BENDERRAnews.com, 4/5/20 (Lippo Village): Ya, Pemerintah diminta untuk memberi perhatian terhadap pasien penyakit non-Covid-19, di tengah pandemi penyebaran virus corona yang mematikan tersebut. Salah satu yang dilakukan ialah memisahkan rumah sakit khusus rujukan pasien terinfeksi Covid-19 dan rumah sakit untuk penyakit lainnya. Hal ini dianggap perlu dilakukan, lantaran banyak pasien yang enggan ke rumah sakit, karena khawatir tertular Covid-19.
Demikian benang merah diskusi virtual yang digelar Fakultas Kesehatan Universitas Pelita Harapan (UPH) dan RS Siloam Hospitals bertema “Wider Health and Socio-Economic Victims of Covid-19”, Jumat (1/5/20), dari area Lippo Village. Diskusi tersebut diikuti sejumlah pakar dan praktisi kesehatan dari dalam dan luar negeri serta sejumlah kepala daerah.
Dokter spesialis bedah saraf dari RS Siloam, Eka Julianta Wahjoepramono yang memandu diskusi menjelaskan, pandemi Covid-19 telah melahirkan protokol atau tata laksana baru dalam penanganan pasien di rumah sakit. Hal itu dinilai positif untuk mencegah rumah sakit menjadi klaster penyebaran virus corona yang mematikan itu.
Protokol dimaksud, di antaranya mewajibkan pasien menjalani skrining apakah ada gejala klinis Covid-19 atau tidak, sebelum dilakukan tindakan medis sesuai keluhannya. Protokol yang sama juga diberlakukan terhadap pasien yang sekadar melakukan pemeriksaan rutin.
Enggan ke rumah sakit
Namun disadari, protokol baru tersebut membuat orang sakit enggan ke rumah sakit, di samping ada kekhawatiran tertular Covid-19. Selain itu, lanjut Eka, ada kalanya protokol yang harus dijalani pasien memakan waktu padahal yang bersangkutan memerlukan tindakan segera.
“Misalnya, pasien wajib skrining tes Covid, yang hasilnya mungkin perlu waktu lama. Ini bisa membahayakan pasien penyakit tertentu yang kondisinya memerlukan tindakan medis segera,” jelasnya.
Selain itu, kondisi tersebut juga diakui merugikan rumah sakit swasta. “Sekarang kunjungan ke rumah sakit turun drastis. Apalagi kalau rumah sakit swasta itu juga menerima pasien Covid. Mereka (RS swasta) bisa drop 70 persen income-nya,” ungkap Eka.
Untuk itulah mayoritas narasumber telah melakukan pemisahan perawatan pasien Covid-19 dan non-Covid. Selain itu, juga muncul usul agar ada pemisahan rumah sakit khusus menangani Covid dan yang tidak.
Kematian tinggi karena kasus non-Covid-19
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2021-2024, Adib Khumaidi menyarankan, pemerintah pusat, daerah, Kementerian Kesehatan, dan Asosiasi terkait menyusun analisis strategi berupa pemisahan rumah sakit yang dikhususkan untuk pasien positif dan negatif Covid-19.
“Kita tidak bisa kemudian mengatakan bahwa semua rumah sakit dan dokter harus siap menangani Covid-19. Memang ini benar, karena kita dalam kondisi pandemi dan wabah. Namun, kalau semua rumah sakit dikonsentrasikan ke situ (Covid-19), yang terjadi adalah angka kematian naik bukan karena Covid-19. Kematian akan tinggi karena kasus non-Covid-19,” katanya.
Pernyataan Adib tersebut juga merujuk fakta hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018 mengenai sejumlah penyakit tidak menular penyebab kematian di Indonesia. Penyakit dimaksud, yakni hipertensi, diabetes melitus, stroke, jantung, gagal ginjal, dan kanker. Prevalensi penyakit-penyakit itu masih cukup tinggi dan cenderung meningkat dibandingkan Riskesdas 2013.
Oleh karena itu, kata Adib, rumah sakit yang tidak sanggup menangani Covid-19 jangan dipaksakan, sehingga pasien penyakit lain masih bisa berobat. Sementara, rumah sakit yang sanggup, bisa dilengkapi sumber daya manusia (SDM) mumpuni dengan tambahan fasilitas kesehatan oleh pemerintah. “Jadi, ada dua jalur, ada pembagian peran di situ di mana semuanya bisa tertangani dengan baik,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, lanjut Adib, masyarakat juga harus diedukasi bahwa, jika ada gejala Covid, dia harus datang ke rumah sakit yang khusus rujukan untuk Covid.
