BENDERRAnews, 12/9/17 (Jakarta): Jajaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memproyeksikan Indonesia akan menjadi penghasil listrik dari tenaga panas bumi terbesar di dunia pada tahun 2021 mendatang.
Disebutkan, proyeksi ini didapat melihat pertumbuhan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) yang terus mengalami kemajuan pesat dari tahun ke tahun.
“Berdasarkan hasil analisa kami kapasitas PLTP Indonesia akan mengalahkan produsen tenaga listrik panas bumi terbesar dunia, Amerika Serikat dan Filipina di tahun 2021,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana dalam informasi resminya yang diterima Antara di Jakarta, Selasa (12/9/17) dan dicuplik ‘BeritaSatu.com’.
Ia menjelaskan, pada tahun 2018 Indonesia akan melampaui Filipina untuk menjadi negara pengguna energi panas bumi terbesar kedua di dunia dengan menghasilkan listrik panas bumi sebesar 2.023,5 MW melalui penambahan kapasitasi dari PLTP Sarulla (2 x 110 MW), PLTP Karaha (30 MW), PLTP Sorik Marapi (2 x 20 MW), dan PLTP Lumut Balai (55 MW).
Selanjutnya, berdasar roadmap yang disusun, Indonesia akan menjadi negara penghasil energi panas bumi terbesar di dunia mengalahkan Amerika Serikat pada tahun 2021, dengan kapasitas listrik panas bumi mencapai 3.559,5 MW.
Capaian ini mengingat perkembangan panas bumi di Filipina telah mendekati cadangan yang ada dan perkembangan panas bumi di Amerika Serikat tidak ada peningkatan signifikan, karena tidak adanya insentif pengembangan panas bumi di sana.
Cadangan belum dioptimalkan
Dadan mengakui, saat ini, pemanfaatan panas bumi untuk keperluan pembangkitan listrik baru 1.698,5 MW atau sekitar 10 persen dari cadangan yang ada. Padahal, sebanyak 331 titik lokasi potensi panas bumi yang telah menyebar di wilayah Indonesia sangat strategis untuk investasi dan memenuhi kebutuhan energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
“Kami punya cadangan panas bumi sebesar 17.506 MW dan sumber daya sebesar 11.073 MW tapi belum dioptimalkan. Ini jadi peluang bagi para investor sekaligus memenuhi kebutuhan energi nasional,” ungkap Dadan.
Lebih lanjut Dadan menjelaskan, Pemerintah terus memberikan kemudah para investor panas bumi melalui pemberian insentif fiskal dan nonfiskal. Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan regulasi khusus mengenai panas bumi yaitu Undang-Undang No 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung serta peraturan-peraturan teknis lainnya.
“Dua regulasi tersebut mengubah mindset lama bahwa pengembangan panas bumi bisa dilakukan di kawasan hutan konservasi karena tidak lagi dikategorikan sebagai usaha pertambangan,” tutur Dadan.
Terbaru, Pemerintah juga menerbitkan Permen ESDM No 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Poin penting dari beleid tersebut adalah penyempurnaan terkait Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
“Untuk wilayah Timur, apabila BPP setempat lebih besar dari BPP Nasional maka harga listrik panas bumi merupakan 100 persen BPP setempat sehingga harga listrik panas bumi cukup menarik dan ekonomis untuk dikembangkan,” kata Dadan.
Sedangkan untuk wilayah barat, apabila BPP Setempat lebih rendah dari BPP Nasional maka harga listrik panas bumi ditentukan dengan mekanisme negosiasi secara Business-to-Business antara Badan Usaha dan PLN yang tentunya dilaksanakan secara open book yang akuntabel untuk mengukur harga listrik yang sebenarnya berdasarkan cost structure sebuah proyek. (B-AN/BS/jr)