BENDERRAnews, 24/3/18 (Jakarta): Sebagai negara kepulauan dan negeri bahari terbesar di dunia, Indonesia memiliki aneka kekayaan alam (sebagaian besar belum terungkap) di wilayah perairan dalam maupun luar Nusantara.
Karena itu, DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) mengingatkan, agar aneka aset anugerah Sang Khalik itu jangan sembarang diobral ke pihak asing.
“Boleh-boleh saja ada riset bersama dengan pihak asing, terutama untuk menguak tabir keragaman biota laut di beberapa laut dalam, baik di wilayah perairan Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Kepulauan Riau, hingga Selatan Jawa, tetapi jangan sampai kita mengobral sembarangan. Data dan faktanya harus tetap kita kuasai,” tandas pakar biota dan teknologi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) dan merupakan jebolan sebuah perguruan tinggi di Kanada, Dr Ir W Donald R Pokatong, MSc, PhD, yang juga salah satu Ketua DPP GPPMP, membidangi Hubungan Antar Lembaga dan Aksi Lintas Bidang (HAL & ALB), di Jakarta, Sabtu (23/3/18) kemarin.
Hal senada dinyatakan Ketua DPP GPPMP Bidang Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri (HKLN), Dr dokter Roy GA Massie, MPH, PhD, yang merupakan alumni Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dan jebolan perguruan tinggi di Inggris serta Amerika Serikat, dengan mengingatkan, “fakta membuktikan, banyak data kelautan dan pertambangan bawah laut kita dikuasai asing”.
Keduanya mengatakan itu secara terpisah kepada Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’, merespons “ekspedisi laut dalam” Indonesia melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama pihak Singapura di Selatan Jawa, untuk mengungkap potensi kekayaan biodiversitas laut dalam yang belum ada datanya hingga kini.
Kolaborasi riset
Baik Dr Donald maupun Dr Roy, setuju dengan adanya kolaborasi riset dengan lembaga-lembaga kredibel di luar negeri. Namun, banyak fakta menunjukkan, data yang diperoleh serta aset milik Indonesia hasil riset atau ekspedisi bersama, sering lebih banyak ‘dikuasai’ kalangan eksternal, karena mereka menindaklanjutinya dengan riset lanjutan.
“Khusus di bidang kelautan, kita melalui LIPI dan Kementerian Riset dan Teknologi seyogianya berani berkorban untuk memperbanyak riset, didukung oleh adanya alat-alat riset canggih, termasuk kapal-kapal ekspedisi, termasuk kapal selam riset, agar bisa meninggalkan ketergantungan kepada pihak asing, apalagi Singapura. Sudah terbukti, Singapura menyimpan banyak tentang isi ‘laut kita’, dan ini sudah diketahui pihak intelijen kita sejak beberapa dekade silam,” ungkap keduanya.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 31 orang yang terdiri dari peneliti dan teknisi menggelar ekspedisi tersebut mulai 23 Maret ini hingga 5 April 2018 di laut Jawa bagian selatan. Ekspedisi laut dalam pertama ini juga menandai 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Singapura.
Pelaksana tugas Kepala LIPI Bambang Subiyanto mengatakan, kolaborasi riset ini diharapkan tidak hanya menghasilkan temuan baru tetapi juga bisa mengembangkan riset kemaritiman yang bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
“Saat ini belum ada data laut dalam di Jawa. Dengan riset ini akan ada join kepemilikan data. Analisa data dan memanfaatannya akan dilakukan pula,” katanya dalam Kick Off South Java Deep Sea Expedition 2018 di Jakarta, Jumat (23/3/18) kemarin.
Dalam acara tersebut hadir pula Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, Duta Besar Singapura Anil Kumar Bayar, perwakilan Kementerian Luar Negeri dan sejumlah peneliti.
LIPI dan ‘University of Singapore’ melakukan perjalanan dari Muara Baru Jakarta, ke Selat Sunda, Krakatau, Pelabuhan Ratu baru ke Cilacap. Rute ini dipilih untuk menghindari ekor badai Marcus.
Berlangsung dua tahun
Deputi Ilmu Kebumian LIPI Zainal Arifin mengungkapkan, dari ekspedisi dalam dua tahun ke depan baru bisa diketahui apakah ditemukan spesies baru.
