BENDERRAnews.com, 24/10/20 (Jakarta): Memahami konten UU Cipta Kerja, memang tidak bisa secara sektoral atau dengan ukuran sepihak saja. Sejumlah pakar, akademisi, institusi dan pemerhati konstitusi menilai, undang-undang ini benar-benar mampu ‘menembus batas’ menerjang kebuntuan yang sulit diterobos selama ini.
Salah satunya, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, yang menilai, Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja sebagaimana diperjuangkan Presiden Jokowi merupakan bentuk perlawanan terhadap oligarki. Yakni yang selama ini mengakar dalam sistem berusaha Indonesia.
Dengan UU tersebut, menurut Saidiman, justru masyarakat umum diberikan akses selebar-lebarnya untuk memulai aktivitas usaha dan ekonomi.
Saidiman mengatakan, sistem dan aturan sebelumnya sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk memulai usaha. Terutama soal perizinan dan tumpang tindihnya aturan, sehingga masyarakat bawah tidak memiliki daya untuk mengaksesnya.
“Dalam kondisi yang ruwet dan macam-macam itu tidak semua orang yang bisa menyelesaikan itu. Hanya orang-orang tertentu. Saya menyebutnya para oligarki dalam pengertian mereka yang punya dana mungkin bisa membayar pejabat setempat mulai dari level bawah sampai atas. Itu yang tidak bisa dipungkiri. Yang bisa keluar dari masalah itu adalah orang kaya,” katanya dalam diskusi virtual bertajuk UU Cipta Kerja dan Dampaknya Bagi Kepentingan Publik, Selasa (13/10/20) lalu.
Perizinan dimonopoli si kaya dan berkuasa
Saidiman memaparkan survei tentang perizinan usaha pada akhir Juni 2020. Sebanyak 22 persen responden mengaku pernah mengurus perizinan, di mana 45 persen di antaranya merasakan sulit memenuhi persyaratan usaha itu. “Dan usahanya itu sulit apabila terkait UMKM. Jadi itu yang terjadi di masyarakat,” jelasnya.
“Selama ini, hanya mereka yang kaya, yang berkuasa, dan pejabat publik atau politik yang mudah mengakses perizinan itu.”
Sementara itu, UU Omnibus Law ini memangkas monopoli perizinan tersebut yang menguntungkan pihak oligarki dalam sistem masa lalu.
“Itu yang diselesaikan Pak Jokowi, semangatnya memberi ruang kepada warga untuk ikut dalam aktivitas ekonomi. Jadi saya tidak setuju kalau ada yang menyatakan UU ini pro-oligarki, kalau kita pakai logika sedikit saja, justru yang diuntungkan masyarakat kecil, masyarakat bawah yang selama ini tidak punya akses kepada sumber daya ekonomi. Karena dia dihalangi oleh begitu banyak persoalan,” jelas Saidiman.
Keluar dari jebakan pendapatan menengah
Saidiman melihat UU Omnibus Law ini merupakan ide Presiden Jokowi secara keseluruhan. Jejak itu hampir berada dalam pidato serta tulisan Jokowi maupun naskah akademik dalam UU Omnibus Law itu.
“Ada sejumlah hal yang ingin dijawab Jokowi dengan aturan ini, yaitu mewujudkan Indonesia maju pada 2045, keluar dari jebakan pendapatan menengah, menghilangkan kemiskinan, menumbuhkan ekonomi lima persen setiap tahun, serta menghapuskan pengangguran tujuh juta per tahun ditambah menyediakan lapangan kerja untuk tiga juta angkatan kerja baru setiap tahunnya”, paparnya.
Presiden Jokowi, lanjut Saidiman, secara fundamental telah menyiapkan upaya transformasi ekonomi sebelum UU Omnibus Law itu disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu. Pertama pembangunan infrastruktur, kedua penguatan sumber daya manusia, dan ketiga melalui UU Omnibus Law itu.
“Memang UU Cipta Kerja untuk merespons, menggenjot ekonomi apalagi di tengah pandemi. Survei Kadin menyebutkan ada 6,7 juta orang dirumahkan di sektor formal. Sektor informal mungkin tidak terbaca oleh Kadin,” katanya lagi.
PHK atas 29 juta orang
Survei SMRC pada Juli 2020, lanjut Saidiman, menyebutkan, 15,2 persen responden mereka dari usia produktif mengalami PHK. Apabila dibandingkan dengan angka usia produktif penduduk Indonesia yang mencapai 190 juta orang, dia memperkirakan ada 29 juta orang pada tiga bulan pertama pandemi Covid mengalami pemutusan hubungan kerja.
Survei SMRC lainnya, ungkap Saidiman, juga cukup mengejutkan. Persepsi publik buruk terhadap ekonomi pada tahun ini karena dampak pandemi Covid-19. Disebut Saidiman, persepsi ekonomi masyarakat pada 2020 buruk mencapai 80 persen dibanding ekonomi tahun sebelumnya.
Karena itu, Saidiman memandang UU Omnibus Law mendesak disahkan untuk menjawab tantangan itu. Sebab, Pemerintah, kata Saidiman, juga tidak mungkin memberikan bantuan, subsidi, atau insentif kepada warganya secara kontinu.
Infrakstruktur, peningkatan sumber daya manusia, dan UU Omnibus Law ini justru membuat masyarakat bertanggung jawab terhadap ekonominya sendiri. “Jadi Jokowi ibarat orang tua rasional. Dia tidak mau anak-anaknya ini disubsidi, diberikan apa yang diinginkan. Anaknya justru dilatih, diberikan fasilitas yang bagus tetapi harus berkreasi sendiri,” jelas Saidiman. (B-JPNN/jr)