Menyediakan ruangan terpisah
Direktur Utama RS Pusat Otak Nasional (RSPON) Mursyid Bustami menjelaskan, pihaknya kini juga merawat pasien Covid-19. Untuk itu, RSPON menyediakan ruangan terpisah, seperti ruang operasi khusus dan ruang unit gawat darurat (UGD), untuk melakukan tindakan medis kepada pasien non-Covid-19.
Demikian pula untuk ruang operasi, RSPON juga menyediakan untuk pasien non-Covid-19 yang berbeda dengan pasien yang telah dinyatakan menderita Covid-19. “RSPON mulai melayani PDP Covid-19 sejak pertengahan Maret lalu dan saat ini dirawat sekitar 14 PDP. Sedangkan, ODP dan PDP yang disertai gangguan neurologi sampai saat ini sudah ada 100 orang yang kami layani,” kata Mursyid.
Dia menjelaskan, poliklinik di RSPON tetap melayani pasien-pasien yang betul-betul harus melakukan kontrol secara teratur, seperti penderita parkinson, epilepsi, dan stroke karena tidak boleh putus obat. “Kami bersyukur, BPJS Kesehatan bisa meresepkan (obat) sampai dua bulan. Telemedicine juga kami lakukan. Pasien bisa kontak dengan dokter. Resep tetap diberikan,” ujarnya.
Untuk kondisi darurat, seperti pasien yang tidak sadar saat dibawa ke RSPON, Mursyid menjelaskan, langsung dilayani tanpa harus menunggu pemeriksaan apakah dia positif Covid-19 atau tidak. “Kalau kita menunggu hasil tes PCR, kita tahu waktuya cukup lama untuk menunggu hasilnya, tiga sampai empat hari. Jadi, semua pasien yang akan dioperasi kita wajibkan melakukan CT thorax. Karena, sensitivitas CT thorax cukup baik. Kalau tidak didapatkan apa-apa, kita lakukan operasi. Kalau positif tetap operasi, tetapi dilakukan di ruang khusus untuk PDP,” ujarnya.
Dengan tetap di rumah, apakah mereka tetap sehat?
Sementara itu, dokter spesialis jantung dari RS Siloam, Antonia Anna Lukito menuturkan, akibat Covid-19, kunjungan pasien turun hingga 70 persen. “Saya khawatir dengan tetap di rumah, apakah mereka tetap sehat? Ada laporan di New York, hampir 8.000 pasien penyakit jantung meninggal karena berdiam di rumah. Mereka tidak memeriksakan diri ke rumah sakit karena takut tertular Covid,” jelasnya.
Antonia mendukung gagasan perlu ada rumah sakit yang melayani khusus pasien non-Covid. Sebab, banyak pasien penyakit berat, seperti jantung dan stroke, yang tetap harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Sedangkan, Ketua Konsili Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno menjelaskan, sebagai jalan keluar mengatasi persoalan tersebut, pihaknya telah mengizinkan dokter memberikan konsultasi kesehatan jarak jauh (telemedicine). “Saya sampaikan bahwa telemedicine itu sekarang ini oleh Konsil dibolehkan dalam suasana Covid. Mengapa dibolehkan? Karena kalau itu tidak bisa dilakukan, maka justru keadaan semakin susah,” jelasnya.
Syarat utama telemedicine, Bambang mengungkapkan, bukan kasus darurat. “Jika saat wawancara itu ada emergency, maka harus dirujuk ke rumah sakit atau fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan),” tegasnya.
Pelayanan kelahiran
Pada diskusi tersebut, dokter spesialis kebidanan dan kandungan RS Siloam, Julita Dortua Laurentina Nainggolan menjelaskan, memasuki masa hamil tua di tengah pandemi Covid-19, bukan hal yang mudah. “Banyak ibu yang bertanya, apakah aman melahirkan di rumah sakit? Karena, banyak protokol Covid-19 yang berbeda di setiap rumah sakit, mulai dari foto toraks dan berbagai tes lainnya. Jadi, memang saat ini mereka penuh dengan ketakutan. Berita di Amerika Serikat, banyak yang mengungkapkan bahwa ibu-ibu lebih memilih untuk melahirkan di rumah dan memanggil tenaga medis,” ujar Julita.
Dia menjamin proses kelahiran di rumah sakit tetap aman bagi ibu dan bayi. “Sebab, bagaimanapun proses kelahiran ini harus dilakukan,” ujarnya.
