BENDERRAnews, 28/8/18 (Jakarta): Di tahun 2024, bangsa Indonesia akan menghadapi perhelatan Pemilihan Umum, Pilkada maupun Pileg serentak. Ketika itu, masyarakat Indonesia akan memilih sebanyak 34 gubernur, 504 bupati/wali kota, dan hampir 3.000 anggota DPRD provinsi serta sekitar 16.000 anggota DPRD kabupaten/kota.
Di saat bersamaan, rakyat juga akan memilih sebanyak 575 anggota DPR, dan 136 anggota DPD, serta pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Ketua Dewan Pakar DPP Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Theo L Sambuaga, menilai, dalam Pilkada serentak di beberapa daerah saja sudah banyak ditemui masalah. Bahkan, di Pilkada DKI sempat menimbulkan potensi perpecahan di tengah masyarakat.
Disebut Theo, di Pilkada serentak juga masih marak penggunaan isu SARA, politik uang, hingga banyaknya calon yang hanya mengandalkan popularitas semata. Kondisi tersebut terjadi karena belum siapnya kemampuan masyarakat dalam menerima demokrasi secara substansial.
“Barangkali ke depan kita perlu tinjau apakah pemilihan langsung hanya sampai di pemilihan presiden dan gubernur saja. Untuk Kepala Daerah (kabupaten/kota) cukup dipilih DPRD,” kata Theo L Sambuaga, dalam Diskusi Dewan Pakar DPP PA GMNI bertema “Sistim Pemilihan Langsung; Peluang dan Tantangan” di Jakarta, Rabu (29/8/18).
Tidak diatur secara langsung
Pilkada serentak yang juga ikut memilih secara langsung bupati hingga walikota sesungguhnya tidak diatur secara langsung dalam Undang-undang (UU). Dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 45 hanya menyebutkan kepala daerah dipilih secara demokratis.
“Karena itu, cukup terbuka untuk perubahan. Di dalam Pasal 18 tidak disebutkan apakah dilaksanakan pemilihan langsung ataupun tidak langsung, hanya menyebutkan dipilih secara demokratis,” ujar Theo seperti dilansir Suara Pembaruan dan ditayang ‘BeritaSatu.com’.
Namun demikian, harapan tersebut merupakan harapan pekerjaan rumah jangka panjang yang wajib dijadikan pertimbangan seluruh elemen masyarakat.
Mengingat, pelaksanaan pemilihan umum serentak 2024 jika benar-benar dilaksanakan secara serentak, maka cukup mengkhawatirkan karena ketidaksiapan masyarakat.
Theo menambahkan, pihaknya menitipkan harapan tersebut kepada calon anggota legislatif (Caleg) yang akan ikut bertarung di Pileg 2019. Caleg terpilih diharapkan bisa mengkaji berbagai alasan kekhawatiran GMNI terkait pelaksanaan Pemilu serentak 2024.
“Kedepan titipan kita kepada teman-teman calon legislatif terkait pemilihan langsung. Yang dipilih secara langsung sebaiknya hanya presiden dan gubernur saja,” ujar Theo Sambuaga yang juga Ketua Dewan Penasihat DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP).
Kekhawatiran ketidakcukupan kapasitas negara
Dalam Pilkada serentak 2024, masyarakat Indonesia akan memilih sebanyak 34 gubernur, 504 bupati/wali kota. Di saat yang bersamaan, juga ada pemilihan hampir 3.000 anggota DPRD provinsi serta sekitar 16.000 anggota DPRD kabupaten/kota.
Belum lagi rakyat juga akan memilih sebanyak 575 anggota DPR, dan 136 anggota DPD, serta pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden.
“Pada 2024 yang akan datang akan terjadi Pemilu terbesar di dunia. Ada pemilu kabupaten kota, provinsi, DPD, 34 gubernur, ribuan DPRD kota, pemilihan DPR, presiden dan wakil presiden,” kata Ahmad Basarah, dalam Diskusi Dewan Pakar DPP PA GMNI ini.
Dalam situasi tersebut, tentunya harus mendapatkan perhatian semua pihak. Apalagi saat ini muncul kekhawatiran ketidakcukupan kapasitas negara dalam mengendalikan ekses (peristiwa yang melebihi batas) yang mungkin terjadi di Pemilu 2024.
“Situasi tersebut menjadi perhatian saat ini jika ternyata kapasitas negara tidak cukup mengendalikan ekses yang terjadi. Pilkada 2017 dan 2018 saja cukup menimbulkan ekses bagi politik nasional. Tapi masih ada waktu sampai 2024 untuk mengevaluasi,” ujarnya.
Tinggalkan banyak masalah
Sementara itu, pengamat politik, Karyono Wibowo, menilai, pelaksaan Pilkada langsung sudah meninggalkan banyak persoalan bagi bangsa Indonesia. Selama penerapan Pilkada langsung, marak terjadi mahar politik, politik uang, penggunaan dana hibah, dan lain-lain.
“Belum lagi, terjadi suap terhadap penyelenggara pemilu. Dampaknya, meningkatkan korupsi kepala daerah dan birokrasi kepala daerah. Ada beberapa calon kepala daerah yang menerima suap dan korupsi,” kata Karyono dalam Diskusi Dewan Pakar DPP PA GMNI tersebut.
Disebutnya, kalau bicara pemilihan langsung, tentu harus merujuk pada sistem konstitusi Indonesia. Dasar hukum pilkada merujuk pada UUD 45, pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan gubernur, bupati walikota dipilih secara demokratis.
“Padahal, pasal itu juga tidak menyebutkan langsung atau tidak langsung. Ini persoalan tafsir. Pemilihan kepala daerah turunan aturannya adalah UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU itu menjadi tonggak pemilihan kepala daerah secara langsung. Pelaksanaanya dimulai tahun 2005. Celakanya, dalam UU kita selalu berubah-ubah. UU Nomor 32 tahun 2004 saja mengalami dua kali perubahan. Disinilah pilkada memiliki UU sendiri,” ujarnya.
Bukti pelaksanaan Pilkada langsung meninggalkan banyak persoalan ialah manakala banyaknya jumlah aduan yang masuk pascapenyelenggaran Pilkada. Dalam Pilkada serentak 2018, sampai Juli 2018 saja jumlahnya mencapai sekitar 400 pengaduan.
“Kalau kita lihat lagi laporan yang masuk, 3.133 laporan dugaan pelanggaran selama tahapan Pilkada serentak 2018. Tren korupsi juga semakin meningkat karena pilkada langsung. Namun, kondisi ini masih perlu dibuktikan. Menurut saya ada korelasi yang sangat kuat antara tingginya biaya Pilkada dengan korupsi,” demikian Karyono Wibowo. (B-SP/BS/jr)