BENDERRAnews, 12/2/18 (Jakarta): Berdasarkan galian informasi yang mulai dilakukan dan terus berproses, pihak Mabes Polri mulai memperoleh latar pelaku penyerangan pada misa di Gereja “Santa Lidwina” di Dukuh Jambon Trihanggo, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (11/2/18).
Pelaku bernama Suliyono dan kini masih menjalani perawatan setelah ditembak polisi. Dia lahir pada 16 Maret 1995, berstatus pelajar/mahasiswa dengan alamat Krajan RT 02/RW 01 Kandangan, Pesanggaran, Banyuwangi, Jatim.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, membeberkan, Suliyono pernah di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), lalu ke Magelang, Jawa Tengah. Di sanalah pelaku diduga terpapar paham radikal yang mengedepankan kekerasan.
Berdasarkan data yang diterima redaksi, Suliyono merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Mistaji dan Susiah.
Suliyono pernah belajar di Ponpes Ibnu Sina Banyuwangi. Sesudah lulus, dia pindah ke SMA di Palu, Sulteng. Lalu, dia melanjutkan kuliah dan juga belajar di Ponpes Sirojul Mukhlasin dan Ummahatul Mukminin, Magelang.
“Beberapa hari lalu kita menangkap seorang terduga teroris di Poso yang terlibat pelemparan molotov di Banyuwangi. Kita sedang gali kaitan jaringan Banyuwangi ini,” kata sumber di Mabes Polri Senin (12/2/18) ini.
Polri juga mencari kaitan Suliyono dengan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, Santoso, yang tewas pada September 2016 di Poso. Santoso yang berasal Bima diketahui pernah berada di Pesanggaran, Banyuwangi.
Respons warga Yogya
Sementara itu,berbagai elemen masyarakat di DI Yogyakarta merespons insiden Gereja Santo Lidwina, Trihanggo, Sleman, Yogyakarta yang terjadi pada Minggu (11/2/18) pagi dengan mendesak Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hemengku Buwono X untuk bertindak dan membubarkan organisasi massa (Ormas) anti toleransi.
Dipimpin langsung oleh Anggota Komisi X DPR Esti Wijayati, ratusan orang yang berasal dari 32 elemen organisasi, termasuk mahasiswa meminta Sri Sultan agar segera melakukan tindakan yang berarti, mengayomi masyarakat dan memindak tegas pelaku intoleransi.
Dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Mukhtasar Syamsuddin yang membacakan tuntutan menyatakan, mengingat Yogyakarta memiliki slogan City of Toleransi, sehingga Sultan secepatnya harus membubarkan ormas-ormas sudah meresahkan masyarakat dan turun-langsung mengatasi masalah intoleransi.
“Kami menolak tindakan yang akan menggantikan slogan Yogya sebagai City of Toleran, dan meminta Sultan untuk mengayomi segenap masyarakat dan menjamin kebebasan beragama di DIY,” ujarnya, Minggu (11/2/18) malam.
Esti Wijayanti juga meminta kepada pemimpin di negeri ini agar memerhatikan kasus serupa. Menurutnya sudah bukan saatnya lagi, radikalisme dan intoleransi diberi ruang hingga menimbulkan korban. “Kita siap melawan,” tegasnya, seperti dilansir ‘Suara Pembaruan’.
Pernyataan Din Syamsuddin
Pihak keamanan diminta untuk mengusut tuntas sejumlah kasus kekerasan terhadap pemuka agama. Disinyalir terdapat kelompok tertentu yang diduga sengaja mengganggu kerukunan dan stabilitas keamanan.
Demikian disampaikan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban, Din Syamsuddin di sela-sela World Interfaith Harmony Week 2018, Jakarta, Minggu (11/2/18).
“Saya punya kesimpulan ini bukan peristiwa biasa, ini mudah dibaca bahwa ada yang bermain. Saya tidak punya bukti. Harapan kita agar aparat keamanan betul-betul bisa menyingkap ini semua. Jangan sampai ini menjadi sumber perpecahan,” kata Din.
Mantan Ketua Umum (ketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut mengaku prihatin atas penyerangan oleh sekelompok orang di Gereja St Lidwina, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“Saya menyampaikan rasa keprihatinan mendalam kepada keluarga korban baik pemimpin jemaat maupun sebagian jemaat dari gereja di Sleman,” ujarnya.
World Interfaith Harmony Week 2018
Indonesia turut merayakan World Interfaith Harmony Week 2018. Acara puncak peringatan bertajuk “Rukun dan Bersatu, Kita Satu” dihadiri sejumlah tokoh lintas agama.
“Hari ini merupakan puncak acara, maksudnya kita disini dapat duduk dan berpegangan bersama, walaupun kita berbeda namun kita tetap satu adanya,” ungkap Din.
World Interfaith Harmony Week merupakan resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk kerukuan umat beragama di seluruh dunia. World Interfaith Harmony Week menjadi usulan Raja Abdullah II dan Pangeran Ghazi bin Muhammad dari Yordania pada 2010.
Prosesi pemotongan tumpeng menandai Indonesia sejak 2010, merayakan World Interfaith Harmony Week. Din menyerahkan potongan tumpeng pertama kepada Duta Besar Kerajaan Yordania untuk Indonesia. “Kita menyakini dengan kerukunan, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yag majemuk ini bisa bersama-sama untuk kemajuan bangsa,” ujar Din.
Sementara itu, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Dr Henriette Tabita Hutabarat Lebang, STh, berharap agar World Interfaith Harmony Week 2018 menjadi momentum merayakan kemajemukan. “Ini sebuah kesempatan kita merayakan kemajemukan. Mari kita rawat bersama,” kata Pendeta Henriette Lebang, seperti diberitakan ‘Suara Pembaruan’. (B-SP/BS/jr)