BENDERRAnews, 19/11/18 (Jakarta): Hampir senada dengan sikap tegas Wakil Ketua KPK, Alex Mawarta yang dinyatakan kepada awak media, 1 November 2018 lalu, agar harus dipisahkan kasus hukum dan kelanjutan sebuah proyek investasi, hal itu pun dikemukakan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Sebagaimana dilansir sejumlah media mainstream, termasuk CNBC Indonesia, Kang Emil, demikian panggilan populer Ridwan Kamil, memang cukup berhati-hati merespons eksistensi investasi besar di mega-proyek Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (Jabar). Itu terjadi setelah merebaknya dugaan kasus suap perizinan yang melibatkan Bupati Bekasi, bersama sejumlah pejabat Kabupaten Bekasi, juga beberapa staf pengembang Meikarta (PT Mahkota Sentosa Utama/PT MSU, Red).
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar memang telah memberikan rekomendasi atas mega-proyek tersebut.
Dalam akun Twitter-nya, Kang Emil kemudian menyampaikan cuitan yang isinya memperbandingkan membuat kebijakan untuk proyek-proyek besar.
Ia tampaknya tidak ingin berspekulasi lebih lebih luas dalam memutuskan terkait dengan mega-proyek Meikarta, karena banyak aspek yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan hal tersebut.
Harus proporsional
Lalu apa sebenarnya isi cuitan Ridwan, sampai-sampai harus membandingkan kasus Meikarta dengan proyek reklamasi Pantai Utara DKI Jakarta yang juga jadi kontroversi.
Ridwan beranggapan, tidak bisa menyetop atau membatasi kelanjutan proyek tersebut.
“Urusan menyetop atau membatasi sebuah proyek bermasalah harus melalui proses yang adil dan proporsional. Seperti yang terjadi di kasus Reklamasi (Pantai Utara) Jakarta, ternyata tidak semua dihentikan. Pastilah karena Pemprov DKI (Jakarta) sudah dengan pertimbangan aspek hukum yang memadai dan adil,” katanya.
(Sekedar catatan PTUN Jakarta telah menolak gugatan penggugat/sebuah koalisi anti reklamasi terhadap tergugat/investor untuk menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, Red).
Atasi defisit hunian
Sebagaimana diketahui, Meikarta merupakan properti yang dikerjakan oleh PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU). Sedangkan PT MSU merupakan anak usaha dari PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). Sementara LPCK diketahui anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), Divisi Bisnis Properti Lippo Group.
Jadi bisa dikatakan, PT MSU yang mengembangkan Meikarta, hanyalah anak tidak langsung dari LPKR.
Namun, Meikarta ini merupakan murni gagasan dan konsep Lippo Group, demi ikut membantu pemerintah mengatasi defisit hunian rakyat Indonesia, yang kini mencapai angka lebih dari tujuh juta unit rumah.
“Sebenarnya, ini sebuah model, atau dapat dikatakan ikon properti kaliber kota yang mampu menyediakan hunian-hunian berkelas atas, dikitari aneka fasilitas kaliber internasional, tetapi dengan harga yang sangat terjangkau oleh semua kalangan aneka latar di Indonesia,” kata praktisi properti bisnis, Teddy Sanjaya dalam kesempatan terpisah.
Sementara dari fakta di lapangan, pihak PT MSU terus menggenjot percepatan penyelesaiaan sejumlah tower, setelah dilakukan serahterima sebanyak 863 unit di kawasan CBD Meikarta, 1 September lalu.
Manajemen menegaskan, pembangunan yang dilakukan di atas areal telah mengantongi izin resmi itu, juga untuk memenuhi komitmen melakukan serahterima tahap kedua per akhir Februari 2019 mendatang.
Melalui Kantor Hukum INTEGRITY, PT MSU juga menyatakan siap bekerjasama dan bersikap kooperatif dengan KPK dalam menuntaskan dugaan kasus suap perizinan yang melibatkan beberapa stafnya. “Manajemen menghormati proses hukum yang tengah berjalan di tangan KPK,” tandas Prof Denny Indrayana, MH, PhD, mantan Wamenkumham, selaku senior partner Kantor Hukum INTEGRITY kepada pers.
Pihak manajemen juga kini terus melakukan investigasi internal secara independen, sehubungan dengan adanya dugaan kasus suap perizinan proyek tersebut.
‘Ribet’-nya perizinan properti
Proses perizinan proyek properti, diakui banyak kalangan sebagai salah satu yang paling ‘ribet’ di Indonesia.
Pihak Real Estate Indonesia (REI) malah telah mempublikasikan, untuk mengurus investasi properti di Indonesia, dibutuhkan 48 izin, dan memerlukan waktu sedikitnya tiga tahun baru tuntas.
“Padahal investor harus cepat menggelontorkan dananya, agar tidak kena bunga makan bunga,” ujar Teddy.
Ia lalu menyentil pernyataan Presiden Joko Widodo pada sebuah iven properti nasional di Tangerang Selatan, beberapa bulan silam, yang meminta semua birokrasi pemerintahan dari pusat hingga daerah, agar bisa mempermudah proses perizinan.
Jika saat ini memakan waktu tahunan dan harus melewai puluhan meja birokrasi, seharusnya harus bisa sama dengan Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam serta Filipina, yang kini cuma butuh tiga hingga lima hari. Bahkan di Singapura, cukup sehari, beres.
Presiden Jokowi lalu menyindir, proses perizinan seperti sekarang sudah kuno. Dan minta para investor untuk melaporkan jika ada birokrasi di daerah yang masih berbelit-belit dalam pengurusan izin, agar ia bisa segera menelopon gubernur, bupati atau walikatanya.
Syukur kini, menurut REI, sudah ada tiga provinsi yang telah mulai menerapkan kelancaran proses perizinan secara cepat, tidak berbelit-belit, di antaranya DKI Jakarta.
Selanjutnya, terkait dugaan kasus suap perizinan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Bekasi. Hingga kini tercatat da 10 orang yang diamankan dalam OTT KPK.Pihak-pihak yang ditangkap KPK antara lain, Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Najor, Dewi Tisnawati (Kepala Dinas DPMPTSP Kabupaten Bekasi), dan Neneng Rahmi (Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi). (B-CNBC/jr — foto ilustrasi istimewa)