BENDERRAnews.com, 5/4/22 (Jakarta): Usulan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly agar perizinan praktik dokter diambil alih oleh pemerintah mendapat dukungan luas.
Salah satunya, pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyambut positif dan sepakat dengan apa yang disampaikan Yasonna tersebut.
Fickar memandang urusan kesehatan merupakan sebuah hal yang besar karena tidak hanya menyangkut soal keahlian, melainkan juga terkait dengan nyawa manusia.
“Urusan kesehatan itu urusan yang besar selain menyangkut keahlian juga menyangkut nyawa manusia, sehingga yang harus bertanggung jawab adalah institusi negara,” kata Fickar kepada wartawan, Senin (4/4/22) kemarin.
Fickar sepakat terhadap usulan Yasonna tersebut. Hanya saja, dia mengingatkan agar negara nantinya dapat menunjuk orang-orang yang betul-betul ahli dalam ilmu kedokteran. Mereka nantinya bertugas untuk meloloskan perizinan praktik kalangan dokter. Sementara untuk gelar dokter adalah kewenangan dari otoritas pendidikan di jenjang universitas.
“Negara harus menunjuk orang-orang yang benar benar ahli kedokteran dalam meloloskan perizinan praktik dokter. Sedangkan gelar dokternya itu merupakan otoritas pendidikan kedokteran di universitas,” ujar Fickar.
Sebaiknya jadi domain negara
Diberitakan, Yasonna menegaskan lebih baik pemberian izin praktik dokter menjadi domain negara daripada diberikan kepada satu organisasi profesi. Hal itu diutarakan Menkumham usai memaparkan rencana penyatuan UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dengan UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Langkah itu akan dilakukan agar ada penataan yang lebih baik lagi terkait sistem kedokteran di Indonesia.
“Saran kami setelah mendengarkan masukan banyak pihak, kami nilai perlu revisi. UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran akan review lagi untuk kami satukan agar nanti lebih baik penataannya,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/3/22) lalu.
Triliunan rupiah mengalir ke luar
Hal itu dikatakannya terkait pemecatan secara permanen mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Dia mengatakan setelah keputusan IDI terkait dokter Terawan, lebih baik pemberian izin praktik dokter menjadi domain negara daripada diberikan kepada satu organisasi profesi. Yasonna menegaskan, organisasi profesi lebih baik menjalankan fungsi-fungsi penguatan kualitas para dokter di Indonesia.
“IDI lebih bagus konsentrasi dalam penguatan dan perbaikan kualitas dokter karena saat ini banyak masyarakat yang berobat ke Singapura dan Malaysia. Triliunan rupiah kita habis untuk berobat ke luar negeri,” ujarnya.
Kedokteran utamakan kemanusiaan bukan bisnis
Menteri Hukum dan HAM (Menkumhsm), Yasonna H Laoly juga mengingatkan, kedokteran seharusnya mengutamakan kemanusiaan, bukan bisnis. Hal itu disampaikan Yasonna terkait wacana revisi UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran atau UU Kedokteran.
Yasonna menjelaskan, revisi UU Kedokteran diperlukan untuk penguatan sistem kedokteran agar lebih baik dalam melayani masyarakat. Dikatakan, pemerintah mencatat Indonesia kehilangan devisa triliunan rupiah karena terdapat sekitar dua juta warga Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri setiap tahun.
“Saat pelayanan semakin baik, maka masyarakat tidak perlu lagi pergi ke luar negeri untuk berobat,” kata Yasonna, Jumat (1/4/22) lalu.
Memudahkan buka praktik dokter
Selain itu, kata Yasonna, revisi UU Kedokteran untuk memudahkan WNI yang menempuh studi kedokteran di luar negeri membuka praktik di Indonesia. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Yasonna mengungkapkan banyak keluhan dari WNI yang studi kedokteran di luar negeri, sulit mendapat izin praktik di Indonesia.
“Ada orang Indonesia yang studi kedokteran di Rusia tapi susah praktik di Indonesia. Ini yang harus dipermudah prosesnya, karena Indonesia membutuhkan banyak dokter. Prosesnya dipermudah, jangan berbelit-belit, apalagi dipersulit,” ujarnya.
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan (PDI-P) tersebut mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat serius menyiapkan generasi emas meyongsong 100 tahun Indonesia pada 2045. Salah satunya dengan mengajak anak-anak Indonesia yang berprestasi di segala bidang, di antaranya kedokteran, untuk kembali ke Tanah Air dan mengamalkan ilmunya.
Namun, saat ini, para WNI yang menempuh studi kedokteran di luar negeri harus melakukan penyetaraan ijazah serta mengikuti prosedur Konsil Kedokteran Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Rata-rata memerlukan waktu satu hingga dua tahun untuk menuntaskan semua prosedurnya, dan pastinya membutuhkan biaya.
“Tapi bagaimana mereka mau mengabdi di Indonesia, jika prosesnya dipersulit,” ujarnya.
“Kerangka berpikirnya seharusnya adalah bagaimana menjaga akses layanan kedokteran yang mudah dan murah untuk masyarakat. Indonesia membutuhkan banyak dokter dan masyarakat perlu layanan yang mudah dan murah,” kata Yasonna menambahkan.
Terganjal aturan atau dipersulit
Izin praktik kedokteran terdiri dari surat tanda registrasi (STR) serta surat izin praktik (SIP), serta diatur dalam UU Kedokteran.
Untuk mendapatkan STR, seorang dokter harus memiliki sertifikat kompetensi yang menjadi kewenangan organisasi profesi, yakni IDI.
Sedangkan untuk mendapatkan SIP, seorang dokter harus memiliki rekomendasi organisasi profesi dari IDI, dan harus diperpanjang setiap lima tahun. Apabila seorang dokter tidak menjadi anggota IDI atau dicabut keanggotaannya dari IDI, maka dokter tersebut bakal kesulitan mendapat rekomenasi untuk persyaratan mendapatkan izin praktik (SIP).
“Jangan sampai ada dokter yang bagus pelayanannya, dan sudah melayani masyarakat secara luas, tapi kesulitan praktik karena terganjal aturan atau dipersulit. Jangan sampai keputusan kemanusiaan berpihak pada industri, kedokteran harus mengutamakan kemanusiaan, bukan bisnis,” tegas Yasonna Laoly. (B-BS/jr)