BENDERRAnews, 14/9/17 (Jakarta): Ujaran “Saya ingin pindah ke Meikarta”, menjadi demikian populer hampir sebulan terkini, mengalahkan popularitas atau minimal setara dengan isu lain yang juga tak kalah hangatnya. Baik itu isu pajak buku ‘Tere Liye’, Rohingya hingga peluncuran Rudal di Korut.
Sekarang, siapa tak tahu Meikarta? Proyek raksasa di Cikarang Timur, besutan PT Lippo Cikarang Tbk ini dalam sebulan terakhir memenuhi ruang publik. Orang asing pun membicarakannya. (Simak: http://properti.liputan6.com/read/3093589/media-eropa-dan-amerika-memberi-atensi-pada-kota-meikarta)
Ya, betapa tidak, meminjam istilah Ombudsman Alamsyah Saragih, kampanye promosinya dilakukan secara besar-besaran. menjadikan Meikarta memenuhi tiap sudut dan relung kota dalam bentuk baliho, spanduk, standing banner, dan juga materi iklan verbal, visual, serta digital.
Sebagaimana diketahui, kampanye iklan Meikarta bisa dijumpai di perkantoran-perkantoran, pusat belanja, hotel, bandara, jembatan penyeberangan, kompleks perumahan, pasar modern, bahkan di dalam lift serta mobil dan kendaraan pribadi. Termasuk di berbagai media.
Lalu, ujaran “Saya ingin pindah ke Meikarta” pun menjadi demikian populer di tengah-tengah isu pajak buku Tere Liye dan Rohingya.
Tapi, Lippo Group melalui PT Lippo Cikarang Tbk selaku pengembang Kota Meikarta, punya argumentasi ihwal gaya marketing ini. (Lihat: http://properti.kompas.com/read/2017/09/09/094927321/promosi-meikarta-besar-besaran-lippo-ingin-dongkrak-ekonomi-nasional)
Porak-porandakam pakem
Sejumlah pihak, termasuk para Pengembang (pelaku industri properti, Red), pun mengakui, selain fenomenal, kampanya promosi Meikarta juga memorakporandakan pakem-pakem yang selama ini menghiasai konstelasi bisnis properti di Indonesia. (Baca juga: http://solussinews.com/2017/09/12/pengakuan-meikarta-dan-apresiasi-dari-para-kompetitor-fenomenal-dan-porak-porandakan-pakem-pakem/)
Apalagi dari segi harga, sebagai salah satu item promosi. Disebutkna, proyek yang menempati area seluas 500 hektar ini ditawarkan dengan nominal sangat murah yakni Rp5 juta hingga Rp7 juta per meter persegi.
Yakinlah, angka ini jauh lebih rendah dibanding harga Rusunami Perumnas sekalipun.
Bahkan, proyek yang identitasnya diambil dari nama ibunda James Riady (Chairman Lippo Group), ini menyisakan realita kompetisi tak seimbang di kalangan pelaku bisnis properti.
Tunda peluncuran proyek
Dengan sikap elegan, beberapa pengembang terpaksa menunda peluncuran proyek apartemen terbarunya, ketimbang harus hanyut ditelan eforia Meikarta.
Seperti dikemukakan Direktur PT Metropolitan Land Tbk (Metland), Wahyu Sutistio, perseroan saat ini lebih fokus pada pengembangan ‘landed residential’ (perumahan tapak).
Terkait adanya Meikarta, Metland juga memutuskan menunda peluncuran apartemen di kawasan yang tak jauh dari pengembangan kota baru tersebut, yakni, Tambun dan Cibitung, Kabupaten Bekasi.
“Kami memutuskan untuk menjadwal ulang peluncuran (reschedule) apartemen di Tambun dan Cibitung. Kami konsentrasi di perumahan,”ungkap Wahyu seperti dicuplik ‘KompasProperti’, Jumat (8/7/17) pekan lalu.
Daripada kalah bersaing
Wahyu memang tak bersedia merinci proyek apartemen mana saja yang ditunda peluncurannya oleh Metland. Yang jelas, menurutnya, daripada kalah bersaing dan hanyut diterjang “banjir” Meikarta, lebih baik mencari waktu yang tepat.
Ternyata tak hanya Metalnd. Sebab, menurut Wahyu, pengembang lain yang punya lahan berdekatan dengan Meikarta juga melakukan aksi wait and see.
Sementara sebagian lainnya yang kadung telah memasarkan apartemen pada semester II tahun ini, terganggu penjualannya.
Properti belum tiarap
Lepas dari kontroversinya, harus diakui kehadiran Meikarta secara tidak langsung telah menunjukkan, bisnis properti di Indonesia masih ada, alias belum benar-benar tiarap. (Baca selanjutnya: http://benderranews.com/2017/09/13/stimulus-pesaing-lippo-sebut-meikarta-buat-sektor-properti-kembali-bergairah/)
Stimulus !!! Pesaing Lippo sebut Meikarta buat sektor properti kembali bergairah
Apa buktinya? Penjualan Meikarta hingga Agustus 2017, telah menembus angka 99.300 unit. Lalu, selang dua pekan ke sini, bahkan telah mencapai angka 130.000-an.
