Oleh Guntur Soekarno**)
Dalam perjuangan untuk mencapai suatu tujuan politik, Bung Karno mengajarkan kita harus mengenal: asas, asas perjuangan (strategi), dan taktik.
Dalam pelaksanaannya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu: asas tidak boleh berubah sepanjang waktu, dia harus tetap dan langgeng. Asas perjuangan (strategi) bila diperlukan sewaktu-waktu dapat diubah menurut kebutuhan, akan tetapi tidak boleh mengkhianati atau bertentangan dengan asas. Sedangkan, taktik boleh berubah setiap saat bila memang diperlukan, tetapi tidak boleh mengkhianati atau bertentangan dengan asas perjuangan.
Lantas, apa yang dimaksud dengan politik? Menurut Bung Karno politik tidak lain adalah machtsvorming dan machtsaanwending. Penyusunan kekuatan dan penggunaan kekuatan yang telah tersusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Apakah hal-hal tersebut dapat benar-benar dilaksanakan di dalam praktik? Berikut adalah pengalaman saya saat menjadi Wakil Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat ITB Bandung dari tahun 1963 hingga dipecat dari kampus pada akhir tahun 1966.
Meletusnya G-30 S (yang benar Gestok) adalah akibat kekuatan-kekuatan anti Soekarno mendapat kesempatan untuk menjatuhkan Bung Karno dari kepemimpinan negara. Kekuatan-kekuatan mahasiswa yang anti Soekarno mulai menyatukan diri dan bergerak untuk mendongkelnya dari tampuk kekuasaan.
Di Jakarta mereka bergabung dalam KAMI Jakarta yang dipelopori mahasiswa Universitas Indonesia dengan ciri khas jaket kuningnya. Di Bandung mereka bergabung dalam KAMI Kontingen Bandung yang dimotori oleh mahasiswa-mahasiswa ITB. Kontingen Bandung ini sering mengadakan long march ke Jakarta dan bergabung dengan KAMI Jakarta untuk melaksanakan demonstrasi ke Istana Merdeka maupun Istana Negara.
Mereka nekat ingin menjebol pagar istana-istana tadi walaupun harus berhadapan dengan pasukan pengawal presiden dari Resimen Cakrabirawa. Untuk menghadapi mahasiswa, secara tegas Bung Karno memberi perintah kepada Brigjen Moh Sabur, selaku Komandan Cakrabirawa, agar tidak menggunakan satu peluru pun.
Jadi mereka hanya membuat pagar betis di sekeliling istana. Di shafts kedua bersiaga Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden dengan posisi siaga tempur bila keadaan memaksa.
Ketika pulang ke Jakarta, saya sempat mengalami kejadian Istana didemo oleh KAMI. Dari kamar tidur, sambil tidur-tiduran, saya dapat mendengar betapa riuh rendahnya suara mereka meneriakkan yel-yel yang menghina Presiden dengan kata-kata yang kotor. Mereka lebih sering berdemo di depan Istana Negara daripada di depan Istana Merdeka.
Karena KAMI Jakarta terdiri dari gabungan mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta seperti Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, Universitas Kristen Indonesia, dan lain-lain, maka jumlah mereka mendekati ribuan orang. Belum lagi ditambah KAMI Kontingen Bandung yang juga ikut bergabung.
Dari informasi yang diperoleh tim khusus DKP, tercatat nama pemimpin mereka antara lain Cosmas Batubara, Fahmi Idris, So Hok Gie, Akbar Tandjung, dan Aulia Rachman.
Pada satu saat waktu, saya sedang berbincang dengan ajudan Kolonel Maulwi Saelan. Tiba-tiba dari arah Istana Negara terdengar rentetan tembakan dari Resimen Cakrabirawa. Kak Saelan, begitu saya menyapanya, berkata, “Wah mas, ini pasti jatuh korban!”
Rupanya suara tadi adalah dari tembakan salvo (tembakan ke udara) oleh Cakrabirawa. Apa yang dikatakan Kak Saelan benar, dari pihak KAMI jatuh korban yang bernama Arif Rachman Hakim.
