BENDERRAnews, 15/11/18 (Jakarta): Dalam edisi Majalah Properti Indonesia, Kamis (15/11/18) ini, disentil tentang sengkarut perizinan bisnis properti di Indonesia, yang akhirnya menjebak beberapa petinggi pengembang mega-proyek bernama Meikarta.
Itu sebabnya, Majalah Properti Indonesia (MPI) mempertanyakan, setelah kasus hukum yang menimpanya, Meikarta sebagaimana disebut-sebut sebagai ‘Manhattan made in Cikarang’, mau kemana?
MPI mengulas, proyek kotamandiri ini sesungguhnya berada di hamparan areal total sekitar 2200 hektar di kawasan Cikarang. Lippo Group sebagai perusahaan yang mendapat lisensi sejak 1984 untuk mengelola kawasan dimana semula cuma dipandang sebelah mata banyak investor, ternyata terus berkembang pesat.
Dimulai dengan dikembangkannya kawasan industri Lippo Cikarang, seterusnya karena ada kebutuhan hunian bagi para pekerja (domestik maupun ekspatriat, Red), dibangunlah unit-unit rumah di teritori khusus.
Sejak dua dekade silam, orang akhirnya sangat akrab dengan branch Lippo Cikarang, dan kemudian bagaikan magnit, menarik banyak investor mengembangkan kawasan industri maupun pemukiman, hingga tercetuslah ide besar membangun Meikarta oleh anak usaha tidak langsung PT Lippo Karawaci Tbk (Divisi Properti Lippo Group, Red), yakni PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU).
PT MSU kini merupakan pengembang mega-proyek Meikarta. PT MSU ini didirikan salah satu anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), yakni PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), dengan menggaet sejumlah investor lainnya.
Sejak eksistensi Meikarta (medio 2017, Red), meski pun di lokasi itu sudah dan sedang dibangun banyak proyek hunian maupun area komersial oleh LPCK, kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, semakin dilirik banyak investor properti.
Apalagi, Cikarang memang dikitari oleh sejumlah proyek infrastruktur strategis nasional, seperti LRT, tol layang, kereta api cepat Jakarta-Bandung, Bandara Internasional Kertajati hingga Pelabuhan Internasional Patimban.
Jantung ekonomi RI
MPI lalu menulis, wajar jika Lippo Group selaku penggagas utama mega-proyek ini mengklaim, Cikarang kini merupakan jantung ekonomi RI di koridor Jakarta-Bandung.
Dalam studi Lippo, sekitar 60 persen ekonomi nasional RI berada di kawasan Jakarta-Botabek-Bandung, dan 70 persen-nya terdapat di pusat Bekasi-Cikarang dengan penduduk yang akan mencapai 15 juta dalam waktu 20 tahun ke depan. Apalagi di sekitar kawasan itu, ada puluhan kawasan industri dengan ratusan, bahkan mungkin ribuan pabrik, di antaranya menghasilkan lebih 10 juta sepeda motor serta jutaan mobil per tahunnya.
Dengan demikian, disinilah keseluruhan perekonomian RI nantinya berpusat.
Sebagaimana disebut terdahulu, Meikarta dikembangkan oleh MSU sebagai anak usaha LPCK.
Dalam perjalanan waktu, PT MSU lantas menunjuk China State Construction Engineering Corporation (CSCEC) sebagai kontraktor utama dan menggandeng sekitar 30 kontraktor lainnya untuk kerjaan selaku sub-kontraktor, dimana salah satu di antaranya Ciawenindo Mitra Perkasa (CMP).
KPK tidak akan segel
Masih dari MPI, diungkapkan, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mengatakan, pihaknya tidak akan menyegel proyek Meikarta. Sehingga proyek tersebut dapat terus berjalan. Apalagi proyek tersebut sudah melibatkan masyarakat, dalam hal ini konsumen yang berjumlah besar.
“Kalau proyek jalan ya jalan terus saja, kami tidak mungkin menghentikan suatu kegiatan ketika kami tahu di dalamnya banyak masyarakat yang terlibat dalam proses pembangunan. Ini kasus hukum, kami pisahkan dengan proyek itu. Yang terjadi sebetulnya kan proses perizinan itu ada (dugaan) pemberian suap, bukan proyeknya,” ujar Alex dalam siaran persnya awal November lalu.
Banyak bank yang ikut mendukung lewat kredit pemilikan apartemen (KPA) terhadap proyek ini. Termasuk PT Bank Negara Indonesia (Persero). Meski, menurut Direktur Ritel Banking BNI, Tambok P Setyawati dalam konferensi pers di Kantor Pusat BNI, beberapa waktu lalu, debitur hunian Meikarta terbilang belum banyak. Yakni berkisar 200 nasabah atau sekitar Rp50 miliar.