Ini merupakan tingkat penjualan sangat fantastis di tengah-tengah perlambatan ekonomi. (Simak juga:
Kendati pun penjualan ini, diakui Direktur Informasi Publik Meikarta Danang Kemayan Jati hanya sebatas Nomor Urut Pemesanan (NUP), dan belum dihitung sebagai transaksi.
“Ini angin segar buat bisnis properti kita. Semua jadi terstimulasi untuk bangkit dan membangun,” kata Wahyu.
Hal senada juga dikatakan Direktur PT Ciputra Development Tbk, Artadinata Djangkar. Menurut dia, cara habis-habisan Lippo Cikarang menjual Meikarta, mengundang respons pasar yang sangat besar.
“Di tengah kondisi pasar properti yang belum kuat, peluncuran Meikarta ini memberi sinyal adanya market confidence dari pihak pengembang dan direspons positif oleh pasar,” demikian Artadinata Djangkar.
Ekspresi ekonomi kekeluargaan
Mungkin itu yang sedang terjadi di sektor bisnis properti nasional. Tak ada rasa cemburu atau saling sikat-sikut. Yang ada justru saling mengakui, memberi apresiasi, sekaligus bergandengan tangan bersama untuk maju bersama demi memenuhi kebutuhan defisit rumah bagi warga Indonesia yang kini mencapai ‘back-log’ 11,4 hingga 11.8 juta unit.
Apresiasi sekaligus pengakuan itu pun mencuat dan dialamatkan kepada Meikarta dari para pesaing atau kompetitornya. Sebuah kota baru dan oleh sejumlah praktisi serta pengamat properti dijadikan ‘ikon properti’ nasional.
Ya, Meikarta boleh saja masih digiring (oleh segelintir pihak, Red) ke arah kontroversi. Hal ini berangkat dari pernyataan Direktur Informasi Publik Meikarta, Danang Kemayan Jati, dimana megaproyek seluas 500 hektar bernilai investasi Rp278 triliun tersebut sudah dipasarkan kendati masih ada perizinan yang tengah berproses.
“Tapi, sesunguhnya, ini bukan hanya dilakukan PT Lippo Cikarang Tbk selaku pengembang Meikarta. Banyak pengembang pun melakukan hal yang sama dalam kaitan marketing produknya,” ujar dua praktisi dan pengamat properti, Teddy Sanjaya dan Erick Panelewen secara terpisah, Sabtu (9/9/17) akhir pekan lalu.
Ditambahkan, mainannya khan berbasis Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. “Di sana ada pasal yang menyatakan, pengembang bisa memasarkan produk propertinya, saat masih dalam proses. Ini yang butuh aturan pelaksanaannya. Hingga sekarang, tidak ada turunan PP dari UU tersebut. Dipakailah aturan lama yang dari tahun 1988,” demikian benang berang dari keduanya yang coba dikompilasi Tim ‘BENDERRAnews’ dan ‘SOLUSSInews’.
Idealisme ekonomi nasional Indonesia sebagaimana berbasis pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 itu, ialah ekonomi kekeluargaan.
“Di saat negeri ini tengah menghadapi tantangan untuk memenuhi salah satu hak dasar (basic needs) rakyatnya di bidang adanya hunian layak dan terjangkau, apa yang dilakukan para pengembang untuk saling mendukung, patut dihargai. Mereka bukan politisi yang mudah terpancing untuk didikotomikan karena perbedaan ideologi. Di bisnis, semua bisa jadi peluang,” tandas Dadiet Waspodo, seorang pelaku bisnis properti dari Tangerang Selatan, Senin (11/9/17).
Senada dengan itu, sebuah rekomendasi dari diskusi terbatas Institut Studi Nusantara (ISN), melontarkan kritik keras terhadap sikap beberapa pihak yang mengatasnamakan lembaga, terkait terus memelintir informasi seputar Meikarta, juga mengecam perilaku membenturkan sesama komponen masyarakat oleh segelintar institusi.
“Kita justru harus bangun etos bersatu dalam kebersamaan di tengah kepelbagaian, mari terus bersatu karena kita semua bersaudara dalam keluarga bangsa Indonesia yang besar. Jangan mudah memanfaatkan segala sesuatu untuk memporak-porandakan persatuan bangsa, termasuk mengangkat serta memelintir informasi-informasi bisnis di sektor properti ini untuk semakin mengacaukan situasi kondusif investasi nasional Indonesia,” demikian hasil kompilasi dari diskusi terbatas ISN, sebuah lembaga kajian beranggotakan para akademisi, aktivis serta jurnalis pro Merah Putih. (Jeffrey Rawis, dari berbagai sumber — foto ilustrasi istimewa)