Oleh Henrykus Silaholo **)
Sebagaimana kita ketahui, pascademonstrasi 4 November 2016, guna mendinginkan suasana, meredam konflik, menjaga keharmonisan, merawat keberagaman, mencegah maraknya politik identitas, dan memelihara perdamaian, Presiden Joko Widodo (Jokowi), tanpa kenal lelah, telah melakukan safari dengan mengunjungi Mabes TNI AD, Brimob, markas Korps Marinir, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Pusat Dakwah Muhammadiyah, Kopassus, dan mengundang puluhan kiai dan belasan pemimpin ormas Islam.
Tanpa beristrahat, setelah itu Jokowi menghadiri acara tahunan partai-partai politik berbasis Islam, seperti PKB, PPP, dan PAN, mengunjungi Korps Pasukan Khas (Paskhas), Kostrad, dan bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Bahkan, tanpa diduga dan tanpa kenal takut, Presiden Jokowi bergabung dengan massa Aksi 212 (2 Desember 2016) untuk melakukan salat Jumat di Monas, kemudian menyapa umat, dan berterima kasih kepada para pengunjuk rasa yang melakukan aksi mereka dengan tertib.
Menilik unjuk rasa yang makin marak dengan ekskalasi bahaya yang kian mengkhawatirkan di tengah radikalisme yang menguat, bila Indonesia masih ada sampai kini, menurut hemat kami, itu lantaran Presiden Jokowi bisa mengelola persoalan dengan baik. Jika tidak, niscaya Indonesia sudah menjadi Uni Soviet atau Yugoslavia kedua.
Selain mengundang sejumlah tokoh ke Istana, kunjungan ke sejumlah pesantren, universitas, dan lembaga keagamaan, blusukan ke sejumlah tempat dan permukiman, bisa dikatakan, kunjungan Presiden Jokowi ke sejumlah daerah dan mancanegara tanpa pernah lupa bersilaturahmi dengan warga Indonesia, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, bukan hanya menjadi simbol dari kehadiran negara, tetapi menjadi bagian dari memelihara kesejukan dan keharmonisan. Bahkan, program pembangunan infrastruktur yang tidak lagi Jawa-sentris sehingga mengurangi kesenjangan Jawa dan luar Jawa, bisa disebut sebagai bagian dari merawat NKRI dari Merauke hingga Sabang dan dari Miangas hingga Rote dalam mengatasi politik identitas dan adu domba yang merusak kebinekaan.
Sementara itu, kesediaan Basuki Tjahaja Purnama menjadi martir dengan membatalkan pengajuan banding demi kebaikan masyarakat berbangsa dan bernegara, bisa dikatakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari semua upaya yang dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk menjaga kerukunan dan perdamaian di Indonesia. Bila mengedepankan keakuan dan kepentingan keluarga, Basuki seyogianya meneruskan banding. Dari segi logika, pastilah sulit bagi hakim di Pengadilan Tinggi untuk membuktikan Basuki secara sengaja menodai agama Islam yang notabene dianut oleh orangtua dan saudara angkatnya. Lihat saja misalnya cuitan Moazzam Malik, dubes Muslim pertama Inggris untuk Indonesia di Twitter pada 9 Mei 2017. Dubes keturunan Pakistan ini, antara lain mengatakan,“Saya kenal Basuki Tjahaja Purnama. Mengagumi kerjanya untuk Jakarta. Percaya dia tidak antiIslam.”
Senada dengan Moazzam Malik, pada hari yang sama Kantor Komisi Tinggi HAM PBB (OHCHR) menyatakan keprihatinannya. “Kami prihatin dengan hukuman penjara untuk Gubernur Jakarta karena dugaan penghujatan terhadap Islam. Kami meminta Indonesia untuk meninjau undang-undang penghujatan.”
Seperti diketahui, Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan hakim memvonis Basuki berbunyi,“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Berbeda dengan hakim, pasal yang digunakan jaksa adalah Pasal 156 KUHP. Pasal ini berbunyi,“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Sebelum hakim menjatuhkan vonis hukuman dua tahun dan langsung ditahan kepada Basuki, Beritasatu.com pada 21 Desember 2016 memberitakan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipromosikan untuk menerima hadiah Nobel Perdamaian 2017. Promosi dari Indonesia untuk menjadi nomine peraih Nobel dilakukan lewat web ahokfornobel.com. Promosi ini didasarkan karena Ahok merupakan politisi bersih yang terus berjuang melawan korupsi untuk membuat Jakarta menjadi kota metropolitan yang sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Ahok juga dinilai sejalan Presiden Jokowi yang dikenal sebagai pemimpin bersih dan menjadi simbol toleransi, keberagaman, harmoni, dan perdamaian bagi seluruh warga negara Indonesia. Meski menjadi target kelompok garis keras yang terus mengancamnya, Ahok terus berjuang untuk Jakarta dan Indonesia dalam melawan korupsi, sekaligus membuat Jakarta menjadi kota yang lebih baik bagi warganya.
Merujuk pada hal di atas, Presiden Jokowi dan Ahok jelas merupakan duet maut dalam memerangi korupsi, kebodohan, radikalisme, kemiskinan, dan ketidakadilan, seraya merawat keberagaman dalam NKRI yang satu, adil, sejahtera, toleran, rukun, dan damai. Yang menarik, keduanya memerangi semua itu dengan kerja keras, namun tanpa kekerasan. Bila Presiden memeranginya dengan menjalankan program Nawacita, menetapkan hari lahir Pancasila, dan membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Ahok datang dengan program “mengadministrasikan keadilan sosial” sebagai bagian dari meneruskan, mengembangkan, dan mewujudkan visi dan misi yang mereka canangkan pada 2012.
Dengan demikian, duet Jokowi dan Ahok membangun Jakarta sebagai barometer Indonesia sejak 2012-2014 sebenarnya masih berlanjut dengan duet dalam bentuk lain sejak 2014 hingga kini. Kekonsistenan Presiden Jokowi dengan tidak mengintervensi proses hukum dalam kasus penistaan agama yang didakwakan kepada Basuki dan kesediaan Basuki untuk membatalkan pengajuan banding bisa diibaratkan seperti dua sisi koin yang melingkar: keduanya begitu mencintai keutuhan Indonesia yang dari sisi yang satu bernama NKRI yang adil, sejahtera, rukun, dan damai dan dari sisi yang lain kaya dengan keberagaman dan keduanya (NKRI yang beragam) bersifat abadi.
Mengingat semua hal di atas, pada tempatnya penulis meminta Panitia Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia berkenan untuk memberi keduanya hadiah Nobel Perdamaian 2017. Semoga Panitia Nobel mengamini permintaan ini, sehingga membuat kita bangga karena Indonesia yang populasinya peringkat keempat dunia memiliki negarawan berkelas dunia yang mampu menyabet hadiah Nobel yang pertama bagi bangsa dan negaranya. Penulis meyakini ratusan juta orang yang berkehendak baik berdoa dengan khusyuk untuk itu.
*) Disadur dari ‘BeritaSatu.com’, dengan judul asli: “Jokowi-Ahok Rajut Perdamaian dengan Kerja Keras Tanpa Kekerasan”
**) Penulis adalah doktor lulusan IPB yang sejak 1990-sekarang menjadi dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Medan.