BENDERRAnews, 21/8/19 (Jakarta): Peneliti LIPI, Dr Adriana Elisabeth, MSoc.Sc, mengingatkan, Papua kembali bergejolak pascainsiden yang menimpa sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang pada akhir pekan lalu. Namun demikian diyakini, gejolak yang terjadi di Papua merupakan akumulasi dari berbagai persoalan yang selama ini belum dituntaskan.
“Kasus kemarin itu akumulasi dari banyaknya persoalan yang belum diselesaikan sampai sekarang. Jadi masyarakat mudah terprovokasi. Intinya, kalau kita tidak punya masalah diprovokasi juga tenang-tenang saja kan,” kata Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI ini, Rabu (21/8/19) di Jakarta.
Dr Adriana yang juga Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) dan memfasilitasi dialog antara masyarakat Papua bersama Pemerintah itu menegaskan, selain masalah identitas kepapuaan dimana secara verbal direndahkan, ada banyak persoalan lain terjadi di Papua.
“Masalahnya itu terkait identitas kepapuaan yang menurut saya secara verbal itu direndahkan. Kemudian, kalau kita kaitkan isu ekonomi di Papua banyak didominasi kelompok kelompok non-Papua. Ini kan juga memicu kecemburuan sosial,” ungkapnya.
Kecemburuan sosial
Faktor kecemburuan sosial tampak ketika Papua bergejolak. Ketika itu, sasaran amuk massa dilakukan terhadap tempat-tempat usaha milik warga pendatang. Walaupun, dalam kehidupan sehari-hari, hubungan di antara kelompok pendatang dengan warga asli Papua cukup harmonis.
“Ekspresi kerusuhannya juga mereka merusak tempat tempat-tempat usaha. Itu menunjukkan mereka tidak suka dengan kelompok pendatang. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari relatif harmonis, cuma karena persoalan itu tidak selesai, ada pemantiknya sedikit itu bisa menjadi besar,” ungkapnya lagi.
Selain itu, akar persoalan lain yaitu terkait persoalan persoalan masa lalu. Di antaranya masalah pelanggaran HAM dan merasa mendapat perlakuan tidak adil. Semua itu kemudian memicu gejolak yang terjadi di bumi Papua.
Dikatakan Adriana, selama ini pembangunan infrastruktur dan konektivitas di Papua memang terus dilakukan. Namun demikian, masyarakat Papua tidak pernah diajak dialog apakah yang menjadi keinginannya selama ini.
“Mereka (rakyat Papua) pernah ditanya atau tidak? Ibarat keluarga, pemerintahnya orang tua. Papua itu anaknya. Mereka dikasih uang, makan, pendidikan kesehatan. Namun tidak ada quality time. Tidak pernah diajak bicara kamu suka tidak, sakit hati tidak, nyaman atau apa,” ujarnya.
Adriana mengingatkan, jika kondisi ini dibiarkan, akan sangat berbahaya. Karena, sekecil apapun pemantik masalahnya, sehingga mudah menjadi besar dan sulit dipadamkan.
“Ini kan bahaya. Seolah Papua itu gampanglah, dikasih ini itu beres. Yang jadi besar isu-isu pelanggaran HAM, rasial, dimarginalkan. Ini persoalan-persoalan yang tidak pernah diurus. Mereka butuh didengar dan ditanya,” kata Adriana Elisabeth, seperti diberitakan Suara Pembaruan. (B-SP/BS/jr — foto ilustrasi istimewa)