Tewasnya Arif Rahman Hakim hingga saat ini masih penuh misteri karena luka tembak yang mengenai korban kecil di punggung dan tembus besar di dada korban. Hal ini berarti penembak berada di belakang korban yang menghadap ke Istana Negara, sehingga tidak mungkin korban tertembak oleh peluru pasukan Cakrabirawa. Dari analisis DKP, diduga ada seorang provokator yang menyelinap di barisan KAMI dan menembak korban dengan senjata laras pendek.
Dengan jatuhnya korban, otomatis sepak terjang KAMI tambah beringas. Di Bandung, KAMI Kontingen Bandung bertambah berani bertindak. menjadi-jadi sepak terjangnya. Bentrokan fisik mulai terjadi antara khususnya HMI dan GMNI cabang Bandung, dengan mengambil tempat “pertempuran” di Lapangan Tegalega, Bandung. Korban luka-luka tidak dapat dihindarkan.
Saat itu saya berinisiatif mengumpulkan sahabat-sahabat dari HMI agar mereka dapat meredam bentrokan karena hal tersebut dapat menjadi peluang bagi CGMI (ormas mahasiswa PKI) untuk menggunakan taktik adu domba memecah belah HMI dan GMNI sebagai ormas mahasiswa terbesar di Bandung. Pada satu saat Bung Karno memerintahkan kepada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia agar membentuk barisan Soekarno, namun dilarang bergerak sebelum ada komando dari Bung Karno.
Untuk dapat memonitor secara detil gerak-gerik KAMI Kontingen Bandung, GMNI Komisariat ITB Bandung yang dipimpin oleh kader Sajarwo Sukardiman dan saya sebagai wakil ketuanya, mengambil taktik untuk menggunakan kader-kader yang mempunyai hubungan pribadi dengan pemimpin KAMI Kontingen Bandung agar mereka masuk dan terjun aktif dalam kegiatan-kegiatan kontingen sedemikian rupa. Tujuannya, agar mereka dapat memberikan informasi akurat mengenai rencana kegiatan KAMI Kontingen Bandung.
Mereka secara khusus diambil sumpahnya oleh pimpinan komisariat sesuai dengan tugas yang diberikan. Tim “penyusup” ini dipimpin oleh kader Surna Tjahya Jayadiningrat. Sejak saat itu setiap rencana gerakan KAMI Kontingen Bandung dapat kita monitor dan ketahui sejak dini.
Mencegah Bentrok
Satu saat, kami mendapat informasi Kontingen Bandung akan berangkat bergabung dengan KAMI Jakarta dan berdemo ke depan Istana Merdeka. Guna mengantisipasi gerakan Kontingen Bandung, saya menyiagakan seluruh kekuatan GMNI Komisariat ITB dan berkoordinasi dengan komisariat-komisariat lain termasuk dengan Barisan Soekarno ITB yang ketika itu sudah terbentuk. Persiapan ini juga sudah memperoleh persetujuan pimpinan GMNI cabang Bandung
Ketika itu saya ditugasi oleh ketua komisariat menjadi komunikator dengan petinggi-petinggi Jabar, khususnya kota Bandung. Sewaktu Kontingen Bandung sudah berangkat ke Jakarta, kampus ITB boleh dikatakan dalam keadaan kosong. Atas instruksi Ketua Komisariat, saya diutus menghubungi Panglima Kodam Siliwangi yang saat itu dijabat oleh Ibrahim Ajie. Pesan yang harus saya sampaikan, agar Pangdam melarang Kontingen Bandung ke Jakarta dan harus balik kembali ke Bandung.
Mendapat intsruksi itu, saya langsung mencari tahu posisi Pangdam. Informasi yang saya peroleh dari ADC (ajudan) Ibu Negara, Pangdam berada di Wisma Siliwangi I, Ciumbuleuit. Seketika saya menunggangi skuter Lambreta yang butut ke Wisma Siliwangi I. Di situ saya menemui Ibrahim Ajie, dan menyampaikan pesan agar menghentikan Kontingen Bandung yang sedang dalam perjalanan ke Jakarta. Sekiranya Pangdam menolak maka kampus ITB akan kita duduki sampai dengan waktu yang tidak ditentukan.