Dan memang nyatanya, hanya sedikit dari pembeli Meikarta yang kini sudah di atas 100.000 membeli dengan fasilitas KPA. Itu pernah dinyatakan oleh Ferry Thahir, seorang pimpinan perusahaan agensi properti di Jakarta.
OJK: Portofolio kredit Meikarta lancar
Artinya, kebanyakan pembeli membeli dengan cara tunai.
Belakangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat KPA Maikarta ini tersalur dari 12 bank.
“Kami (OJK), masih mendalami terkait hal tersebut. Dan portofolio kredit Meikarta itu sebesar Rp8 triliun tersebar di 12 bank dan sejauh ini masih lancar tak macet,” kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Slamet Edi Purnomo di Jakarta, belum lama ini.
Sebelumnya, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengatakan, pengembang (awal) PT Lippo Karawaci Tbk tak bisa membangun kawasan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, di luar rekomendasi yang diizinkan oleh pemerintah daerah.
Salah satunya izin dari Pemprov Jawa Barat.
“(Soal OTT proyek Meikarta) saya belum tahu apa yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Namun yang jelas sampai hari ini setahu saya, pengembang tidak mungkin membangun seperti dibayangkan, kecuali yang sudah diizinkan seluas sekitar 84,6 hektare,” kata Deddy Mizwar dikutip ANTARA.
Deddy Mizwar: Sudah ada izin
Semasa menjabat sebagai Wagub Jawa Barat, Deddy telah memberikan rekomendasi ke Bupati Bekasi untuk penggunaan lahan seluas 84,6 hektar di Cikarang untuk Meikarta.
“Kalau terkait Meikarta, rekomendasi memang sudah diberikan kepada Bupati Bekasi, karena bupati yang memohon, tetapi luasnya hanya 84,6 Ha, bukan 500 Ha,” kata Deddy.
Deddy menekankan jika Meikarta tetap membangun lebih dari 84,6 hektar bahkan sampai 500 hektar, Pemprov Jabar akan mempertimbangkannya. Pasalnya, menurutnya, tata ruang Cikarang yang belum memadai.
Disamakan dengan Manhattan
MPI lalu menulis, Meikarta memang punya kesamaan dengan Manhattan, kawasan mewah di New York. Antara lain, karena memiliki sekitar 100 Ha untuk kawasan central park. Meikarta berencana mengembangkan danau, kebon binatang dan kebon raya mini, fasilitas arena bermain keluarga dan sport, serta wahana menarik lainnya.
Sebagaimana diketahui, Manhattan merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan ujung Sungai Hudson.
Pulau ini menjadi salah satu dari lima kota bagian (borough) yang membentuk kota New York. Manhattan juga merupakan kawasan kota terpenting, karena menjadi salah satu pusat bisnis dan kebudayaan terbesar di dunia.
(Majalah Properti Indonesia (MPI) dapatkan di toko-toko buku dan agen-agen penjualan majalah dan buku di kota Anda. Versi digital MPI dapat diakses melalui:
‘Ribet’-nya proses perizinan properti
Dikutip dari Cahayasiang (edisi 13/11/18), praktisi bisnis properti, Dadiet Waspodo menyorot ‘ribet’-nye proses perizinan sektor properti di Indonesia.
“Benar-benar ini masalah krusial. Investor, atau pengembang butuh kecepatan, karena juga untuk menjamin dana mereka tidak terkena bunga ber bunga. Sementara meja perizinan yang harus dilewati puluhan meja birokrasi, dan memakan waktu di hingga tiga tahun,” ungkapnya.
Akibatnya, banyak pengembang terjebak pada praktik menyimpang, kendati hal itu jelas melanggar aturan, seperti suap. “Dan ini juga dimungkinkan, karena birokrasi kita belum benar-benar pulih dari situasi lama menuju clean and good government yang sejalan dengan amanat reformasi,” tandasnya kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’.
Proses perizinan di Indonesia, terutama di sektor properti, menurutnya, kalah jauh dari Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam dan Filipina. Di sana, demikian Dadiet, cuma butuh tiga hingga lima hari, sudah beres, dan tidak ‘ribet’ melewati belasan hingga puluhan meja birokrasi. Sementara di Singapura, kini cukup sehari, paling lambat dua hari.
Kenapa di Indonesia prosesnya panjang dan lama? “Karena izinnya bermacam-macam, ada dua puluh hingga empat puluhan,” katanya lagi.