Selain itu, belakangan ini pun viral sebuah foto yang memperlihatkan sebuah rumah sakit memberikan pelindung wajah (face shield) kepada bayi. Hal seperti itu menambah rasa cemas para ibu hamil.
Julita menjelaskan, pelindung wajah itu hanya dipakai saat bayi harus melakukan kontak dengan lingkungan luar dan transisi. Pelindung seperti itu tidak akan digunakan seterusnya, karena tidak akan nyaman bagi bayi.
“Untuk itulah, edukasi adalah bagian yang sangat penting. Jadi, ibu-ibu tidak perlu tidak panik dan khawatir. Lebih baik membiasakan hidup bersih, selalu mencuci tangan, dan melakukan pembatasan fisik,” jelasnya.
Sementara, dokter spesialis kebidanan Tono Djuwantono menambahkan, asosiasi bayi tabung di Indonesia sebaiknya menghentikan praktik kepada pasien. “Ini demi menjamin keselamatan ibu dan calon bayi,” jelasnya.
Pengalaman negara Lain
Kekhawatiran pasien non-Covid untuk berobat ke rumah sakit juga terjadi di luar negeri, seperti di Inggris dan AS. Untuk meredam kepanikan tersebut, di Inggris, pasien-pasien yang tidak menderita Covid-19 tetap dilayani, terutama mereka yang harus menjalani operasi.
Hal itu diungkapkan pakar bedah saraf otak dari Cambridge University, Inggris, Thomas Santarius. Dia menjelaskan, Inggris merupakan negara yang mencatat jumlah kematian tertinggi kedua di Eropa akibat Covid-19. Disebutnya, saat ini merupakan waktu paling sulit yang dihadapi dunia kesehatan di Inggris.
Santarius mengatakan, pandemi virus corona telah menjadikan pelayanan rumah sakit di Inggris sempat tidak berjalan maksimal. Tidak sedikit pasien yang bukan terpapar Covid-19 tak terlayani dengan baik, seperti pasien tumor otak yang harus menjalani tindakan kraniotomi atau proses pembedahan otak.
Jalan keluarnya, rumah sakit menyediakan ruang operasi khusus bagi pasien non-Covid. “Selain itu para petugas medis menggunakan alat pelindung diri yang lengkap,” jelasnya.
Hal yang sama juga terjadi di Belgia. Presiden Parlemen Belgia, Jacques Brotchi mengatakan, rumah sakit di negaranya sempat mengalami dilema. Saat kebijakan lockdown mulai diberlakukan pada 17 Maret 2020, rumah sakit di Belgia hanya menerima pasien dengan status pasien kronis atau memerlukan operasi darurat.
Namun, kini semua teratasi. Pasien yang tidak masuk ke dalam kriteria tersebut, rumah sakit sudah membuka layanan konsultasi langsung. Selain itu, rumah sakit di Belgia juga dibagi menjadi dua bagian, yakni rumah sakit untuk pasien Covid-19 dan untuk yang bukan penderita Covid-19. “Kami tidak bisa berhenti menyelamatkan hidup,” terangnya.
Tetap layani pasien tidak terpapar Covid-19
Di AS, rumah sakit tetap melayani pasien yang tidak terpapar Covid-19 dengan selalu menerapkan protokol kesehatan. Hal itu diungkapkan dokter keluarga dari Kaiser Hospital, Los Angeles, AS, Lusiana Kartawidjaja.
Dia menjelaskan, petugas medis rumah sakit di AS dibuatkan tim untuk berjaga-jaga di ruang gawat darurat (UGD) dan ruang perawatan intensif (ICU). Mereka tetap melakukan pelayanan kesehatan jika ada kunjungan pasien non-Covid-19 dengan status gawat. Tim tersebut terbagi dari dokter spesialis, dokter umum, dan juga perawat.
Meskipun demikian, pelayanan rumah sakit untuk pasien umum juga dialihkan menjadi pelayanan dalam jaring (Daring) melalui telekonsul dan telemedicine. Hal ini dilakukan untuk menghindari penularan Covid-19 yang lebih luas.
Dokter dan perawat di AS juga beberapa kali melakukan kunjungan langsung ke rumah pasien untuk memeriksa kondisi mereka. Sebab, para dokter di sana juga khawatir dengan kondisi mental para pasien non-Covid-19 yang memiliki penyakit cukup berat. (B-BS/jr)