Oleh Derek Manangka**)
BENDERRA, 23/5/17 (Jakarta): “Mas, tunggu saya di situ. Jangan kemana-mana. Nanti saya jemput”, begitu kata Taufiq Kiemas di sambungan telepon internasional saat berbicara dengan Prabowo Subianto.
Taufiq menghubungi Prabowo, mantan Danjen Kopassus yang saat itu tengah berada di Jenewa, Swiss.
Di negara itu, Prabowo tengah mengalami kesulitan. Dia seorang “stateless”, tidak bisa kemana-mana, termasuk keluar dari Swiss, berhubung masa berlaku paspornya, sudah habis. Dia ingin kembali ke Indonesia.
Dengan pesawat jet khusus yang dicarter, Taufiq menjemput Prabowo dan membawanya pulang ke tanah air, lewat Singapura.
Di negara tetangga tersebut, Prabowo dibantu oleh Taufiq agar KBRI Singapura mengeluarkan paspor baru bagi bekas menantu Presiden Soeharto ini.
Taufiq bisa menolong, menyelamatkan Prabowo menggunakan diskresinya sebagai politisi senior.
Kebetulan, saat itu dia juga sebagai suami Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden RI (1999 – 2001).
Kisah ini diceritakan kembali oleh Santayana Kiemas, adik kandung almarhum Taufiq Kiemas kepada saya baru-baru ini.
Saya lupa tanya ke Bang Yana (Santayana), apakah saat di Swiss, Prabowo baru saja keluar dari Yordania.
Sebab pasca-Kerusuhan Mei 1998, Prabowo mengasingkan diri ke Yordania.
Konon, Raja Abdullah, Kepala Negara Yordania merupakan sahabat dekat Prabowo saat mereka sama-sama bersekolah di Ingeris, beberapa tahun silam.
Prabowo sendiri dalam ‘tweet’-nya mengakui jasa baik Raja Yordania.
“Bicara dengan Raja Yordania, mungkin sebagian dari sahabat tahu, saya tidak akan pernah lupa akan kebaikan beliau. Pada pertengahan tahun 1998, saya dituduh macam-macam. Karenanya saya memilih untuk mengasingkan diri ke Yordania”
“Kala itu kalau ada kucing peliharaan yang hilang di ibukota – mungkin saya Prabowo Subianto yang dituduh mengambil. Lebih baik saya pergi”, demikian kultwit Prabowo beberapa tahun silam.
Twit tersebut bisa dicari melalui mesin google, dengan mengetik Prabowo subianto mengasingkan diri…”.
Santayana dan saya terkenang akan kejadian lebih dari 10 tahun lalu tersebut, sebab sekitar dua minggu lagi dari sekarang, keluarga akan memperingati hari meninggalnya Taufiq Kiemas yang masuk ke tahun ke-empat.
Di saat yang bersamaan, Prabowo Subianto telah tampil kembali sebagai politsi papan atas, setara Taufiq Kiemas.
Berawal dari sebuah pertemuan yang tidak disengaja. Santayana bertamu ke rumah sahabatnya, Yakob Nursalim.
Di sana ada tamu lainnya, Mayjen (purn) Muchdi PR, sahabat Prabowo di Kopassus. Diceritakan bahwa Prabowo di luar negeri, sedang mengalami kesulitan. Yang bisa mengatasi kesulitan itu hanya RI-1 (Presiden Abdurrahman Wahid – Gus Dur) atau RI-2, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Mendengar cerita itu, Santayana menyela, kalau hanya untuk memperpanjang sebuah paspor yang sudah tidak berlaku, cukup dengan Taufiq Kiemas.
“Biar abang saya aja yang mengurusnya”, kata Santayana.
Yana, demikian panggilan akrabnya lalu menghubungi Taufiq Kiemas per telpon. Sesudah paham, Yana diminta datang ke kediaman di Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat.
“Reaksi Bang TK, spontan. Dia langsung telpon Prabowo”, ujar Santayana.
Bagi Yana, kisah kedekatan Taufiq Kiemas dan Prabowo bukan sesuatu yang aneh atau istimewa. Sebab keluarga Kiemas dan keluarga Prabowo, memiliki hubungan kekerabatan yang sudah berlangsungg lama.
Pamannya Taufiq dan Santayana dari sebelah ibu, bersahabat baik dengan dua orang pak de-nya Prabowo. Keduanya bernama Prabowo dan Subianto.