Dia lalu menunjuk sikap tegas Presiden Joko Widodo, ketika membuka sebuah pameran akbar properti yang diselenggarakan Real Estat Indonesia (REI) beberapa waktu lalu, sebagaimana dilansir Investor Daily.
Presiden: Bukan zamannya persulit perizinan
Saat itu, sebagaimana dilansir Investor Daily, Presiden Jokowi meminta para pengembang untuk mengadu kepada dirinya, jika ada pemerintah daerah (Pemda) yang masih lamban mengeluarkan izin perumahan. Dia berjanji akan langsung menelepon gubernur, bupati, dan walikota yang menghambat izin perumahan.
Pasalnya, Presiden Jokowi tidak habis mengerti mengapa masih kerap mendengar keluhan soal rumitnya perizinan dalam industri properti.
Kepala Negara menganggap pengurusan perizinan properti dimana harus makan waktu berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan sebagai sesuatu yang sangat kuno dan malumaluin. Sudah bukan zamannya lagi pemerintah daerah mempersulit perizinan.
Pemerintah beberapa waktu lalu juga sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Peraturan tersebut intinya memangkas sejumlah perizinan yang tidak perlu, seperti izin lokasi, izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan sebagainya. Tapi praktiknya, banyak pemda yang tidak menggubris PP tersebut dan masih menerapkan sejumlah izin yang sudah dihapus.
REI: Properti butuh sekitar 48 izin
Berdasarkan catatan REI, ada sekitar 48 izin yang harus dilalui sebuah pengembang untuk mewujudkan pembangunan sebuah proyek properti perumahan. Konon, mengurus seluruh izin tersebut dibutuhkan waktu hingga tiga tahun.
Memang, pengembang tetap bisa memulai pembangunan properti di tengah jalan, sambil menuntaskan pengurusan izin. Namun, praktik semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Belum lagi masalah biaya-biaya siluman yang harus dikeluarkan oleh para pengembang.
Begitulah kenyataan yang terjadi di lapangan. Apa yang sudah diputuskan di pusat belum tentu diikuti oleh pemerintah daerah.
Pengamat: Arogansi pimpinan daerah
Fenomena tersebut, menurut sejumlah kalangangan properti, mencerminkan sikap arogansi pimpinan daerah yang tak ubahnya raja-raja kecil, karena merasa bukan diangkat oleh pusat, melainkan dipilih langsung oleh rakyat.
Itulah konsekuensi buruk sebuah desentralisasi dan demokrasi yang tak terkendali.
Sistem perizinan yang buruk hanya akan membawa Indonesia dicap sebagai negara yang tidak ramah terhadap investor.
Sistem perizinan yang buruk, rumit, dan berbelit akhirnya membuat Indonesia ‘dihukum’ oleh para investor. Dan hasilnya terefleksikan pada penurunan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) 2019 ke posisi 73, dibanding EoDB 2018 yang berada di urutan ke-72 dari 190 negara yang disurvei oleh Bank Dunia.
Dari 10 indikator yang dijadikan penilaian dalam penyusunan laporan EoDB tersebut, terbukti mengurus izin konstruksi di Indonesia sangat rumit. Itulah sebabnya, untuk indikator tentang izin konstruksi, peringkat Indonesia turun dari 108 ke posisi 112.
Kekuatan sektor properti
Padahal kita tahu, properti merupakan sektor yang sangat strategis. Sektor ini merupakan leading indicator ekonomi yang melibatkan setidaknya 174 industri terkait berikut turunannya, sehingga menyerap banyak tenaga kerja.
Kekuatan sektor properti juga tercermin pada kapitalisasi pasar dari 46 grup pengembang yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, yang tahun lalu menembus Rp280 triliun.
Belum lagi jika diperhitungkan dengan 4.500 pengembang anggota REI yang terdiri atas 1.000 perusahaan pengembang rumah nonsubsidi dan 3.500 anggota pengembang rumah bersubsidi.
Berkaca pada besarnya potensi industri properti itulah, maka sangat disayangkan banyak pemerintah daerah yang menghambat perizinan properti.
Tiga provinsi sudah oke
Sejauh ini, menurut pengakuan pengurus REI, baru ada tiga provinsi yang mempermudah perizinan, yakni DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selata. Padahal di lain sisi, pemerintah sedang menggenjot pembangunan sejuta rumah setiap tahun.
Proses panjang dan rumitnya perizinan menjadi salah satu penyebab utama target pembangunan sejuta rumah yang digulirkan pemerintah sejak 2015 itu tidak pernah tercapai. Padahal, setiap tahun kebutuhan hunian mencapai 800.000 unit. Itu belum termasuk limpahan kebutuhan rumah yang belum terpenuhi dari tahun-tahun sebelumnya (backlog) sekitar 12 juta rumah.
