BENDERRAnews, 8/1/20 (Jakarta): Masih hangat dalam pembicaraan publik, bagaimana upaya keras para aktivis kebebasan beragama membongkar aksi pelarangan beribadah Natal di Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Upaya mereka berhasil mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan termasuk pemerintah (khususnya Kemendagri), MUI, PB NU dan PP Muhammadiyah, yang berujung pada dibolehkannya warga Kristiani merayakan Natal setelah sempat dilarang sejak beberapa tahun lalu.
Namun ada info terkini yang menyebutkan, Direktur Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka), Sudarto, ditangkap oleh polisi dari Polda Sumatera Barat pada Selasa, 7 Januari 2020.
Aktivis kebebasan beragama ini ditangkap lantaran diduga sebagai penyebar informasi yang menimbulkan kebencian. Penangkapan terhadap Sudarto dilakukan oleh Polda Sumatera Barat berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/77/K/XII/2019/Polsek pada tanggal 29 Desember 2019 atas nama Harry Permana.
Dalam laporan polisi tersebut, pelapor merasa terkejut melihat postingan Sudarto yang bilang ada pelarangan ibadah Natal. Namun pelapor mengecek surat Walinagari mengatakan, tidak ada pelarangan ibadah. Yang ada dilarang membawa jemaah dari luar Sikabu untuk beribadah.
Tidak ada perintah Pengadilan
Berdasarkan keterangan Direktur LBH Padang, Wendra Rona Putra, Sudarto ditangkap pada Pukul 13.15 WIB, 7 Januari 2020 di Kantor Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka). Sebelum ditangkap oleh Polda Sumatera Barat, Sudarto sempat ditelepon oleh salah satu orang yang tidak diketahui dan mengajak untuk bertemu di kantor Pusaka.
“Setelah ditunggu di kantor Pusaka, delapan anggota Polisi Daerah Sumatera Barat mendatangi Kantor Pusaka dan langsung menangkap Sudarto dengan memperlihatkan Surat Perintah Penangkapan: SP.Kap/4/I/RES2.5/2020/Ditreskrimsus. Dalam penangkapan tersebut, polisi yang melakukan penangkapan tersebut sempat akan menyita komputer yang ada di Pusaka, akan tetapi penyitaan tersebut ditolak oleh Sudarto, karena tidak ada perintah dari pengadilan,” ujar Wendra dalam keterangannya, Rabu (8/1/20).
Penangkapan ini ditengarai akibat kritikan terkait dugaan pelarangan ibadah Natal di Nagari Sikabau Kabupaten Dharmasraya. Kasus pelarangan perayaan Natal di Nagari Sikabau atas balasan surat pemberitahuan dari Pemerintahan Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya yang berisi, “pemerintahan Nagari merasa keberatan/tidak memberikan izin pelaksanaan kegiatan Ibadah Natal Tahun 2020 dan Tahun Baru 2020 untuk melakukan ibadah yang bersifat terbuka dan berskala jemaat yang banyak agar melaksanakan dan merayakan di luar wilayah hukum Pemerintahan Nagari dan adat-istiadat wilayah Sikabau.”
Dalam surat balasan tersebut, jika umat Kristiani di Nagari Sikabau yang ingin melaksanakan ibadah Natal agar dilaksanakan secara individual di rumah masing-masing.
Bentuk pembungkaman demokrasi
Wendra menilai, penangkapan terhadap Sudarto merupakan salah satu bentuk pembungkaman demokrasi di Indonesia.
“Pemakaian pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik terus dilakukan oleh negara untuk membungkam suara-suara kritis dalam menyuarakan hak-hak masyarakat yang ditindas dan dikucilkan untuk menjalankan agama yang dipercayai.”
“Tentunya penangkapan Sudarto sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi ke depan terlebih dalam isu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata Wendra yang juga menjadi penasehat hukum Sudarto.
Tanpa prosedur pemanggilan
Wendra juga menilai terdapat kejanggalan dalam penangkapan Sudarto. Pasalnya, Sudarto sebelumnya tidak pernah dipanggil oleh Polsek, Polres Dharmasraya dan Polda Sumatera Barat.
“Penangkapan terjadi tiba-tiba tanpa prosedur pemanggilan terlebih dahulu telah melanggar ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang mengamanatkan sebelum penangkapan mestinya dilakukan upaya paksa pemanggilan,” tandasnya.
Karena itu, kata Wendra, Koalisi Pembela HAM Sumbar mengecam tindakan Polda Sumatera Barat yang diduga melakukan kriminalisasi terhadap Sudarto. Pihaknya mendesak agar Sudarto segera dibebaskan.
Disebutnya, sejatinya penjara diperuntukkan bagi orang -orang yang melanggar hak asasi orang lain. Di antaranya yang menghambat aktivitas peribadatan bagi umat beragama.
“Polda jangan penjarakan orang-orang yang memperjuangkan hak atas beribadah orang lainnya karena tentunya setiap orang berhak memeluk, menyakini dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Semestinya penjara itu diperuntukkan bagi orang yang membuat hak orang lain terpenjara. Kami tahu Sudarto adalah orang memperjuangkan kebebasan beribadah orang lain bukan malah menghambatnya. Tindakan polisi ini dikhawatirkan semakin memberi ruang untuk terus berkembangnya intoleransi di Sumatera Barat,” demikian Wendra Rona Putra, seperti dilansir BeritaSatu.com.
Terancam ditahan polisi
Pihak Polda Sumatera Barat menangkap program manajer Pusat Studi Antar Komunitas, Sudarto tersebut, diduga karena ‘posting’-annya di akun facebook milikya pada tanggal 14 Desember 2019 lalu.
