BENDERRAnews.com, 17/12/20 (Jakarta): Seyogianya, Perayaan Hari Nusantara pada 13 Desember 2020 ini menjadi momentum berbagai pihak untuk penyadaran diri tentang fakta Indonesia Negara Kepulauan Terbesar di Dunia, sekaligusmenyegarkan kembali visi poros maritim dunia yang semakin memperkuat persatuan serta lebih mengoptimalkan potensi perekonomian bangsa.
“Setidaknya ada upaya konkret dari Negara untuk terus menyadarkan kita tentang fakta Indonesia ini merupakan Negara Kepulauan (Nusantara) Terbesar di Dunia, sekaligus Negara Maritim, yang memiliki karakteristik serta budaya tersendiri,” demikian pernyataan sikap DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), yang ditandatangani Jeffrey Rawis (Ketum), dan Tedy Matheos (Sekjen), sebagaimana dilansir Ketua DPP GPPMP Bidang SDA & Kemaritiman, Octavianus Rasubala, Kamis (17/12/20), sehubungan dengan momentum Hari Nusantara.
Senada dengan kajian pakar kemaritiman dan kelautan, Prof Dr Rokhmin Dahuri, DPP GPPMP mengingatkan, sejak 1982 Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas, yakni sekitar 5,8 juta km2 atau tiga perempat dari total wilayah NKRI. Di dalamnya terdapat 17.504 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km.
“Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan NKRI. Oleh karena itu, Deklarasi Djoeanda sejatinya merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan NKRI, yaitu: (1) Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; (2) Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945; dan (3) Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djoeanda pada 13 Desember 1957,” papar Octavianus, masih mengacu pada kajian Prof Rokhmin, sebagaimana juga dipaparkan dalam buku “Menjahit Laut Yang Robek: ‘Archipelagic State’ of Indonesia” dari Jeffrey Rawis, terbitan Jakarta 2004.
Ia juga mengutip pernyataan Rokhmin, di mana satu hal yang patut dicatat, kendati Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 sangat penting bagi kejayaan bangsa Indonesia, kita baru memperingatinya sejak Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid pada 13 Desember 2000. Kemudian melalui Keppres No.126/2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember, sebagai Hari Nasional yang diperingati setiap tahun.
“Artinya, tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut RI hanya sepertiga dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau NKRI sehingga di antara pulau-pulau NKRI terdapat laut internasional, yang memisahkan satu pulau dengan lainnya. Kondisi semacam itu merupakan ancaman bagi persatuan dan kesatuan NKRI,” ungkapnya.
“Karena itu, atas instruksi Presiden Soekarno, Ir Djoeanda, Perdana Menteri RI saat itu pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas itu, sebagaimana diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939. Wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan NKRI. Deklarasi yang berisikan konsepsi Negara Kepulauan tersebut diterima oleh masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982,” demikian Octavianus.
Peran geoekonomi krusial
Lakukan tinjauan ulang
Sementara itu, pengamat kelautan, Moh Abdi Suhufan ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Minggu (14/12/20), mengatakan, dalam momentum hari Nusantara ini pemerintah perlu melakukan meninjau ulang tentang strategi dan capaian pembangunan maritim bangsa Indonesia.
“Visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) yang pernah di sampaikan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2014 lalu kini nyaris tak terdengar lagi,” kata pengamat kelautan Moh Abdi Suhufan ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (13/12/20).
Abdi menyatakan, minimnya gaung PMD akhir-akhir ini sangat disesalkan sehingga perlu untuk disemarakkan kembali.
Untuk itu, ujarnyya, pemerintah perlu mempertegas kembali penerapan konsep PMD agar menjadi haluan pembangunan.
“Kami menyarankan agar Strategi Kebijakan Kelautan Indonesia 2014-2019 yang pernah diluncurkan oleh pemerintah perlu dipastikan kesinambungannya dalam periode 2019-2024,” kata Abdi yang juga menjabat sebagai Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.
Hal tersebut, lanjutnya, untuk memastikan detil pembangunan maritim yang akan dilakukan pemerintah dan agar pemerintah punya peta jalan yang jelas dalam pembangunan kelautan yang dilaksanakan seluruh nusantara.
Sejarah Hari Nusantara dimulai dengan deklarasi Perdana Menteri Indonesia Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957 mengenai batas laut Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Saat deklarasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta, kawasan perairan Indonesia masih didasarkan Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) yang produk hukum Hindia Belanda. Dalam peraturan itu, batas teritorial laut Indonesia hanya 3 mil dari garis pantai.
Melalui Deklarasi Djuanda, yang disahkan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, wilayah laut Indonesia yang semula sebesar 1 juta kilometer persegi menjadi 3,1 juta kilometer persegi.
Sesudah mengerahkan berbagai upaya, akhirnya deklarasi tersebut diakui dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).
Dengan pemberlakuan UNCLOS 1982, kawasan Indonesia bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi yang terdiri dari laut teritorial dan perairan pedalaman seluas 3,1 juta kilometer persegi dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2 juta kilometer persegi.
UNCLOS 1982 kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 17 tahun 1985 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. (B-SN/ANT/jr — foto ilustrasi istimewa)
Baca juga: Peringatan Hari Nusantara 2020 digelar secara hybrid
Baca juga: Hari Nusantara momentum fokus atasi kesenjangan sektor perikanan