BENDERRAnews, 13/10/18 (Jakarta): Indonesia, khususnya di Bali, pada 8-14 Oktober ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tahunan Dana Moneter Interasional (IMF)-Bank Dunia. Pro-kontra terjadi karena beberapa hal.
Pertama, stereotype negatif terhadap IMF yang selama ini dianggap sebagai instrumen kolonialisme sistem kapitalisme modern.
Kedua, karena Indonesia tengah berada pada situasi bencana beruntun. Oleh karenanya, sebagian pihak berpendapat agar uang penyelenggaraan annual meetings yang relatif besar bisa dialihkan untuk penanganan bencana.
Ketiga, soal berapa sebenarnya manfaat yang bisa didapatkan Indonesia dari penyelenggaraan ini. Tema terakhir inilah yang menarik untuk dikaji.
Posisi IMF
Beberapa waktu lalu, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, bahwa Indonesia bisa mendapatkan manfaat dari keikutsertaan dan penyelenggaraan annual meetings IMF, salah satunya kesempatan untuk memengaruhi kebijakan moneter dunia.
Pernyataan Chatib Basri ini menarik karena dua hal. Pertama, Chatib Basri adalah menteri keuangan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang “membela” Jokowi dari kritik tajam mengapa Indonesia harus menjadi penyelenggara.
Kedua, pernyataan Chatib ini perlu dieksplorasi lebih jauh, apalagi di saat dunia sedang dilanda perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok akhir-akhir ini.
Pertanyaan pertama tentu saja berkaitan dengan di mana sebenarnya posisi IMF dalam perang dagang tersebut dan apa implikasinya. Apakah IMF berada pada posisi netral, ataukah punya keberpihakan di salah satu pihak?
Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, sepekan lalu menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak perang dagang tersebut. Menurutnya perang dagang mengancam proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang semula diprediksi sebesar 3,9 persen. Target itu kemungkinan tidak akan tercapai, salah satunya karena dampak negatifnya terhadap negara-negara berkembang. Oleh karena itu Lagarde mengimbau agar semua pihak menahan diri dan kembali kepada perdagangan yang lebih terbuka.
Secara historis, IMF terbentuk sebagai implementasi keinginan negara-negara dunia, terutama negara dominan, mengenai perlunya sebuah tatanan ekonomi dunia yang lebih stabil.
Dalam ekonomi politik, IMF seringkali ditempatkan sebagai salah satu bentuk pelembagaan globalisasi ekonomi dengan ideologi pasar bebas. IMF bersama Bank Dunia mempunyai misi untuk menjadi stabilsator sistem moneter dunia agar tercipta pertumbuhan yang membawa kesejahteraan di seluruh dunia.
Meskipun IMF secara formal mempunyai tujuan yang bagus, namun berbagai pihak menuduh IMF tak lain dari perpanjangan kepentingan negara maju, khususnya negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, terhadap negara miskin.
Dalam tuduhan yang lebih kasar, pihak-pihak yang tidak setuju terhadap IMF mengatakan bahwa lembaga itu adalah alat imperialisme Amerika Serikat dan sekutunya.
Sejak ada IMF, kata mereka yang kontra, negara-negara berkembang justru sering terjebak dalam kesulitan keuangan jangka panjang. Bahkan ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa IMF adalah rentenir bagi negara miskin dan berkembang. Ini terbukti dari pengalaman banyak negara termasuk Indonesia.
Dengan latar belakang seperti itu, kritikus-kritikus menilai IMF tidak akan memberikan sikap yang objektif, apalagi mendukung kepentingan negara-negara berkembang.
Di Indonesia, ada sementara pihak yang mengembangkan sikap antipati terhadap IMF. Fenomena serupa juga terjadi di belahan dunia yang lain, khususnya di negara-negara berkembang.
Di Tengah Perang Dagang
Jadi, di manakah posisi IMF dalam perang dagang ini? Pertanyaan ini menarik karena dua hal.
Pertama, perang dagang yang membawa ide-ide proteksionisme ini justru dicetuskan oleh Amerika Serikat, sang biang ideologi pasar bebas.
Kedua, umumnya orang menganggap bahwa IMF adalah alat negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat yang artinya bahwa IMF ini juga membawa ideologi pasar bebas. Ke mana posisi IMF akan tertuju, dan apa manfaatnya bagi negara berkembang seperti Indonesia?
