Oleh Guntur Soekarno **)
Untuk dimengerti terlebih dulu, bahwa pengertian trah berasal dari daerah Jawa Tengah. Di daerah-daerah lain, pengertian trah tidak terlalu dikenal.
Mengapa dalam artikel ini saya mempersoalkan masalah trah? Sebab, di kalangan masyarakat, termasuk kalangan cerdik pandainya atau mahawikannya, saat ini banyak mempermasalahkan masalah trah, terutama trah Soekarno.
Di media sosial, masalah tersebut bahkan sudah ditarik ke ranah politik dan dikaitkan dengan PDI Perjuangan. Kalau saya bereaksi, terutama sekali karena saya merupakan putra sulung Bung Karno, dan merupakan figur senior di dalam keluarga besar keturunan Soekarno.
Sebenarnya saya enggan mengomentari berita-berita yang beredar di masyarakat, mengingat masalah trah tidaklah hal penting atau mutlak berlaku di dalam keluarga besar keturunan Soekarno. Namun, melihat perkembangan yang ada akhir-akhir ini, menurut pendapat saya pengertiannya sudah kelewat batas dan tidak proporsional lagi.
Ditinjau dari sudut pandang Bung Karno, masalah adanya trah sedikit banyak berbau sistem feodal dan feodalisme. Dalam rekaman pidato yang berisi perdebatan antara Bung Karno dengan Ruslan Abdul Gani tentang mana yang benar “di depan bendera revolusi” atau “di bawah bendera revolusi”, menarik kita simak karena menyangkut pembawa bendera atau panji-panji revolusi.
Menurut Bung Karno yang benar adalah “di bawah bendera revolusi”. Alasannya, bila “di depan bendera revolusi”, maka bendera revolusi harus dipegang oleh orang lain. Sedangkan, yang seharusnya membawa bendera, dalam hal ini Bung Karno, harus berjalan di depan dengan dipayungi laksana seorang raja atau pangeran. Hal itu adalah salah satu ciri khas feodalisme yang justru ditentang oleh Bung Karno.
Kesimpulan dari perdebatan tersebut, yang benar adalah “di bawah bendera revolusi”. Oleh karenanya, kumpulan artikel Bung Karno dihimpun dalam buku berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”.
Kembali ke masalah trah. Menurut budaya feodal, maka garis keturunan yang diikuti adalah garis bapak dan bukan garis ibu. Alhasil delapan putra-putri Bung Karno adalah jelas merupakan trah Soekarno. Keturunan selanjutnya di tingkat cucu hanya ada satu yang termasuk trah Soekarno. Yang lainnya, menurut sistem feodal, adalah berada di luar trah Soekarno.
Secara prinsip, masalah trah sebenarnya tidak pernah disinggung atau dibahas di internal keluarga besar Bung Karno. Tegasnya untuk keluarga besar Bung Karno, masalah trah tidak ada dan tidak perlu ada.
Tujuan memecah belah
Menghadapi Pilpres 2024, sangat mengherankan jika di kalangan masyarakat, tokoh-tokoh, dan politisi-politisi menjadi heboh dan kembali muncul masalah trah Soekarno. Kita kaum patriotis harus waspada dan mencari tahu, siapa sebenarnya dalang yang membuat masalah trah Soekarno muncul di permukaan? Lebih penting lagi apa tujuan mereka sebenarnya dengan memunculkan masalah tersebut.
Kita kaum patriotis penganut ideologi dan ajaran-ajaran Bung Karno, dengan tegas menyatakan tujuan mereka adalah hendak memecah-belah kekuatan-kekuatan Soekarnois, sekaligus memecah-belah harmonisasi di internal keluarga besar Bung Karno. Tujuan mereka jelas-jelas suatu tujuan politik!
Dengan hancurnya kekuatan Soekarnois dan terpecah-belahnya keturunan Soekarno, secara langsung eksistensi Pancasila dan UUD 1945 asli terancam. Kami keluarga besar Bung Karno sangat memahami hal tersebut, sesuai dengan pengalaman-pengalaman kami. Hal itu kami rasakan sejak adanya proses desoekarnoisasi yang terencana dan masif pada era kejatuhan Bung Karno, di mana pelakunya adalah masih dari kalangan yang itu-itu juga, yakni kalangan penganut ideologi transnasional, baik kaum liberal kapitalistik, kaum ideologi khilafah, bahkan kaum komunis ke kiri-kirian yang oleh Lenin disebut terjangkit penyakit kekanak-kanakan (infantil disorder).
Sejak dulu, tujuan mereka tetap sama, yaitu mengganti dasar negara Pancasila dan UUD 1945 yang asli dengan ideologi lain yang pasti tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong royong. Gotong royong adalah suatu kerja yang dinamis sifatnya dan lebih dinamis daripada kekeluargaan.
Dengan adanya pelurusan pengertian tentang trah Soekarno, semoga tidak ada lagi kalangan mana pun yang mencampuradukkan masalah trah secara tidak benar bahkan ngawur. Biarlah pahlawan nasional, proklamator Soekarno berada dalam keadaan tenang di alam sana.
Hasta Siempre Comandante! Selamat Jalan Komandan! (B-BS/jr — foto ilustrasi istimewa)
*) Disadur dari BeritaSatu.com, Edisi Senin, 30 Agustus 2021 | 10:02 WIB, dengan judul asli: “Melurudkan Polemik Trah Soekarno”
**) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial, Putra Proklamator RI Dr Ir Soekarno