BENDERRAnews, 28/12/18 (Manado): Butuh tiga dekade, tepatnya sejak Harian Pagi CAHAYA SIANG (edisi akhir dasawarsa 1980-an hingga awal 1990-an, Red) bertubi-tubi menurunkan artikel tentang “Cap Tikus, gin tonic Minahasa”, akhirnya kini minuman legendaris Orang Minahasa benar-benar sah bisa dijual resmi di outlet khusus di Kompleks Bandar Udara Internasional “Sam Ratulangi’, Mapanget, Manado, Sulut.
Wakil Sekretaris DPD Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP) Sulawesi Utara (Sulut), Rudolf Heinrich Warouw, mengatakan, pihaknya dan institusi DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulut, pimpinan Nicho Lieke kini bisa mengeksiskan “Cap Tikus” sebagai trade mark resmi, dan tidak lagi dianggap ‘barang haram’ untuk dibawa dengan menumpang pesawat terbang.
Produk dengan merek “CAP TIKUS 1978” dan ada tulisan #CapTikusLegal ini merupakan komoditas baru yang bisa diandalkan oleh rakyat Minahasa khususnya, Provinsi Sulut pada umumnya.
“Owner-nya secara resmi Bapak Nicho Lieke, yang juga Ketua DPD Apindo Sulut, dan salah satu Dewan Pembina DPD GPPMP Sulut,” kata Heinrich yang menempati posisi sebagai Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional DPD Apindo Sulut.
Heinrich yang ‘terlibat’ langsung dalam proses ‘menghalalkan’ produk hasil derivasi air dari mayang pohon enau ini, agar bisa sah dijual resmi, mengatakan, tantangannya memang cukup banyak. Tetapi, lebih banyak dukungannya, terutama dari kalangan petani dan pengrajin Cap Tikus, serta para penggiat masyarakat setempat.
Sekedar tambahan informasi, sejak tiga dekade silam, terutama ketika ada media yang terus ‘membombardir’ dengan tulisan-tulisan investigatif berbasis kultur, ekonomi serta sosial kemasyarakatan, bahkan didukung oleh opini-opini teologis, mulai banyak intitusi non pemerintah mencoba memperjuangkan lahirnya produk Cap Tikus.
Salah satunya juga Ormas GPPMP, yang baik secara organisasi maupun melalui fungsionarisnya telah berupaya melakukan sejumlah aksi konkret, untuk melahirkan ‘Cap Tikus, gin tonic Minahasa’ ini.
“Ini penting, agar para produsen di beberapa kecamatan di Tanah Minahasa Raya (antara lain di kecamatan Motoling, Tombatu, Langowan, Kakas, Tatelu, dll) tidak merasa selalu sebagai sumber petaka, karena banyak yang menyalahgunakan perdagangan cap tikus yang belum diproses secara higenis,” katanya lagi.
Diserbu turis
Ternyata, berdasarkan laporan yang diterima redaksi, penjualan perdana di area keberangkatan Bandara Udara (Bandara) Sam Ratulangi mendapat sambutan positif, bukan saja dari para warga Indonesia, tetapi utamanya kalangan turis asing.
“Para wisatawan mancanegara (Wisman) yang selesai berwisata di Sulut rata-rata mengoleksi beberapa botol tiap orang. Ini pertanda positif, agar “CT 1978″ ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Namun juga dapat dibeli oleh wisatawan domestik yang akan berangkat ke berbagai kota tujuan,” ujarnya.
Harganya Rp80.000 per botol, dan hanya bisa beli maksimal dua. Tetapi, ada saja yang dengan caranya bisa memborong lebih dari itu.
“Asalkan dimasukkan dalam bungkusan yang di-‘wrapping’, tidak akan dibeslah,” demikian petugas Bandara Sam Ratulangi.
Sementara Heinrich Warouw dkk berharap, dengan mulainya “CT 1978” ini masuk pasaran, dapat memberi efek kepada peningkatan produksi, perluasan lapangan kerja serta adanya pertumbuhan ekonomi regional. (B-hw/jr)