Syukur alhamdulillah Pangdam bersedia memenuhi permintaan tersebut. Begitu selesai dengan Pangdam, saya langsung meluncur ke ITB. Dan saya terkaget-kaget, karena ITB sudah diduduki rekan-rekan dari Barisan Sukarno yang dipimpim oleh kader Siswono Yudohusodo, kader Suko Sudarso, dan dibantu rekan-rekan GMNI Komisariat Universitas Padjadjaran yang dipimpin kader Dodo Rukanda, GMNI Komisariat Universitas Parahiyangan yang dipimpin kader Ronald Go Giok Tien, tidak ketinggalan dari kampus-kampus lain yang dipimpin kader Hazir Muin (kalau tidak salah ingat).
Melihat situasi yang gawat dan keluar dari rencana semula, saya segera menemui ketua komisariat dan bertanya mengapa hal ini dapat terjadi. Rupanya usaha dari ketua komisariat untuk menahan agar rekan-rekan jangan dahulu menduduki kampus ITB dan menunggu hasil pertemuan saya dengan Pangdam tidak berhasil.
Dengan kondisi tersebut pengurus Komisariat ITB menghadapi situasi baru yang sangat gawat. Sebab, bila KAMI Kontingen Bandung kembali ke Bandung, pasti akan terjadi perang fisik yang berdarah-darah di kampus ITB.
Menyikapi situasi itu, pengurus komisariat beganti taktik. Segera kami menemui pemimpin cabang GMNI Bandung yang waktu itu dijabat Lucien Pahala Hutagaol dan Cece Kosasih. Mendapat laporan terperinci mengenai situasi terakhir, pimpinan cabang segera memanggil seluruh ketua yang terlibat dalam pendudukan kampus ITB untuk rapat di kantor cabang.
Rapat yang berlangsung alot penuh dengan interupsi itu berlangsung sekitar 40 menit. Hasilnya, seluruh kekuatan yang menduduki Kampus ITB harus segera menarik diri untuk menghindari bentrok fisik dalam waktu 20 menit, termasuk Barisan Soekarno ITB harus segera keluar dari kampus. Apalagi menurut perhitungan, kurang dari 30 menit Kontingen Bandung akan tiba di kampus.
Sesuai keputusan rapat, dengan berat hati seluruh kekuatan GMNI yang menduduki Kampus ITB satu per satu menarik diri dan kembali ke sekretariat masing-masing. Benar saja tidak berapa lama kontingen Bandung kembali memasuki Kampus ITB yang sudah kosong dari kekuatan-kekuatan GMNI.
Mengambil Hikmah
Dengan kejadian tersebut, saya benar-benar merasa lelah karena tegang menghadapi situasi baru yang berubah-ubah dengan cepat dan dinamis. Adapun hikmah yang didapat adalah apa yang diajarkan oleh Bung Karno mengenai teori asas, asas perjuangan, dan taktik ternyata dapat dilaksanakan di dalam praktik perjuangan, terutama masalah taktik yang setiap saat harus berubah sesuai dengan kebutuhan.
Dengan pengalaman tersebut, saya menjadi lebih yakin bahwa perjuangan, apalagi perjuangan revolusioner, selalu harus dituntun oleh teori perjuangan yang revolusioner pula. Tanpa teori, perjuangan kita akan ngawur dan kehilangan arah.
Harapan saya, semoga adik-adik mahasiswa generasi penerus akan selalu mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman yang saya tuliskan dengan penuh keyakinan akan benarnya teori perjuangan yang diajarkan oleh Bung Karno. Dengan begitu gerakan-gerakan mahasiswa akan selalu berjaya saat ini maupun di kemudian hari. *** (B-BS/jr)
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Jumat, 3 Juni 2022 | 12:41 WIB, dengan judul asli: “Taktik Perjuangan dalam praktik”
**) Pemerhati masalah sosial, Putra Bung Karno & mantan aktivis GMNI