Prabowo dan Subianto sama-sama masuk akademi militer di zaman perjuangan. Di akademi itu mereka bertemu dengan pamannya Taufiq dan Yana.
Tapi karena sesuatu insiden, pamannya Taufiq dan Yana, bersama pamannya pendiri Partai Gerindra itu, dibunuh atau terbunuh di zaman penjajahan tersebut.
Nama kedua paman itulah yang kemudian diberikan oleh Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, bagi puteranya : Prabowo Subianto.
“Begitu!”, jelas Santayana.
Persahabatan Prabowo dan Taufiq, tidak berhenti di situ. Ketika sudah terjadi perceraian antara Prabowo dengan Titiek Soeharto, adalah Taufiq pula yang mengatur pertemuan mereka.
Ketika Taufiq masuk rumah sakit, di saat itulah dia minta Prabowo dan Titiek membesuknya. Seolah bertemu di rumah sakit secara kebetulan.
Sehingga kedua bekas pasangan suami isteri itu bisa saling bertemu, misalnya membahas soal anak tunggal mereka, Didiet.
Kenangan atas almahum Taufiq Kiemas antara lain muncul, sebab yang kami rasakan, situasi politik di tanah air yang sedang memanas saat ini, tak ada sosok negarawan yang mempedulikannya.
Tak da yang terpanggil misalnya menggalang sebuah pertemuan dan komunikasi antara pemangku kepentingan.
Kami sama-sama teringat pada Bang TK yang meninggal 8 Juni 2013 di Singapura.
Meninggalnya pun, sekalipun merupakan kuasa TUHAN, tetapi mendahului kematian tersebut, Bang TK sebetulnya sedang berjuang dalam mempersatukan bangsa melalui Empat Pilar Bangsa (Panca Sila).
Awal Juni 2013, Bang TK bersama Wapres Boediono terbang ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Ende adalah tempat dibuangnya Ir Sukarno, Bapak Panca Sila sekaligus Proklamator dan Presiden Pertama RI.
Di Ende, penyakit jantung Ketua MPR itu kambuh. Dia kemudian diterbangkan langsung ke Singapura. Setelah berbagai usaha pertolongan dari dokter ahli jantung, selama beberapa hari, gagal, nyawanyapun tak tertolong.
Karena kejadian itu, banyak kerabat di Indonesia yang tidak sempat melihat hari-hari terakhir Bang TK.
Sekitar tiga minggu lagi dari sekarang, peringatan meninggalnya yang ke empat tahun, akan tiba.
Menjelang hari itu, tiba -tiba saja wajah dan senyum serta caranya tertawa yang begitu lepas, muncul dalam kerinduan kami.
Terutama karena ulang tahun kepergiannya kali ini, tidak lagi diselenggarakan oleh keluarga.
Bang Yana sepakat, andaikata Taufiq Kiemas, masih hidup, situasi politik di tanah air saat ini, tidak akan begini kompleks.
“Kalau Bang TK ada, dia pasti sudah lakukan komunikasi, dialog dengan semua pihak yang dia anggap penting”, Santayana berandai-andai.
Bukannya mau mengkultus individukan, tapi saya dan Bang Yana percaya, jika politisi setara Bang TK ada di bumi pertiwi ini, semua ekses yang ditimbulkan oleh Ahok dan Riziek Shihab tak akan terjadi.
Dalam hal menjaga kebhinekaan, Taufiq Kiemas mungkin hanya bisa disaingi oleh Gus Dur.
Tapi apa boleh buat, TUHAN ALLAH menentukan lain. Indonesia harus seperti saat ini, penuh dengan politisi dan provokator yang terus merusak tenun Kebangsaan. ***
*) Disadur dari CATATAN TENGAH, Rabu 17 Mei 2017
**) Penulis adalah Jurnalis Senior, yang mengawali kiprah jurnalistiknya di media kampus, lalu jadi reporter Majalah Selecta, Tabloid Mutiara, Sinar Harapan lalu menerbitkan sekaligus jadi Redaktur Eksekutif Priotitas (bersama Surya Paloh, Panda Nababan dkk) dan Media Indonesia, Pemimpin Redaksi Koridor.com (‘media online’ politik pertama di Indonesia), Pemred RCTI yang membidani lahirnya Koran Sindo.