BENDERRAnews, 30/7/19 (Jakarta): Di saat berlangsungnya musim kemarau, ternyata tak hanya memberikan dampak kekeringan. Sebab, minimnya curah hujan membuat polutan dari emisi gas buang kendaraan bermotor dan debu yang berterbangan karena tanah mengering terkungkung di udara. Padahal dengan air hujan, polutan akan meluruh.
Beberapa negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Thailand melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk meluruhkan polusi udara. Di Indonesia, TMC baru dilakukan sebatas hujan buatan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) serta bencana kekeringan.
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Tri Handoko Seto mengatakan, selain untuk kekeringan TMC bisa pula digunakan untuk memecah konsentrasi polusi di udara. Untuk polusi udara, TMC yang dibutuhkan khusus karena sangat lokal dan berat. Ia mengibaratkan, awan harus dicuci sehingga polutan berkurang.
“Terkait polusi udara, BPPT belum melakukan tindakan apapun, namun baru sebatas memberikan konsultasi teknologi. Tapi kami siap jika diminta,” katanya di Jakarta, Senin (29/7/19).
Gunakan es kering
TMC untuk polusi ini berbeda halnya dengan TMC untuk mengatasi kekeringan dan Karhutla. TMC untuk Karhutla menggunakan garam halus untuk menyemai awan dan memaksanya menjadi awan hujan. Sedangkan TMC untuk polusi udara justru menggunakan es kering.
Es kering (dry ice) ini berupa kapsul yang berisi karbondioksida untuk mengganggu awan dan atmosfer yang stabil sehingga sedikit demi sedikit berubah dari kestabilannya dan membuat polutan terangkat ke atas.
“Saat musim kemarau, atmosfer akan stabil karena temperatur udara semakin ke atas semakin stabil sehingga merangkap polutan. Dengan menebar dry ice, lapisan yang stabil itu kita bongkar,” paparnya.
Disebutnya, upaya TMC ini akan jauh lebih signifikan ketimbang menyemprotkan air dari udara atau puncak gedung.
Proses TMC ini diawali dengan mengukur udara vertikal ketinggian 5.000 kaki. Ketika ditemukan ada udara stabil, es kering akan ditabur. Operasi ini juga menggunakan pesawat yang serupa ketika melakukan TMC hujan buatan.
Pesawat jenis Cassa bisa digunakan dengan ketinggian terbang 8.000-12.000 kaki. Upaya menebar es kering juga bergantung ketebalan awan bisa lebih dari dua kali penerbangan.
Tanam pohon
Seto mengungkapkan, TMC untuk mengatasi polusi udara ini merupakan langkah jangka pendek. Ke depan, katanya, harus ada langkah jangka panjang untuk mengurangi polusi udara. Upaya itu antara lain mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke kendaraan umum.
“Perlu pula menanam pohon untuk menyerap polutan. Tiap gedung-gedung tinggi pun bisa menanam di atasnya dan membuat pancuran air yang membuat sirkulasi udara,” ujarnya.
Untuk biaya TMC atasi polusi, tim TMC sudah punya kerangkanya. Biaya layanan TMC akan masuk ke kas negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak. Sementara itu, ada juga mekanisme swakelola, di mana BPPT tinggal melakukan TMC, tanpa ikut mengatur aspek pembiayaannya.
Ia memperkirakan untuk TMC mengatasi polusi di kota besar biaya per harinya bisa mencapai Rp130 juta-Rp150 juta.
Baginya, TMC untuk polutan ini adalah teknologi yang relatif baru. Ia berharap ada partisipasi juga dari pemerintah daerah dan swasta untuk meningkatkan kemampuan teknologi ini. Salah satunya ketika teknologi ini diimplementasikan.
“Kita siap bantu Jakarta kalau diminta. Jika memang TMC untuk polutan ini mau digunakan, kami senang sekali,” ujarnya.
Sementara itu terkait upaya menekan dan mengurangi polusi perlu juga dilakukan dengan mengubah bahan bakar bahkan memakai kendaraan berbasis listrik.
Beralih ke euro 6
Direktur Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe mengatakan, saat ini banyak kendaraan menggunakan euro 4, seharusnya sudah beralih ke euro 6.
“Butuh teknologi tinggi memang, teknologi kendaraan perlu berubah. Tapi pelan-pelan memang harus berubah. Kendaraan lama di atas 15 tahun sudah tidak boleh lagi misalnya,” paparnya.
Di samping itu, untuk menekan polusi, batasi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan massal dan angkutan massal berbasis listrik.
Hal yang perlu juga dipikirkan adalah kehadiran pembangkit listrik tenaga nuklir yang bisa menggantikan pembangkit batubara yang masih menyumbang emisi dalam pengoperasiannya.
“PLTN harus jadi, kita dorong iptek nuklir ini. Persepsi yang menakutkan dari masyarakat soal nuklir harus kita ubah. Secara teknologi kita sudah siap,” tandasnya, seperti diberitakan Suara Pembaruan, dan dilansir BeritaSatu.com. (B-SP/BS/jr)