Lelaki yang beralamat di Perumnas Belimbing, Kuranji, Kota Padang itu diketahui memosting beberapa hal terkait ibadah Natal di Dharmasraya. Beberapa postingannya dinilai polisi berisi penyebaran ujaran kebencian/permusuhan SARA.
Kabid Humas Polda Sumbar, Kombes Stefanus Satake Bayu Setianto, mengatakan, tersangka yang ditangkap Selasa (7/1/20) kemarin masih belum resmi dikenakan penahanan.
“Masih diperiksa oleh Dit Krimsus nanti keputusannya apa akan ditahan atau tidak akan kami update,” kata Stefanus saat dihubungi BeritaSatu.com Rabu (8/1/20).
Sudarto yang lahir pada 27 Oktober 1974 dan beragama Islam ini memang berbicara kencang soal pelarangan Natal di Dharmasraya. Termasuk hadir dalam jumpa pers bersama Setara Institut di Jakarta, 21 Desember lalu.
Dia dijerat Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU RI no 19/2016 tentang perubahan atas UU no 11/2008 tentang ITE dan atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 UU no.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Polisi menyita sejumlah barang. bukti seperti Samsung J6 PRO dan screenshot postingan akun facebook atas nama Sudarto Toto. Kasus ini dilaporkan oleh Harry Permana. Polisi telah memeriksa ahli bahasa dan ITE dalam kasus ini.
Belum jelas bagian mana dari postingan Sudarto yang dipermasalahkan polisi. Namun salah satu yang diposting berbunyi: Sodarah-sodarah darifada hiduf kelen direbetin sertifikasi halal sejak dari halal park, kulkas hingga makanan kucing. Terus setiap Desember teriak2 ucapin natal haram, Januari teriak tahun baru masehi haram, Februari valentin haram. Pokok 1 tahun full ada aja yg diharamin. Yuk ikut aģama ana, agama lokal, nggak ribet.
Juga ada postingan sebagai berikut : “DIBUKA LOWONGAN AGAMA BARU GUEH NABINYA.”
Pelanggaran di era Jokowi
Sementara itu, catatan terkini dari Setara Institute mencatat sebanyak 864 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan selama era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Disebutkan, dari 864 peristiwa tersebut, 1.060 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) dalam rentang waktu November 2014 sampai Oktober 2019.
“Sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi, terjadi rata-rata 14 peristiwa dengan sekitar 18 tindakan pelanggaran KBB setiap bulan,” ujar Direktur Riset Setara, Halili, saat diskusi bertajuk “Kondisi dan Proyeksi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia” di Hotel Ibis, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/1/20).
Disebut Halili, angka tindakan pelanggaran KKB selalu lebih tinggi dibandingkan peristiwanya. Pasalnya, dalam sebuah peristiwa pelanggaran, dimungkinkan terjadi lebih dari satu tindakan pelanggaran.
“Kami juga mencatat bahwa Jawa Barat dan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan peristiwa pelanggaran KBB tertinggi, Jawa Barat 154 peristiwa pelanggaran dan DKI Jakarta terjadi 114 peristiwa pelanggaran KBB,” ungkap Halili.
Menyusul Jawa Timur dengan 92 peristiwa, Aceh 69 peristiwa, Jawa Tengah 59 peristiwa, Yogyakarta 38 peristiwa, Banten 36 peristiwa, Sumatera Utara 28 peristiwa, Sulawesi Selatan 31 peristiwa, dan di Sumatra Barat 19 peristiwa pelanggaran KBB.
Didominasi aktor nonnegara
Pelanggaran KBB tersebut, lanjut Halili didominasi aktor nonnegara, yaitu sebanyak 613 tindakan. Sedangkan angka pelanggaran oleh aktor negara tercatat 447 tindakan.
“Dalam berbagai peristiwa pelanggaran KBB yang terjadi, menempatkan individu, warga, dan umat Kristiani sebagai korban dalam ratusan peristiwa. Individu yang menjadi korban sebanyak 193 peristiwa, warga 183 peristiwa, dan umat Kristiani 136 peristiwa,” pungkas Halili.
Daftar 10 Aktor Non-Negara dengan Tindakan Pelanggaran KBB Tertinggi:
1. Kelompok warga: 171
2. Ormas Keagamaan: 86
3. Majelis Ulama Indonesia (MUI): 64
4. Individu: 71
5. Front Pembela Islam (FPI): 48
6. Ormas: 24
7. Forum Umat Islam (FUI): 12
8. Perusahaan: 13
9. Tokoh Agama/Masyarakat: 13
10. Gerakan Pemuda (GP) Ansor: 8
Daftar 10 Aktor Negara dengan Tindakan Tertinggi
1. Pemerintah Daerah: 157
2. Kepolisian: 98
3. Institusi Pendidikan: 35
4. Satpol PP: 33
5. Pengadilan: 18
6. Kejaksaan: 17
7. TNI: 11
8. Kementerian Agama: 14
9. Wilayatul Hisbah: 19
10. Pemerintah Desa: 5
Daftar 10 Kelompok Korban dengan Peristiwa Tertinggi:
1. Individu: 193
2. Warga: 183
3. Umat Kristiani: 136
4. Syiah: 81
5. Ahmadiyah: 63
6. Umat Islam: 47
7. Gafatar: 45
8. Aliran Keagamaan: 44
9. Pelajar/Mahasiswa: 41
10. Aparatur Sipil Negara: 25
Gangguan atas rumah ibadah sepanjang periode pertama Presiden Jokowi:
1. Gereja: 51
2. Masjid: 27
3. Rumah Ibadah Kepercayaan: 22
4. Klenteng: 13
5. Pura: 5
6. Vihara: 1
Sumber: Hasil Riset Setara Institute (B-BS/jr)