Oleh Guntur Soekarno**)
BENDERRAnews.com, 25/1/21 (Jakarta): Menginjak usia yang ke-76 pada 3 November 2020, tiba-tiba aku teringat masa kecil dan remaja sebagai putra seorang presiden di Republik ini. Hal-hal yang dapat teringat jelas adalah selama tinggal di Istana Merdeka, Jakarta.
Usiaku ketika tiba di Istana Merdeka dari Yogyakarta sekitar 5 tahun. Ketika sampai di Istana Merdeka dari Bandara Kemayoran, keadaan Istana masih berantakan. Semuanya masih dalam keadaan apa adanya belum lengkap dan belum tertata rapi. Misalnya, di kamar mandi belum ada handuk, sabun mandi, dan sikat gigi.
Begitu pula di kamarku kondisinya ala kadarnya. Hanya ada dua tempat tidur untukku dan adikku Mega, dengan sepasang bantal guling, plus kelambu yang usianya sudah uzur. Seingatku selimut juga belum ada, jadi menggunakan kain batik sebagai selimut. Beruntung udara Jakarta lebih panas dibandingkan Yogyakarta.
Kamarku berada bersebelahan dengan kamar Bung Karno dan Ibu Fatmawati. Kamar mandi yang ada untuk kita sekeluarga merupakan sebuah kamar mandi yang sangat luas dan berlantaikan marmer yang licin. Jadi kalau mandi dapat bermain serosotan di lantai. Inilah kenikmatan pertama yang kuperoleh tinggal di Istana Merdeka Jakarta.
Di antara Istana Merdeka dan Istana Negara ketika itu belum ada hamparan rumput yang menghijau, melainkan lapangan batu koral yang berdebu. Atas inisiatif Bung Karno seluruhnya diganti dengan rumput biasa. Dan atas inisiatif Ibu Fatmawati, mulai dipercantik dengan tanaman hias bunga dan pohon. Bung Karno juga membuat jalan setapak dari tangga teras belakang Istana Merdeka berbelok ke jalan aspal menuju Istana Negara yang terbuat dari batu lempengan berwarna merah kecokelatan.
Selain itu bangunan kupel yang berada di antara kedua Istana, diubah fungsinya dari tempat orkes musik di zaman Belanda menjadi sebuah taman kanak-kanak (TK) bagi anak-anak karyawan Istana, termasuk anak-anak tetangga Istana, seperti anak-anak jalan Gang Pool (sekarang sudah menjadi kawasan Sekretariat Negara/Setneg). Di dekat taman kanak-kanak tadi dibuat dua buah kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai merah dan putih.
Era TK
Adapun guru yang mengajar di situ bernama Ibu Tuti Pangestuti seorang karyawati Setneg. Kurikulumnya sederhana menggambar menggunakan sabak dan bernyanyi.
Saat itu aku bersahabat dengan Chappy Hakim, anak Gang Pool, yang kelak menjadi Kasau (2001-2005) beserta kakaknya Bahrul Hakim.
Saat yang selalu ditunggu adalah waktu istirahat. Sebab, Bu Tuti membagikan segelas susu segar dan sepiring sup hangat. Menu itu selain amat sedap, sekaligus menyehatkan tubuh, terutama bagi anak-anak pelayan Istana.
Atraksi lain yang menjadi perhatian murid-murid adalah kehadiran dua ekor burung merak jantan dan betina. Keduanya bila sedang birahi mengembangkan ekornya laksana kipas yang sangat indah.
Selain itu murid-murid juga terkagum kagum atas kepiawaian tukang kebun membersihkan daun-daun yang jatuh dengan cara menusuk daun-daun dengan sebilah tusukan besi. Daun-daun tadi menempel di tusukan seperti sate.
Ketika menginjak enam tahun, oleh Bung Karno dan Ibu Fatmawati hari ulang tahunku dirayakan di hall Istana Negara dan mengundang seluruh murid-murid TK, termasuk Chappy Hakim. Dalam acara tersebut, aku diharuskan mengenakan jas lengkap plus dasi. Kata Ibu Fatmawati, agar aku kelihatan handsome.
Entah mengapa, barangkali karena iseng, Chappy tiba-tiba menyibak jasku sehingga melihat aku tidak menggunakan ikat pinggang, hanya tali kolor untuk mengikat celana panjang. Kontan sejak itu Chappy dan teman-teman yang lain memberi nama ledekan “Mas Tok Kolor”. Sampai saat ini bila ada kesempatan bertemu, Chappy selalu bertanya, “Tok, mana kolor, lu?”
Menjelang tujuh tahun dan lulus dari TK, aku didaftarkan Ibu Fatmawati ke Sekolah Rakyat (SR) Taman Siswa di kawasan Galur. Saat itu aku harus bangun pagi-pagi sekali sekitar jam 06.00, karena jarak dari Istana Merdeka ke Galur cukup jauh dan pelajaran dimulai jam 07.00 sampai 12.00.
Kurang lebih berjalan enam bulan, karena sering terlambat sekolah, aku dipindahkan ke SR Majumi di Jalan Cikini Raya 76. Di SR Cikini aku masuk jam 11.00 sampai 13.00.
