serta peran mereka (meskipun bukan atasnama GPPMP) di sini, karena kekagumannya atas reputasi kepahlawanan Sam Ratulangi. Di antaranya, mampu menggerakkan massa rakyat Indonesia, di pusat Jakarta, Jawa, hingga Sulawesi Utara dan Papua, untuk bersama-sama dalam barisan Merah Putih, pro Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, yang diprokalamsikan Bung Karno.
“Sam Ratulangi merupakan salah satu tokoh penting di balik layar Peristiwa Heroik Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946, bersama Babe Palar,” kata Ronny Sompie.
Ihwal heorisme Sam Ratulangi
Dr Ronny F Sompie, SH, MH pun kebagian “Minahasa Award” untuk kategori Tuama Leos Keter Wo Nga’asan dari Minahasaa Society dan diserahkan oleh Ketua Umum Rukun Keluarga Besar Ratulangi, Kombespol Pitra A Ratulangi, SIK, MM, dalam acara “Ghumenang 128 Teun Kinatouan Ni Pahlawan Nasional Dr GSSJ Ratulangi” tersebut.
Berikut cuplikan dari sinopsis pemaparan Ronny F Sompie, ketika tampil dalam sesi diskusi kontemplatif:
“Sam Ratulangi: Ideologi, politik dan pemerintahan”
+ Kendati populer dengan nama Sam Ratulangi, tetapi sesungguhnya putra Indonesia berdarah Tondano, Minahasa, ini memiliki bernama lengkap: Dr Gerungan Saul Semuel Yacob Ratulangi. Latar akademiknya sebagai doktor ilmu pasti pertama Asia jebolan sebuah perguruan tinggi di Eropa, ikut mempengaruhi kiprahnya di lapangan ideologi, politik dan pemerintahan;
+ Di mata Sukarno, yang mengakui Sam Ratulangi sebagai mentor politiknya, sosok Oom Sam dikenalnya sebagai seorang ‘perfeksionist’, sarat dengan strategi taktik politik praktis modern hasil tempaan dunia akademik plus alam pergerakan mahasiswa dan pemuda dari sebuah bangsa terjajah dan hidup di Eropa yang dikuasai negara–negara kolonial;
+ Meski begitu, Sam Ratulangi pernah diangkat sebagai Ketua Perhimpunan Mahasiswa Asia di Eropa, dengan anggotanya antara lain J Nehru (dari India, yang kemudian jadi Perdana Menteri di negaranya), Chou En Lai (RRT, yang juga jadi PM), U Than (Burma atau Myanmar, yang pernah jadi Sekjen PBB), lalu Pangeran Hirohito (Jepang, yang selanjutnya naik tahta sebagai Kaisar);
+ Bisa disebut, bahwa romantika, dinamika dan dialektika panjang serta penuh nuansa yang didapatnya di Eropa, telah membentuk Sam Ratulangi sebagai sosok genius yang matang dalam memainkan strategi maupun aneka taktik politik, luwes dalam pergerakan, sehingga bisa diterima hadir di tengah politisi/tokoh/aktivis aneka latar tanpa ada sekat;
+ Sam Ratulangi juga tak terkesan terlalu agresif menyerang lawan, tetapi memiliki daya dobrak dahsyat, bahkan banyak programnya mendapat atensi serius lagi positif oleh pihak kolonial;
+ Ketika menjadi Anggota Volksraad (Parlemen), Sam Ratulangi bisa berkolaborasi dengan tokoh Muslim Betawi, Moh Husni Thamrin untuk mengeluarkan sebuah petisi yang mendapat respons pemerintah kolonial, juga direstui melakukan sejumlah program aksi bagi kepentingan kaum bumi putera, dimana apa pun tindakannya tidak dicurigai dan diberi stempel ekstremis oleh kolonial, sebagaimana dialami beberapa tokoh politik pra kemerdekaan RI;
+ Sukarno banyak meniru gaya Sam Ratulangi begini, yang dinilainya mampu ‘menaklukkan’ para kolonial dari Eropah itu dengan cara Eropah pula, dimana dia bisa dengan cerdik menohok tanpa timbulkan ‘luka’, malah terkesan masuk kelompok politisi ‘co-operatif’, bukan ‘non co-operatif’ di mata Belanda (karenanya, ada yang sempat mencap dirinya sebagai ‘nasionalis lembek’);
