Oleh: Samuel Lengkey, S.H., M.H*
KAPOLRI tahun 1968 – 1971 Jenderal Hoegeng Iman Santoso menyatakan “baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik” pernyataan ini memberi tantangan terhadap citra polisi saat ini dimata masyarakat, mengingat Polisi adalah lembaga negara yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat, melalui berbagai pelayanan hukum dan administrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya setiap hari. Tanpa kehadiran polisi tingkat kriminalitas akan sangat tinggi, kejahatan mengancam masyarakat, kekacauan di jalan raya, masyarakat saling menghakimi, saling menyerang antar kelompok, kejahatan antar geng merajalela, tawuran antar warga dan berakhir kerusuhan, ini bayangan umum warga tanpa polisi dan polisi tanpa Kapolri yang tegas dan berwibawa.
Setiap Kapolri yang terpilih tentunya memiliki program terbaik yang dipaparkan di depan wakil rakyat untuk meyakinkan masyarakat bahwa Polri akan menjadi lebih baik, lebih bagus dan lebih profesional. Namun, semua program Kapolri baik untuk meningkatan kinerjanya dari pelayanan publik, profesional dalam penegakan hukum, memelihara kamtibmas, perbaikan citra polisi yang distigma koruptif, arogan dan sering bertindak secara eksesif penuh kekerasan, menentukan siapa, apa dan bagaimana polisi dalam benak masyarakat.
Saat ini polisi sedang diuji dengan musibah sekaligus tantangan yang sangat besar bagi institusi Polri, karena seorang Jendral yang diberi tugas untuk membina, mengawasi dan mempertanggungjawabkan kinerja semua polisi dalam menjalankan profesinya, ternyata terlibat langsung dalam rencana pembunuhan anak buahnya sendiri dan itu didasari hanya karena masalah pengaduan sepihak sang istri jenderal yang dilecehkan dan saat ini terus bersidang di semua media nasional secara langsung, selain dugaan pembunuhan berencana yang dikenakkan kepada Irjen Pol. Sambo, dia juga diduga dan dituduh sebagai Jenderal Polisi yang membacking peredaran judi dengan kode Konsorsium 303 judi online di Indonesia, semua campur baur antara fakta dan berita hoax yang dibumbui oleh berbagai motif untuk memperburuk citra polisi.
Ditengah kegaduhan dan konflik opini publik yang terpecah akibat kasus Irjen Pol. Sambo, masyarakat kembali di buat gempar dan kaget dengan kasus Narkoba yang diduga dilakukan oleh seorang Kapolda berpangkat Inspektur Jenderal yang baru saja diangkat menjadi Kapolda Jawa Timur dengan dugaan sebagai Jenderal yang membacking peredaran Narkoba di Indonesia. Kedua kasus ini membuat citra polisi yang begitu baik dan bagus, namun tiba-tiba hancur berantakan seperti balon udara yang sedang terbang, indah dilihat namun meledak diudara sehingga pecahannya melukai masyarakat yang sedang mengaguminya. Pada akhirnya semua polisi yang baik, bersih, tulus dan memiliki integritas dalam menjalankan tugas kepolisiannya dianggap sama kotornya dengan beberapa pejabat Polri yang melakukan kejahatan dan kesalahan.
Siapapun Kapolri yang sedang menjabat saat ini tentunya tak ingin peristiwa ini terjadi dimasa kepemimpinannya, dia menginginkan program yang sudah dicanangkan berakhir dengan sukses seperti Kapolri – Kapolri sebelumnya yang dapat menghakhiri jabatannya dengan sangat baik. Namun, peristiwa ini telah menguji kualitas kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo, hampir disetiap penampilannya di siaran berita dan konfrensi pers, raut wajah Kapolri menyimpan banyak perasaan berkecamuk secara mendalam, bicara salah, tak bicara salah, senyum salah sedihpun salah, semua menjadi serba salah dihadapan publik. Sampe peristiwa Presiden tidak menyalami Kapolri saat acara HUT TNI ke 77 menjadi viral dan ditafsirkan secara negatif oleh nitizen (warga internet).