Hobi Memanjat Pohon
Sejak di SR, bersama teman-temanku anak pegawai Istana, aku sering naik pohon-pohon buah yang ada di kawasan Istana Merdeka. Pohon yang menjadi favorit adalah pohon buah buni (wuni). Bila sudah matang, buahnya bergelombol sebesar biji kacang tanah berwarna kehitaman, dan rasanya manis. Untuk mendapatkan seuntai buah buni, tak beda dengan teman-teman yang lain aku harus memanjat sendiri pohon tersebut untuk memetik buahnya.
Aku yang punya penyakit takut ketinggian untuk memanjat pohon selalu bermasalah saat hendak turun. Jadi untuk turun, aku selalu dibantu teman-teman atau berteriak minta bantuan kakak CPM yang berjaga, kebetulan jarak antara pohon buni dan ruang piket sangat dekat.
Selain pohon buni, kami juga sering naik pohon asam Jawa yang terletak dekat gudang bahan makanan Istana. Istimewanya rasa asam Jawa tadi bila sudah masak manis tanpa ada rasa asam sama sekali.
Kalau tidak berburu asam Jawa, kita berburu buah kelengkeng Tiongkok yang terletak di seberang dapur Istana. Untuk pohon yang satu ini aku tidak berani memanjatnya karena pohonnya besar dan sangat tinggi. Yang berani memanjat hanyalah Mochtar, anak tukang kebun.
Bila musim hujan tiba kita menyambutnya dengan amat gembira, karena bisa bermain air hujan yang pasti membanjiri kebun tanaman yang terletak di sebelah lapangan tenis. Di sana tanpa ragu-ragu kami terjun ke genangan air yang tingginya sepaha anak-anak, bercampur dengan tanah dan rabuk kotoran kuda. Dua hari kemudian, kami semua terkena borok atau kudis setinggi paha dan harus berobat ke klinik Istana. Tak bisa dibayangkan anak presiden kakinya borok berkudis.
Setelah aku lulus SR aku diterima di SMP Yaperci, di Jalan Cikini Raya 76. Saat di SMP teman sepermainanku masih tetap sama, yaitu anak-anak pelayan, tukang kebun, sopir pegawai Istana dan Setneg.
Pada era ini aku mulai diharuskan Bung Karno dan Ibu Fatmawati belajar menari. Aku memilih tari Jawa Tengah aliran Solo, bukan aliran Yogyakarta yang menurutku gerakan-gerakan tarinya agak kasar. Aku dilatih oleh Praptono untuk tarian Gatotkaca dan Handogo Bugis. Khusus untuk memperdalam tarian Gatotkaca aku dilatih dan menari bersama, Rusman, maestro tari Gatotkaca dari Sriwedari Solo.
Aku kerap tampil pada acara malam kesenian 17 Agustus atau di depan tamu-tamu negara. Untuk mendalami penjiwaan terhadap tokoh yang akan ditarikan, maka setiap ada pertunjukan wayang kulit di Istana Negara, aku diizinkan duduk di sebelah kotak kayu wayang kulit di dekat Ki Dalang.
Bertemu Raja “Cowboy”
Saat masih kelas 6 SR, aku diajak Bung Karno ke Amerika Serikat pada tahun 1956. Dalam kunjungan itu, sempat dipertemukan dengan raja cowboy Roy Rogers di ranch-nya.
Di situ aku dijamu oleh istrinya, Dale Evans, serta diperbolehkan menunggang kudanya yang terkenal, Trigger. Di samping itu aku belajar juga memutar mutar sebuah pistol di jari telunjuk dan belajar melempar tali laso.
Tak lupa aku diberi hadiah seperangkat baju cowboy lengkap dengan topi, pistol, sepatu, dan tali laso. Karena di benakku sudah terpikir akan bermain cowboy-cowboy-an dengan teman-teman di Istana, maka aku juga membeli beberapa mainan pistol, topi cowboy, dan tali laso.
Benar saja setibanya di Istana Merdeka langsung kuajak teman-teman bermain cowboy-cowboy-an. Pendek kata, asyik!
Selain itu aku mulai senang bermain layang-layang. Sepintas bermain layang-layang sepele, tetapi ternyata tidak.
Di dunia layang-layang, ada dua kategori, yakni layang-layang adu dan layang-layang hias. Ukuran layang-layang adu tidak terlalu besar dengan garis tengah maksimal 40 cm. Untuk layang-layang hias ukurannya bebas.
Patut diingat, bila kita melihat ada layang-layang hias, jangan sekali-sekali kita dekati. Sebab, begitulah kode etik bermain layang-layang.
Di halaman Istana Merdeka, bila sedang musim layang-layang, biasanya musim panas, puluhan layang-layang diterbangkan dan beradu.
Itulah sepenggal pengalaman hidupku masa kecil dan remaja sebagai putra seorang presiden yang banyak berkawan dengan anak-anak pegawai rendahan di Istana Merdeka dan Istana Negara. Terus terang, selama ini aku merenung dan bertanya, di mana gerangan mereka saat ini? Apa pekerjaan mereka? Berapa anak cucu mereka?
Walahualam!
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Senin, 25 Januari 2021 | 07:30 WIB, dengan judul asli: “Kenangan Masa Kecil Putra Presiden”
**) Penulis adalah Putra Sulung Presiden ke-1 RI