Indonesia sendiri bertahun-tahun melakukan berbagai upaya agar bisa menyesuaikan diri dengan sistem pasar bebas. Pada periode terbaru bahkan Indonesia telah menjalin berbagai kesepakatan perdaganan bebas baik secara bilateral maupun multilateral.
Namun demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia tak selamanya mendapat manfaat dari perdagangan bebas ini. Hubungan perdagangan asimetris kerap dihadapi Indonesia.
Negara-negara kuat menuntut terbukanya pasar Indonesia bagi pemasaran produk negara maju. Sebaliknya produk Indonesia justru dibatasi baik oleh mekanisne tariff barrier maupun non-tariff barrier. Indonesia juga menghadapi tuntutan Amerika Serikat karena membatasi produk-produk negara adidaya tersebut.
Kebijakan perdagangan memang berbeda dengan kebijakan moneter, tetapi keduanya berkaitan erat. Perang dagang yang terjadi telah menimbulkan guncangan dalam sistem keuangan dunia. Rupiah sendiri telah terdepresiasi hingga belasan persen terhadap dolar AS.
Dalam kerangka itu, tuntutan dari negara-negara berkembang sebenarnya sama saja, baik dalam hal kebijakan perdagangan maupun kebijakan moneter dunia, yaitu bukan hanya ada kesetaraan, tetapi juga afirmasi agar terjadi hubungan yang lebih demokratis dalam sistem ekonomi dunia.
Dengan iklim yang semakin demokratis diharapkan ekonomi dunia akan tumbuh semakin baik dan baik pula dampaknya bagi seluruh negara, termasuk negara berkembang.
Itulah misi yang terus diperjuangkan, termasuk oleh Indonesia. Apakah misi itu mungkin di tengah bangkitnya proteksionisme di seluruh dunia dan mekanisme pengambilan keputusan IMF yang didominasi negara-negara maju?
Ada yang pesimistis, ada pula yang optimistis. Idealnya kita semua harus memilih sikap yang optimistis. Tentu kita tidak bisa semata-mata mengharapkan kebaikan hati dari negara-negara besar. Kita sendiri yang harus berusaha keras untuk ikut memberikan pengaruh.
Sebagaimana semua institusi, IMF juga punya dinamika yang memungkinkan perubahan. Gejolak ekonomi dunia ini pasti ditanggapi berbeda-beda oleh setiap negara. Amerika Serikat tidak selalu didukung oleh negara-negara Eropa, begitu sebaliknya.
Sepertinya akan ada perimbangan baru dari Eropa, Rusia, dan Tiongkok.
Dominasi Amerika Serikat yang digunakan Trump akan mendapatkan reaksi penyeimbang baru.
Sebagai bagian dari negara berkembang, Indonesia bisa memanfaatkan semua kesempatan dari dinamika itu untuk ikut mengarahkan kebijakan keuangan global.
Di sinilah diplomasi ekonomi Indonesia diuji. Sejauhmana Indonesia mampu mengorganisasi suara-suara alternatif agar bisa mengambil peran di antara kekuatan-kekuatan besar tersebut.
Kita yakin kita bisa karena ada banyak negara berkembang yang juga sepaham dengan Indonesia. Bertempat di Bali, kita berharap akan ada perspektif baru dari negara-negara peserta mengenai tatanan ekonomi dan keuangan global yang lebih mencerminkan keadilan dan memberi landasan pertumbuhan yang lebih stabil dalam jangka panjang.
Negara-negara berkembang harus mengingatkan negara besar bahwa masa depan ekonomi dunia hanya akan cerah jika seluruh bangsa bekerja dan berkolaborasi secara setara. Kebijakan moneter dunia harus memungkinkan seluruh bangsa berkembang secara optimal dalam iklim yang terbuka. (B-BS/jr)
*) Tulisan opini ini telah disadur dari ‘BeritaSatu.com’, Edisi Rabu (10 Oktober 2018), dengan judul asli: “Pertemuan Tahunan IMF”,
**) Penulis adalah doktor ilmu politik Universitas Indoensia (UI), kini dosen Universitas Pelita Harapan (UPH), juga aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan maupun politik, di antaranya sebagai Wakil Ketua Umum DPP Generasi Penerus Perjuangan Merah Putih 14 Februari 1946 (GPPMP), dan kolumnis Suara Pembaruan.