BENDERRAnews, 21/8/18 (Jakarta): Doa dan rasa simpati sekaligus langkah-langkah konkret penanganan para korban serta pengungsi gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, seyogianya lebih diutamakan saat ini.
“Jangan bebani saudara-saudara kita yang tengah menderita dengan komentar-komentar kurang positif untuk menyemangati para korban dengan aneka isu tak berdasar, belum terklarifikasi, apalagi hanya atas opini sendiri, tidak dikonfirmasi oleh pihak berkompeten,” demikian pernyataan pers DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), di Jakarta, Selasa (21/8/18).
Mempersoalkan status bencana, menurut GPPMP, memang boleh-boleh saja, tetapi jangan mengendurkan upaya penanganan maksimal yang kini sesungguhnya sudah dilakukan dalam skala nasional. Bukan lagi skala daerah.
Karena itu, DPP GPPMP melalui Sekjen-nya, Teddy Matheos bersama Wasekjen Bidang Aksi Sosial dan Pemberdayaan kelompok Marginal, Vera Sanger berharap, semangat juang para relawan, termasuk para patriot pejuang TNI/Polri bersama Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, yang mengekspresikan semangat gotong royong, jangan dimatikan oleh ‘kepentingan-kepentingan sesaat’ para avonturir politik pengejar serta haus kekuasaan.
“Janganlah memanfaatkan situasi apa pun untuk kepentingan individu serta kelompok politik tertentu,” tandas Teddy yang bersama Vera serta Ketua Bidang Aksi Sasial dan Pemberdayaan Kelompok Marginal DPP GPPMP, Kitty Lengkong, kini tengah memobilisasi dana, daya, maupun sumberdaya untuk dihadirkan di lokasi para korban bencana gempa Lombok, melalui DPD GPPMP Nusa Tenggara Barat (NTB).
Selain secara organisasi, demikian Teddy, beberapa relawan yang merupakan fungsionaris DPP GPPMP maupun dari beberapa DPD GPPMP se-Indonesia sudah terjun ke lapangan, membawa tenda serta berbagai kebutuhan mendesak untuk para korban, di antaranya dipimpin Juan Effendi Tujuwale, Wakil Bendahara Umum DPP GPPMP.
Penanganan skala nasional
Sementara itu, pihak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menjelaskan, tanpa perlu dinyatakan sebagai bencana nasional, penanganan terhadap gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), skalanya sudah nasional.
Melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (20/8/18), Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Pemerintah Pusat terus mendampingi dan memperkuat pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
“Perkuatan itu adalah bantuan anggaran, pengerahan personel, bantuan logistik dan peralatan, manajerial dan tertib administrasi,” ujarnya, seperti dilansir ANTARA.
Sutopo menjelaskan, wewenang penetapan status bencana ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008, yang menyatakan, penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana.
Untuk tingkat nasional ditetapkan oleh presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota oleh bupati/wali kota.
Lima variabel utama
Sutopo menambahkan, penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah didasarkan pada lima variabel utama, yakni jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Namun indikator itu saja tidak cukup, karena ada hal yang mendasar indikator yang sulit diukur. Yaitu, kondisi keberadaan dan keberfungsian pemerintah daerah apakah collapse atau tidak.
“Kepala daerah beserta jajaran di bawahnya masih ada dan dapat menjalankan pemerintahan atau tidak,” katanya.
Pemerintah berkaca pada tsunami Aceh 2004 yang ditetapkan sebagai bencana nasional karena pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota termasuk unsur pusat di Aceh seperti Kodam dan Polda collaps atau tak berdaya.
Pengalaman bencana Aceh
Risikonya, lanjutnya, semua tugas pemerintah daerah diambil alih pusat termasuk pemerintahan umum. Bukan hanya bencana saja.
“Dengan adanya status bencana nasional maka terbukanya pintu seluas-luasnya bantuan internasional oleh negara-negara lain dan masyarakat internasional membantu penanganan kemanusiaan. Ini adalah konsekuensi Konvensi Geneva. Seringkali timbul permasalahan baru terkait bantuan internasional ini karena menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan,” ujar Sutopo.
Jadi, katanya, ada konsekuensi jika menetapkan status bencana nasional.
Sejak tsunami Aceh 2004 hingga saat ini belum ada bencana yang terjadi di Indonesia dinyatakan bencana nasional.
“Bangsa Indonesia banyak belajar dari pengalaman penanganan tsunami Aceh 2004. Yang utama adalah penanganan terhadap dampak korban bencana. Potensi nasional masih mampu mengatasi penanganan darurat bahkan sampai rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana nanti,” katanya.
Dana Rp4 T dan Inpres
Karena itu, lanjut Sutopo, tanpa ada status bencana nasional pun penanganan bencana saat ini skalanya sudah nasional.
“Dana cadangan penanggulangan bencana sebesar Rp4 triliun yang ada di Kementerian Keuangan dengan pengguna oleh BNPB siap dikucurkan sesuai kebutuhan. Jika kurang Pemerintah siap akan menambahkan dengan dibahas bersama DPR RI. Kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa Lombok diperkirakan lebih dari Rp7 triliun juga akan dianggarkan oleh pemerintah pusat,” katanya.
Bahkan, presiden akan mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Percepatan Penanganan Dampak Gempa Lombok. Pemerintah pusat total memberikan dukungan penuh bantuan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan kota serta tentu saja yang paling penting kepada masyarakat.
“Pesiden terus memantau perkembangan penanganan gempa Lombok. Bahkan presiden telah hadir ke Lombok dan memberikan arahan penanganan bencana. Jadi, tidak usah berpolemik soal status bencana nasional,” demikian Sutopo Purwo Nugroho. (B-AN/BS/jr)