“Ekspedisi laut dalam biasanya didominasi orang asing dari negara barat. Kali ini seluruhnya dari ASEAN,” ucapnya.
Peneliti Senior Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang juga pimpinan ekspedisi, Dwi Listyo Rahayu menjelaskan, ekspedisi dilakukan pada kedalaman 500-2000 meter di bawah permukaan laut.
Dwi menambahkan, ekspedisi akan fokus untuk mengumpulkan sampel dari berbagai organisme laut dalam seperti Crustacea (kepiting, udang), Mollusca (kerang), Porifera (spons laut), Cnidaria (ubur-ubur), Polychaeta (cacing), Echinodermata (binatang laut dan bulu babi) serta ikan.
Kepala Pusat Oseanografi LIPI Dirhamsyah mengungkapkan, ekspedisi menggunakan kapal Baruna Jaya VIII milik LIPI. Biaya operasional kapal per hari mencapai Rp 130 juta. Seluruh biaya ekspedisi ini pun ditanggung Singapura.
“Diperkirakan total biaya mencapai sekitar Rp 5 miliar dan 100 persen kegiatan ekspedisi ditanggung Singapura,” ucapnya.
Singapura sangat bersemangat
Head of the Lee Kong Chian Natural Museum of the National University of Singapore, Peter Ng yang terlibat dalam ekspedisi ini mengungkapkan, pihaknya sangat bersemangat menjadi bagian dari ekspedisi ini.
“Kami semua semangat untuk mengetahui biota apa yang ada di daerah yang hampir belum pernah dijelajahi oleh ahli biologi mana pun,” katanya.
Ia menjelaskan, Laut Jawa diyakini memiliki kekayaan keanakeragaman hayati yang belum banyak dikenal dan dikaji dalam ilmu pengetahuan. Menurutnya, ekspedisi ini adalah pertama kalinya Singapura dan Indonesia terlihat dalam kolaborasi bersama.
“Kita tidak bisa melindungi kekayaan ini tanpa mengetahuinya terlebih dahulu,” ujarnya.
Sementara itu, ekspedisi laut dalam ini tentu memiliki sejumlah tantangan. Dwi mengungkapkan, adanya siklon atau badai tentu membuat pergerakan kapal berhati-hati dan berusaha mencari rute alternatif. Selain itu, literatur tentang biota laut dalam tidak banyak sehingga tim harus mengambil lebih banyak sampel.
Ekspedisi akan dibagi dalam dua kegiatan besar. Pertama kegiatan di atas kapal berupa pengambilan sampel dengan peralatan seperti beam trawl dan epibhentic sledge, penanganan sampel dan kompilasi data. Selanjutnya pascaekspedisi ada penanganan lanjutan sampel, penyusunan laporan sementara dan workshop. Diperkirakan butuh waktu beberapa tahun, sekitar tahun 2020 baru bisa disampaikan apakah ditemukan spesies baru.
Terkait fasilitas laboratorium, Plt Kepala LIPI menyebut, LIPI sudah memiliki Pusat Penelitian Laut Dalam di Ambon, hanya saja masih perlu dilengkapi peralatan lab yang canggih untuk analisa dan identifikasi.
Selain itu, dua kapal riset LIPI perlu penyegaran karena sudah terlampau tua. Usulan pembelian kapal riset baru pun hingga kini belum mendapatkan jawaban dari Bappenas. Bambang berharap, kehadiran kapal baru dan lab yang canggih bisa pula digunakan oleh perguruan tinggi dalam kolaborasi riset.
Harapan Presiden Jokowi
Menjawab hal itu, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, di tahun 2019 ada upaya meningkatkan sumber daya manusia.
Di dalamnya tentu termasuk peneliti, laboratorium yang masih perlu dikaji anggarannya.
“Mudah-mudahan revitalisasi kapal penelitian bisa kita lakukan,” ucapnya.
Menurutnya, keanakeragaman hayati dan biota laut dalam memang perlu diungkap. Sebab banyak biota laut dalam yang belum terungkap. Keragaman dan kekayaan maritim punya nilai bagi kehidupan manusia di masa depan. Demikian diberitakan ‘Suara Pembaruan’, seperti dilansir ‘BeritaSatu.com’. (B-SP/BS/jr)