BENDERRAnews.com, 23/4/20 (Salatiga): Kabar duka cita melingkupi dunia akademisi. Guru Besar di Universitas Melbourne, Australia, Arief Budiman tutup usia pada Kamis, 23 April 2020. Kabar duka ini disampaikan oleh Akademisi dan Sosiolog, Ariel Heryanto. Sepanjang hidupnya Arief juga dikenal sebagai aktivis.
“Selamat jalan, kawan lama dan rekan sejawat, Arief Budiman, Terima kasih atas apa yang telah engkau sumbangkan ke Indonesia,” kata Ariel lewat akun Twitternya pada Kamis, (23/4/20).
Selain itu, peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan, pria yang memiliki nama asli Soe Hok Djin meninggal di rumah sakit dekat Salatiga, Jawa Tengah. Arief memang mengidap penyakit Parkinson, dan wafat di usia 81 tahun.
“Arief cendekiawan publik, dulu mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana dan Universitas Melbourne,” kata Andreas lewat akun Twitternya.
Mogok mengajar
Dalam dunia pendidikan, diketahui dirinya berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1968.
Sesudah lulus, ia berangkat ke Paris hingga Amerika untuk menuntut ilmu dan meraih gelar PhD dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard pada 1980.
Kembali dari Harvard, Arief mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) di Salatiga sejak 1985 sampai 1995.
Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief melakukan mogok mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia, serta menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne.
Mencetuskan Golput
Selain akademisi, ia juga dikenal sebagai seorang aktivis demonstran yang vokal bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie.
Sejak masa mahasiswa, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia. Karena, ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963. Yaknu menentang aktivitas Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian diperparah dengan praktik-praktik korupsinya.
Pada Pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih. Ini sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan demokratis.
Sesudah rezim Sukarno runtuh, ia bersama Hok Gie, juga masih ikut mengkritik Orde Baru dan teman-teman seperjuangan mereka, yang pada akhirnya mendapat kursi di parlemen. Sikap kritis dan berani yang dimilik Hok Djin dan Hok Gie, tentu mencerminkan betapa kaum intelektual muda pada masanya begitu diperhitungkan. (B-BS/jr)