Pihak REI pun mengimbau pemerintah daerah untuk bersikap ramah terhadap investor. Jangan mempersulit animo penanam modal untuk berinvestasi di daerah, padahal itu bakal menjadi sumber pendapatan daerah yang potensial, di samping menyerap banyak tenaga kerja. Simplifikasi dan standardisasi proses perizinan di sektor properti harus menjadi agenda prioritas pemerintah daerah.
Jika masih ada Pemda yang membandel, Presiden harus segera menjewer pimpinannya, sesuai yang dia janjikan. Dalam konteks ini, para pengembang tidak perlu takut melaporkan kepada pemerintah pusat oknum-oknum pemda yang mempersulit perizinan, demi perbaikan iklim investasi secara menyeluruh.
Meikarta bantu atasi ‘backlog’ hunian
Nah, kehadiran kompleks hunian terintegrasi lagi modern dengan harga terjangkau, seperti Meikarta, yang dikembangkan di sekitar beragam mega-proyek infrastruktur nasional, menurut praktisi bisnis properti lainnya, Teddy Sanjaya, merupakan tawaran menarik bagi para konsumen.
“Sudah harganya terjangkau, dilengkapi fasilitas modern, di lokasi yang benar-benar terintegrasi, seperti ada sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, kawasan sport dan budaya, juga arena hijau central park seluas 100 Ha dengan danau, kebon binatang serta kebon raya mini di dalamnya,” ungkapnya kepada ‘SOLUSSInews’, Selasa (13/11/18).
Artinya, ini merupakan kompleks hunian ideal, sekaligus mendukung upaya pemerintah untuk mengatasi defisit atau backlog hunian rata-rata di atas sejuta per tahun.
“Kami melihatnya, Meikarta sesungguhnya merupakan sebuah model hunian yang modern, terintegrasi serta berada atau dikelilingi infrastruktur lengkap. Itu sebabnya, mengapa konsumen tetap memburunya hingga kini, kendati pun ada segelintir petinggi pengembang Meikarta sedang terjerat dugaan kasus suap bersama Bupati Bekasi dan sejumlah stafnya,” ungkapnya.
Disebutnya, terjeratnya beberapa petinggi pengembang Meikarta itu, bisa terjadi karena kemungkinan harus menghadapi ‘ribet’-nya proses perizinan di tingkat Pemda, baik Kabupaten, Kota hingga Provinsi.
“Situasi ini mestinya sudah bisa diakhiri, jika birokrasi di daerah bisa mengadopsi apa yang dilakukan Pemerintah Pusat, dalam upaya memangkas proses perizinan yang bisa memakan waktu hingga tiga tahun, karena mesti memproses 48 izin, baru bisa membangun kompleks hunian,” tandasnya.
Kendati begitu, menurutnya, kendari pengembang Meikarta lagi terbelit kasus hukum, namun publik melihat pada fakta di lapangan, di mana mega-proyek Meikarta jalan terus, karena didirikan di atas kawasan yang sudah resmi berizin (lebih 80 Ha).
“Memang ada sebagian besar lagi kawasan harus mendapat dukungan perizinan seperti Amdal, layak lalu lintas, dan lain sebagainya hingga IMB. Ya, sekitar 40-an izinlah. Mungkin di sanalah KPK mengendus adanya dugaan suap,” ujarnya lagi.
Tetapi, Teddy mengaku tidak mau berandai-andai, karena toh penyelidikan sudah sedang berlangsung, dan pihak pengembang Meikarta, yakni PT Mahkota Sentosa Utama (PT MSU) begitu kooperatif serta menghormat proses di KPK.
Yang pasti, menurut Teddy, ketika PT MSU mampu membuktikan komitmennya untuk menyerahterimakan unit-unit hunian sesuai waktu yang ditentukan, seperti 863 unit di kawasan CBD Meikarta pada 1 September 2018 lalu, itu merupakan faktor kunci, dimana konsumen tetap loyal dengan pengembangan Meikarta. Itu saja.
“Dan faktor pemicu lainnya, karena ketersediaan infrastruktur, yang memudahkan penghuni cepat tiba di lokasi pekerjaan. Apalagi ada fasilitas resor dan homestay yang modern, plus dikitari ratusan pabrik kaliber internasional sebagai salah satu potensi bisnis untuk digarap para penghuni lewat berbagai aksi bisnis (kuliner, ritel, dst). Asal tahu saja, sepuluh jutaan sepeda motor dan lebih sejuta mobil diproduksi di area kawasan industri di sekitar Meikarta, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, ini,” demikian Teddy Sanjaya. (B-MPI/CS/jr)