+ Sam Ratulangi juga menentang politik identitas, dengan menganjurkan kaum bumi putera, termasuk dari Tanah Minahasa, agar jika ingin terjun di dunia politik, jangan mau masuk Parpol agama, tetapi berjuang lewat partai-partai kebangsaan/nasionalis;
+ Ketika diangkat sebagai Gubernur Indonesia Timur, maka sebagai bagian dari pemerintah, Sam Ratulangi memiliki visi tegas untuk pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan (terbukti antara lain dengan program re-distribusi penduduk untuk buka daerah-daerah baru, sedikit mirip-mirip model program transmigrasi/seperti dikirimnya banyak Orang Minahasa untuk ‘tumani’/buka & bangun kawasan baru di bagian selatan, di antaranya di Tompaso Baru dan Modoinding), peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan (dia terkenal dengan ajakan semangat joang ‘sumekolah’ dan semboyan ‘si tou timou tumou tou’, lalu dia bikin sekolah dan jadi guru, termasuk ketika dirinya diasingkan ke Serui, Papua);
+ Masih dalam urusan politik, Sam Ratulangi memang menolak politik identitas, tapi dia pun bisa memainkan aura nasionalisme lewat gereja, ketika dirinya bersama BW Lapian dkk mendirikan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), 1934, melepaskan diri dari ‘Indische Kerk’, dan menolak mendoakan pemerintah kolonial dalam doa syafaat, dan menjadikan KGPM sebagai ‘gereja kebangsaan”, ‘gereja orang merdeka’, ‘gereja merah putih’, dan inilah bukti kuat sejarah betapa berperannya kaum Nasrani dalam menentang kolonialisme berbasis ideologi yang berakar kuat;
+ Adalah Sam Ratulangi pula (bersama Babe Palar) yang ada di belakang layar, ikut merancang Peristiwa Heroik Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 yang digencarkan oleh BW Lapian, Ch Ch Taulu, SD Wuisan (para tokoh politik dan militer yang bergereja di KGPM) dkk, yakni dengan tujuan membangun opini, bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1946 oleh Bung Karno, bukan cuma letupan perjuangan rakyat di Tanah Jawa, tetapi juga hungga di Sulawesi Utara (daerah pertama di luar Jawa yang betgabung dengan NKRI);
+ Satu hal tegas lagi diingatkannya, agar “jadilah nasionalis yang tidak chaufinist”, harus ‘outward looking’, sehingga dia mengajak bangsa ini yang memiliki posisi sangat strategis dalam percaturan global untuk bisa memainkan peran utama dalam era Pasifik, pusat percaturan global kini dan nanti lewat buku visionernya “Indonesia di Pasifik”, 1936;
+ Singkat ceritanya, spirit ‘tumani’ dan ‘sumekolah’ (hingga ke mancanegara) yang berbasis serta bermuara pada ‘si tou timou tumou tou’ (memanusiakan manusia siapa pun dia, tanpa kekerasan dan non politik identitas), dan memiliki kemampuan ‘outward looking’, *merupakan ciri politik, ideologi dan kepemimpinan Oom Sam*. (Dicuplik dari buku “Orang Manado: Mitos, Legenda, Citra, Gaya & Canda”, Jeffrey Rawis, 2007).
Jakarta, 30 November 2018
Ronny F Sompie
Rencana pembuatan film
Sesudah penyerahan ‘Minahasa Award’ dalam beberapa kategori (Tuama/Wewene Leos, Keter Wo Nga’asan, Red), di penghujung gelaran tersebut pihak ‘Minahasa Society’ mengekspos tentang rencana persiapan pembuatan film Dr GSSJ Ratulangi.
Kini sebuah tim sedang berusaha menyiapkan skenario serta segala sumberdaya menyangkut produksi film bergenre perjuangan tersebut.
“Direncanakan ini akan dilakukan mulai tahun depan, dengan melibatkan beberapa stake holders yang sudah dan akan dikonsolidasikan lagi,” demikian Pendeta Evang Stone Manopo. (B-ds/em/jr — foto ilustrasi istimewa)