BRNDERRAnews, 23/11/18 (Jakarta): Peraturan Daerah yang berlandaskan agama, baik bernuansa syariah maupun lainnya hanya berorientasi pada kekuasaan dan jangka pendek.
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Syafii Maarif menegaskan itu Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (23/11/18).
Bahkan, pembentukan Perda-perda bernuansa semacam itu, menurut Buya Syafii, sapaan Syafii Maarif, hanya bertujuan untuk menjaga dan mendapat konstituen.
“Itu (Perda) lebih berorientasi pada kekuasaan sebenarnya. Jangka pendek, untuk menjaga dan mendapat konstituen,” kata Buya Syafii usai peluncuran buku ‘Merawat Kewarasan Publik: Refleksi Kritis Intelektual Muda dan pembukaan Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan yang digelar Maarif Institute di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta tersebut.
Duri dakam daging
Buya Syafii menyatakan kehadiran Perda-perda berbasiskan agama menjadi problematik saat ini. Kehadiran Perda-perda tersebut tidak hanya didukung oleh partai-partai berbasiskan agama, tetapi juga oleh partai lainnya.
Padahal, Buya Syafii melihat kehadiran Perda-perda ini dapat menjadi duri dalam daging dalam pelaksanaan hukum positif di Indonesia.
“Itu daging kalau ada durinya ya sakit sekali. Artinya mengganggu pelaksanaan hukum di Indonesia ini. Dan itu bisa menimbulkan perpecahan,” tegasnya.
Buya Syafii menyatakan, Perda bernuansa syariah misalnya bukan untuk mencapai syariah. Dikatakan, syariah dapat tercapai jika keadilan bersama dapat tercapai.
“Syariah itu sebetulnya tegaknya keadilan kebersamaan. Ini kan sekedar politik,” katanya.
Perda syariah, Buya Syafii menganalogikan sekadar politik gincu, tampak di bibir, tapi tak terasa. Padahal, kata Buya, berpolitik maupun menjalankan ajaran agama semestinya menerapkan falsafah garam, tak tampak di bibir, tapi terasa.
“Kalau mau menegakkan ajaran Islam harus berpedoman pada falsafah garam. Terasa tapi tak tampak, jangan politik gincu,” ungkapnya seperti dilansir Suara Pembaruan.
Untuk itu, Buya Syafii meminta Perda-perda berbasis agama sebaiknya ditinjau kembali. Termasuk dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika bertentangan dengan Undang-undang Dasar.
“Menurut saya itu harus ditinjau kembali, kalau ternyata berlawananan dengan UUD ya ke MK saja,” tegas Buya Syafii. (B-SP/BS/jr)