Tentu tak semua Kapolri mampu menghadapi situasi ini, demi kepentingan institusi Polri maka dia wajib menunjukkan sikap tenang didepan media, memilih kalimat yang tepat dalam setiap menjawab pertanyaan media yang kritis dan tajam, berusaha untuk selalu tampil berwibawa ditengah sorotan masyarakat, karena sikap Kapolri menentukan arus deras opini publik yang sedang menerjang Polri. Jika Kapolri lemah dan tak mampu membawa Polri keluar dari masalah ini maka akan berakibat buruk bagi Polri saat ini yang sedang diwacanakan untuk dikembalikan kedudukannya di bawah salah satu kementerian, apakah Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Pertahanan atau dikeluarkan dari wilayah struktur kekuasaan Presiden secara langsung.
Situasi ini membuat Kapolri seperti sedang berjalan ditengah jalan yang sempit dan terjal, penuh duri dan beling, kiri dan kanan adalah jurang tajam yang bisa membuat dia jatuh dan hancur. Walaupun letih, haus, dan nafas yang tersengal-sengal dia harus terus berjalan walaupun tertatih-tatih, Kapolri harus berjalan untuk mencapai puncak tujuan yang dia impikan. Ini beban yang sangat berat untuk dipikul sendirian oleh Kapolri untuk sampai ke puncak gunung, agar bisa melihat keindahan dibawahnya dan dipandang indah oleh orang-orang dibawah yang menanti-nanti datangnya momentum berakhirnya petaka ini.
Kamis 27 Oktober 2022, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo didatangi tamu-tamu luar biasa, mereka adalah para senior Polri yang pernah menjadi Kapolri dan mampu membawa Polri melewati berbagai krisis sosial politik, bahkan beberapa Kapolri tersebut mampu mengatasi ancaman disintegrasi bangsa Indonesia pada kepemimpinannya. 7 mantan Kapolri yakni Jenderal Pol. (Purn) Roesmanhadi (Kapolri tahun 1998-2000), Jenderal Pol. (Purn) Chaerudin Ismail (Kapolri tahun 2001), Jenderal Pol. (Purn) Da’i Bachtiar (Kapolri tahun 2001-2005), Jenderal Pol. (Purn) Soetanto (Kapolri tahun 2005-2008), Jenderal Pol. (Purn) Bambang Hendarso Danuri (Kapolri tahun 2008-2010), Jenderal Pol. (Purn) Timur Pradopo (Kapolri tahun 2010-2013), Jenderal Pol. (Purn) Badrodin Haiti (Kapolri tahun 2015-2016), dan beberapa purnawirawan Jenderal Polri yang tergabung dalam kepengurusan Persatuan Purnawirawan Polisi Republik Indonesia (PP Polri) yang dipimpin oleh Jenderal Pol. (Purn) Bambang Hendarso Danuri.
Kedatangan 7 mantan Kapolri yang pernah memimpin Polri dan membawa Polri keluar dari berbagai kemelut internal pada masanya, bukanlah sebuah kebetulan dan silaturahim biasa, karena kehadiran para mantan Kapolri tersebut memberikan pesan yang tegas kepada masyarakat dan seluruh anggota Polri aktif yang sedang bertugas, bahwa mereka ada dibelakang Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kehadiran 7 mantan Kapolri tersebut, tentunya sudah dipersiapkan secara matang, terlihat dari keseragaman seragam yang dikenakkan saat mendatangi Mabes Polri, membawa catatan masing-masing untuk disampaikan ke Kapolri, menggunakan satu bus saja yang diisi oleh para mantan Kapolri dan hanya 2 mantan Kapolri yang berbicara saat konfrensi Pers. Hal ini terlihat sangat rapi dan terencana.
Inti pertemuan para mantan Kapolri dan Kapolri dapat disimpulkan dari pernyataan Jenderal Pol. (Purn) Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Pol. (Purn) Da’i Bachtiar yang menegaskan dengan 3 kalimat inti yakni 1. Purnawirawan terpanggil, 2. Memberikan masukan dan ke 3. Memberikan dorongan, semangat dan berpikir rasional. Dari pernyataan tersebut dapat memberi kesan kedatangan para mantan Kapolri tersebut karena adanya ancaman yang nyata bagi insitusi Polri akibat tindakan beberapa Jenderal aktif yang tindakannya telah menghancurkan citra Polri yang sudah baik sebelum kasus-kasus ini muncul dan situasi ini dapat membuat perpecahan ditengah pejabat Polri, karena banyaknya berita di media sosial yang menyatakan ini adalah perang para Jenderal lintas angkatan dan isu-isu tersebut membuat citra Polri tambah rusak, apalagi Kapolri saat ini dianggap Jenderal yang melompati empat (4) angkatan diatasnya sehingga para pimpinan Polri saat ini dianggap tidak loyal kepadanya.
