BENDERRAnews.com, 9/12/24 (Manado): Kembali para ‘mafia tanah’ beraksi di Manado. Hal ini berkaitan dengan dugaan manipulasi ‘plotingan’ tanah, dimana diduga oknum Johan bermain di balik kebijakan BPN Manado.
Akibat dugaan permainan “mafia tanah’ di balik sertifikat baru, terkait kasus manipulasi tanah di kawasan Kairagi Dua, masalah itu kembali memanas.
Sebagaimana dilansir sejumlah media di Manado tang dikutip Senin (9/12/24), praktik manipulasi ‘Plot Tanah’ yang diduga melibatkan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manado itu kembali menjadi perhatian publik. Yakni, setelah seorang warga, Rosye Sondakh, berencana melaporkan dugaan kecurangan dalam proses pemetaan tanah miliknya.
Disebutkan, adanya dugaan keterlibatan oknum BPN dalam memindahkan lokasi tanah milik Rosye demi menguntungkan pihak lain yang diduga merupakan bagian dari jaringan mafia tanah. Dan hal ini memicu keresahan masyarakat setempat.
Kepada sejumlah media, termasuk Baraksulut.com, Rosye belum lama berselang mengungkapkan, tanahnya yang berlokasi di Kelurahan Kairagi Dua, Manado, tiba-tiba “berpindah” lokasi sesuai sertifikat baru sebagaimana diterbitkan atas nama pihak lain, yakni Johan.
Seperti dikatakan Rosye, tanah tersebut awalnya berada di dalam hamparan yang menjadi bagian dari kepemilikan Johan. Tetapi, dalam sertifikat terbaru, tanah itu dipindahkan ke lokasi baru yang secara mengejutkan berada di tengah jalan umum.
Akibat kejadian ini, tidak hanya merugikan dirinya secara material, tetapi juga melanggar hak dasarnya sebagai pemilik sah tanah tersebut.
“Saya punya bukti kuat tentang lokasi tanah saya yang asli, termasuk dokumen-dokumen resmi dan rekaman percakapan dengan pihak BPN yang sebelumnya mengakui posisi awal tanah tersebut. Tapi sekarang, entah kenapa, lokasinya bisa berpindah. Apa ini murni kesalahan administrasi atau ada permainan di balik layar?” ujar Rosye dengan nada geram, saat awak media mewancarainya baru-baru ini.
Manipulasi sistematis
Selanjitnya, dugaan keterlibatan Johan dan oknum BPN dalam kasus tersebut semakin menguat setelah Rosye menemukan indikasi adanya manipulasi sistematis.
Lalu, didukung oleh tim kuasa hukumnya, Rosye memaparkan beberapa potensi pelanggaran hukum yang terjadi dalam proses ini, termasuk kemungkinan pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BPN.
Selanjutnya, tim kuasa hukum Rosye merinci beberapa pelanggaran hukum yang diduga dilakukan oleh Johan dan oknum BPN:
1. Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP)
Jika terbukti memalsukan dokumen seperti sertifikat tanah, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara hingga enam tahun. Sertifikat tanah yang diterbitkan atas nama Johan dengan lokasi berbeda menjadi fokus utama investigasi ini.
2. Pelanggaran Undang-Undang Agraria
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, BPN memiliki kewajiban untuk menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negara. Namun, manipulasi lokasi tanah justru bertentangan dengan prinsip dasar tersebut.
3. Maladministrasi dalam Keputusan Publik
Pelanggaran Pasal 17 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menjadi sorotan. Keputusan sepihak oleh oknum BPN yang diduga melibatkan konflik kepentingan membuka peluang untuk pemberian sanksi administratif, hingga pemberhentian jabatan.
4. Penggelapan Hak atas Tanah (Pasal 385 KUHP)
Menghilangkan hak atas tanah orang lain secara melawan hukum merupakan tindak pidana berat dengan ancaman hukuman penjara hingga empat tahun.
Rosye dan tim kuasa hukumnya saat ini tengah mempersiapkan laporan resmi yang akan diajukan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Utara. Selain itu, mereka juga membuka peluang untuk melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) demi membongkar kemungkinan jaringan mafia tanah yang beroperasi di balik layar.
Rosye juga berencana untuk menggugat secara perdata demi mendapatkan keadilan dan kompensasi atas kerugian yang ia alami.
“Saya yakin saya bukan satu-satunya korban. Banyak orang lain yang mungkin mengalami hal serupa, tetapi takut atau tidak tahu harus melapor ke mana. Saya mengajak mereka untuk bersuara bersama demi melawan ketidakadilan ini,” tambahnya.
Kasus ini memunculkan keprihatinan mendalam terkait praktik mafia tanah yang semakin menggerogoti sistem agraria di Indonesia.
Apabila dugaan terbukti, jaringan mafia tanah yang melibatkan oknum pejabat negara menunjukkan lemahnya pengawasan dan integritas lembaga yang seharusnya menjadi pelindung hak masyarakat.
Dirinya juga berharap kasus ini dapat menjadi titik balik dalam reformasi sektor agraria di Indonesia, terutama di BPN.
Ia juga mendorong masyarakat dan lembaga hukum untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan sertifikat tanah, termasuk digitalisasi sistem untuk meminimalkan peluang manipulasi.
Kini, seluruh mata tertuju pada langkah aparat penegak hukum dan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini dan memberikan rasa keadilan bagi korban. Jika tidak segera ditangani, kasus ini berpotensi memperburuk citra BPN dan memperkuat anggapan bahwa mafia tanah memiliki akar yang kuat di Indonesia. (Tim)