BENDERRnews, 11/8/17 (Jakarta): Agaknya, pihak Mahkamah Konstitusi sulit mengabulkan permohonan uji materi presidential threshold alias Pres-T. Pasalnya, MK sudah memutuskan ketentuan threshold dalam tiga putusannya.
“Berdasarkan putusan MK, norma PT merupakan open legal policy.MK tidak mungkin membatalkan norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policyoleh pembentuk UU,” ujar Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Fajar L Suroso di Jakarta, Jumat (11/8/17).
Dia mengungkapkan, dari 30 putusan yang mengandung open legal policy, setidaknya ada tiga putusan yang terkait ketentuan threshold, baik dalam pilkada, pemilu legislatif, maupun pilpres. Tiga putusan tersebut adalah Putusan Nomor 10/PUU-III/2005, Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009, dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
“Ada beberapa poin yang bisa ditemukan dalam tiga putusan tersebut, yakni penentuan threshold merupakan pilihan kebijakan atau legal policy, tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar oleh ketentuan threshold, lalu threshold bukan hal yang melampaui kewenangan pembuat UU dan menentukan threshold bukanlah penyalahgunaan kewenangan,” paparnya seperti diberitakan ‘Suara Pembaruan’.
Dalam UUD 1945, kata Fajar, yang diatur terkait pemilu hanyalah ketentuan mengenai pemilu dilakukan secara periodik setiap lima tahun sekali, dianutnya asas Luber, tujuan Pemilu, siapa peserta Pemilu, dan siapa penyelenggara Pemilu. Sementara ketentuan lain di luar itu, termasuk soal threshold merupakan hal yang didelegasikan oleh UUD 1945 kepada pembentuk UU.
“Pembentuk UU bisa mengaturnya dalam UU secara bebas sebagai legal policy. Termasuk mengenai besarnya angka ambang batas, pembentuk UU boleh menentukan pilihannya,” kata dia.
Fajar juga mengangkat bagaimana Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 mengenai uji materi UU 42/2008 tentang Pilpres. Dalam putusan tersebut, norma PT didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menentukan, ”Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”.
Selain Pasal 6A ayat (5), disebutkan dalam Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang menentukan, ”Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”.
“Jadi, menurut MK, threshold sebagai bagian dari tata cara Pemilihan Presiden/Wakil Presiden adalah sah dan konstitusional,” tandasnya lagi.
Kejelian pemohon
Ia melanjutkan, meskipun sulit, MK masih bisa memutuskan yang berbeda dari putusan sebelumnya. Hal ini tergantung kejelian pemohon dalam merumuskan logika dan argumentasi hukum dalam permohonan.
“Meski tidak mustahil, namun agak berat mengharapkan MK membalik arah argumentasinya dari putusan sebelumnya. Tidak mustahil, sebab pembalikan arah argumentasi hukum putusan telah dipraktikkan MK dalam beberapa putusan,” tutur dia.
Fajar kemudian mengusulkan bagi pemohon yakni membuat uraian logika hukum yang meyakinkan bahwa PT dalam UU Pemilu mengandung unsur pelanggaran kriteria open legal policy yang ditentukan MK sendiri, sehingga norma tersebut akan dinyatakan inkonstitusional.
“Pemohon harus bisa menguraikan bahwa PT tersebut tidak memenuhi syarat-syarat konstitusionalitas norma open legal policy.Jika salah satu syarat konstitusionalitas dilanggar, maka norma PT kehilangan syarat sebagai open legal policy,” ungkap Fajar Suroso. (B-SP/BS/jr)