Sebagai mantan Kapolri, para seniornya ini sudah melewati banyak perjalanan sejarah yang menguji eksistensi Polri dari jaman reformasi hingga saat ini dan ini membutuhkan masukan yang kritis, objektif berdasarkan pengalaman sejarah masing-masing Kapolri kepada Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Polri selalu dihadapkan pada masalah aktual yakni kondisi yang terjadi saat ini dan resiko yang akan terjadi bila salah mengambil keputusan dan dalam mengambil keputusan tersebut dibutuhkan masukan dari orang-orang berpengalaman, serta teruji untuk membawa Polri keluar dari berbagai kesulitan saat ini. Oleh karena itu, masukan 7 mantan Kapolri bisa memberi energi baru kepada Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai nahkoda Polri saat ini dan memberi sinyal bagi semua Jenderal aktif yang sedang bertugas bahwa Kapolri saat ini didukung penuh oleh para mantan Kapolri, serta semua Purnawirawan Polri yang tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Polisi Republik Indonesia (PP Polri) mendukung kebijakan Kapolri yang sedang melakukan pembenahan dan pembersihan di internal Polri, jadi siapapun tidak bisa menghalangi Kapolri untuk membuat Polri dicintai lagi oleh masyarakat.
Penegasan lebih lanjut para mantan Kapolri yang menyatakan memberikan dorongan, semangat dan berpikir rasional ditujukan kepada pribadi Kapolri, karena yang terlihat di media saat ini Kapolri seolah-olah hanya berdiri sendiri menghadapi gempuran media, sikap kritis publik, caci maki dan cemooh masyarakat yang tidak suka polisi, sehingga kehadiran para mantan Kapolri telah memberikan semangat baru secara pribadi Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ini menguatkan komitmen Kapolri untuk berani mengambil sikap yang tegas dan mampu menghadapi resiko dalam menjawab sikap publik, karena itu diperlukan pemikiran yang rasional agar tidak gegabah, tidak membuat keputusan berdasarkan pertimbangan emosi, mampu berpikir tenang untuk memberikan dampak ketenangan di semua pejabat Polri mulai dari Mabes Polri sampe Polsek yang sedang bertugas, serta mampu memotivasi semua anggota Polri untuk bersikap bijak dalam menghadapi masyarakat yang sering memancing para anggota Polri dilapangan untuk melakukan kekerasan dalam menegakkan hukum dan itu bisa semakin merugikan Polri.
Pada akhinya kondisi hubungan masyarakat dan citra Polri saat ini selaras dengan apa yang dinyatakan oeh Jenderal Hoegeng yakni “baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik”. Ungkapan ini bukan hanya berlaku bagi para anggota Polri yang sedang menjadi orang penting karena fasilitas dan jabatan yang diberikan negara kepadanya, namun berlaku juga bagi semua masyarakat, bahwa lebih penting menjadi orang baik, karena untuk menjadi orang baik, kita tidak perlu terlebih dahulu menjadi orang penting, harus memiliki jabatan atau kaya raya kemudian berbuat baik. Kita dapat menjadi orang baik, karena kita semua mampu berbuat baik dalam keadaan dan kondisi apapun kita, apakah kita memiliki jabatan atau tidak, kaya atau miskin, semua itu tidak menghalangi kita jika ingin menjadi orang baik. Kebaikan adalah lebih utama dari menjadi orang penting, karena dengan kebaikan yang kita lakukan maka kita sudah dijadikan orang penting bagi orang-orang yang merasakan kebaikan kita.
Semoga badai di rumah Polri cepat berlalu, Kapolri dengan beban berat dipundaknya dapat mendaki gunung kesulitan, hingga mencapai puncak gunung dan melihat keindahan dari atas gunung serta melihat orang-orang dibawah gunung melambaikan tangannya ke atas dan memberi tanda bahwa tragedi ini telah berakhir.
Maju terus Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
*Managing Partners Samuel Lengkey & Partners Law Firm
*Direktur Eksekutif Jaringan Analisis Strategis